Jejak Orang Suku Laut di Bintan

0
7730
Perkampungan Orang Suku Laut di Desa Berakit, Bintan
  1. Gambaran Umum

Orang laut atau suku laut adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kebudayaan bahari yang semurni-murninya. Kondisi kekinian, orang laut banyak yang hidup menetap. Ini berkembang dari konsep awal kategori orang laut. Menurut AB Lapian (1986 dan 2009), orang laut adalah suku bangsa yang bertempat tinggal di perahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Kepulauan Riau sekitarnya, dan pantai Johor Selatan.

Berbicara tentang orang laut dapat dipastikan akan berawal dari soal penamaan. Orang suku laut memiliki bermacam penamaan. Penamaan ini muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun diri mereka sendiri. Di Kepulauan Riau, mereka dikenal juga dengan nama orang pesukuan, yaitu orang yang terbagi dalam berbagai suku. Suku-suku atau kelompok masyarakat ini dahulunya tunduk kepada sultan Kerajaan Riau-Johor yang abad 19 terbagi dua. Orang laut atau pesukuan hidupnya ada yang di darat, teluk, muara sungai dan di laut.

Banyak lagi nama lain. Sebut saja orang sampan atau mengacu pada tempat tinggal, seperti Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang, Bintan), Orang Tambus (mendiami Tambus di Galang), atau Orang Mapor (mendiami Pulau Mapor atau Mapur, Bintan). Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris, orang laut dinamai juga beragam. Misalnya sea nomads, sea folk, sea hunters and gatherers. Ada juga ditemukan istilah sea forager, sea gypsies dan people of the sea. Meski beragam sebutan, oleh sebagian besar orang Melayu Kepulauan Riau, termasuk oleh orang Riau daratan, nama orang laut yang istilah paling populer.

Istilah Orang Laut yang disepakati orang Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku Laut sebagai masyarakat pengembara lautan (sea forager), tetapi juga diberikan kepada mereka yang hidup di sepanjang pesisir pantai di Kepulauan Riau. Mereka ini awalnya merupakan bagian dari Suku Laut, namun telah dimukimkan oleh pemerintah Orde Baru pada periode pembangunan daerah tertinggal di akhir 1980-an. Bagi Orang Laut sendiri, mereka memandang kelompoknya sebagai orang Melayu asli dan menyebut orang Melayu sebagai kaum Melayu dagang karena posisi aristokratik mereka di masa lalu.

Di wilayah laut lain, seperti Sulawesi, kelompok yang masuk kategori orang laut juga dikenal dengan berbagai nama. Seperti Bajau atau Bajo, Sama, Samal dan Samal Laut. Disamping itu ada nama suku bangsa Talaud, Tondano, Tolour, Maranao, Ilanun atau Iranun. Artinya kurang lebih sama dengan suku laut. Mereka orang laut atau orang air, meski cara hidup mereka sudah menetap, bermukim dalam rumah dan tidak dalam perahu. Selain itu, ada yang disebut Suku Urak Lawoi’ atau Cho Lai atau Chaw Talay di Kepulauan Andaman (Thailand Barat Daya), Suku Moken (Thailand Selatan, Myanmar, dan Malaysia), serta Sea Gypsies (Filipina Selatan).

  1. Sejarah Orang Laut di Kepri

Orang Suku Laut secara de facto adalah kelompok etnis dalam jumlah kecil di tengah mayoritas masyarakat Melayu. Mereka hidup di pulau-pulau di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Sejarah Orang Suku Laut di kawasan Kepulauan Riau ini terbagi ke dalam lima periode kekuasaan, yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Malaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—1942), Jepang (1942—1945), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang.

Banyak sekali versi mengenai sejarah asal muasal orang Laut. Mulai dari pendapat peneliti asing dan Indonesia, juga berasal dari cerita rakyat yang berkembang di Kepri. BM Syamsuddin (1996) menulis berdasarkan cerita rakyat, asal muasal orang laut berasal dari garam yang diberikan Raja Johor kepada seorang nenek sakti. Garam inilah berkat kuasa Allah kemudian menjelma menjadi orang enam suku. Banyak lagi cerita lisan lain.

Vivienne Wee (1993) berpendapat orang laut adalah keturunan raja-raja Melayu. Ini berdasarkan analisisnya pada naskah Sulalatus Salatin. Seseorang yang disebut Raja Chulan turun ke dalam laut dan kawin dengan putri laut. Kalau putri laut simbolis dari orang laut, maka Sri Tri Buana dan saudaranya adalah anak dari ayah dan ibu yang berasal dari orang laut. Argumen menarik lainnya adalah orang laut di Kepri diduga kuat sejumlah peneliti merupakan suku bangsa asli Melayu keturunan bangsa Melayu tua. Atau, masuk dalam proto Melayu yang menyebar di Pulau Sumatra, melalui Semenanjung Malaka pada sekitar 2500-1500 SM. Dalam perkembangannya kemudian atau pasca-1500 SM, terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu ke Asia Tenggara yang membuat bangsa proto Melayu terdesak ke wilayah pantai (pesisir daratan) di Pulau Sumatra. Sebagian dari kelompok yang terdesak inilah yang saat ini dikenal sebagai orang laut.

Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500—1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir). Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Departemen Sosial, 1988).

Ketika tanah Melayu diperintah oleh Kesultanan Riau-Lingga sekitar abad ke-18, Orang Suku Laut dilukiskan sebagai sekumpulan kelompok sukubangsa atau klan yang dibedakan berdasarkan teritori domisili mereka. Masing-masing klan ini terdiri dari berbagai nama, seperti Suku Tambus, Suku Galang, Suku Mantang, Suku Barok, dan Suku Mapor. Para klan itu bersatu, mereka disebut sebagai “orang kerahan” yang mengabdi kepada sultan untuk menjaga wilayah perairan kesultanan, berperang, serta menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi kesultanan. Selain suplai kebutuhan kerabat sultan, komoditas laut ini juga merupakan produk ekspor utama, terutama negeri Cina sebagai importir utamanya.

Orang laut memiliki peranan besar dalam kerajaan sejak Sriwijaya berkuasa hingga Kesultanan Riau-Johor. Loyalitas orang laut terhadap sultan sangat kuat. Menurut Tom Pires, loyalitas orang laut yang disebutnya orang selat telah dimulai sejak di Palembang. Orang laut membantu sultan saat mendirikan Kesultanan Melaka. Beberapa suku orang laut jadi tentara raja. Orang Mepar, Galang, Gelam, Sekanak, Sugi, Bulo menjadi tentara sultan. Pendayung armada sultan dari suku Ladi, Galang, Tambus, Terong, Klong dan Sugi. Orang Mantang sebagai pembuat senjata dari besi. Suku Mepar tugasnya mengangkut duta atau utusan dari luar negeri dan mengurus surat-surat. Orang Moro, Sugi, Terong dan Kasu menyuplai agar-agar dan sangu (semacam rumput laut). Pemimpin suku Mepar di Lingga tugasnya mengatur suku-suku yang mengembara di Perairan Lingga.

Orang laut selalu setia. Saat Portugis menaklukan Malaka 1511, orang laut menjemput sultan di Bintan dan membawanya untuk mengungsi. Peranan orang laut dalam Sejarah Johor menonjol saaat terjadi krisis kerajaan 1688.Orang laut setia pada sultan yang usianya masih muda dan memihak pada sultan saat terjadi konflik dalam istana kerajaan. Orang laut juga setia pada Raja Kecik saat berkonflik dengan Raja Johor yang dapat bantuan dari Orang Bugis. Saat Raja Kecik kalah dan lari ke Siak, peranan orang laut dalam Kesultanan Johor semakin kecil dan hilang. Orang Bugis berkuasa untuk menjabat posisi sentral dalam istana.

Jumlah orang laut di Kepulauan Riau lumayan besar. Data tahun 1972 dari Jawatan Sosial Tanjungpinang, jumlah orang laut di Riau (dimekarkan menjadi Kepri), 5205 orang. Jumlah suku terasing totalnya 21.711 orang. Perinciannya, Suku Sakai 4075 orang, Talang Mamak 6165 orang, Suku Orang Hutan 2938, Suku Bonai 1428 orang dan Suku Akik 1900 orang. Kini 40-an tahun berlalu, orang laut di Kepri masih banyak ditemukan. Ada yang sudah bermukim dan ada yang masih mengembara di laut. Banyak pemukiman orang laut yang dibangun pemerintah. Sebut saja di Pulau Lipan, Kelumu, Sungai Buluh, Tanjungkelit, Kelumu dan Tajur Biru di Kabupaten Lingga. Di Bintan juga ada di Air Kelubi, sementara di Batam, orang laut dibuat pemukiman di Pulau Bertam.

 Tahun 1993, Orang Laut di Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum dimekarkan) berjumlah 626 rumah tangga dengan jumlah atau 2.710 orang. Tersebar di 24 permukiman di darat, 19 desa dan 9 kecamatan.  Sejak tahun 1982 pemerintah, melalui Departemen Sosial membuat pemukiman untuk Orang Laut.  Sebanyak 840 orang dari 209 KK dimukimkan.. Tersebar di lima lokasi. Yakni, Desa Seiuluh (Kecamatan Singkep), Desa Penuba (Kecamatan Lingga), Desa Karas (Kecamatan Galang), dan Kelong (Air Kelubi) yang berada di Bintan Timur.  Selain dimukimkan, masih  ada sebanyak 1.870 orang atau 417 rumah tangga yang hidup di laut.

  1. Orang Laut Bintan
  • Persebaran

Di Provinsi Kepri, Orang Laut secara umum tersebar di empat kabupaten. Lingga, Batam, Anambas dan Bintan. Tahun 1993, Orang Laut tersebar di dua kecamatan. Yakni, Kecamatan Bintan Timur dan Bintan Utara.  Di Bintan Utara lokasinya di Pulau Mapur dan Berakit. Sedangkan di Bintan Timur ada di empat pulau. Yaitu, Air Kelubi, Pulau Toi, Pulau Tanjung Sengkuang dan Pulau Malen.

Jumlah Orang Suku Laut di Bintan Tahun 1993

Nama Kecamatan                                     Pulau                        KK                  Orang

Bintan Timur Air Klubi       15    69
Pulau Toi        9    32
Pulau Malen        4    11
Tanjung
Sengkuang        5    21
Mapur        20    30
Bintan Utara

Jumlah

Berakit        31

84 KK

 

  155

318

Sumber: Departemen Sosial Kabupaten / Daerah Tingkat II Riau, 1993. 

Tahun 2017, Orang Laut di Bintan persebarannya tak jauh berubah. Orang laut ada di Berakit (Kecamatan Teluk Sebong), Air Kelubi (Kecamatan Bintan Pesisir), Numbing (Bintan Pesisir), Kawal Pantai (Gunung Kijang) dan Mapur (Teluk Sebong).  Di Kampung Panglong, Berakit ada 75 KK Orang Laut.  Di Air Kelubi ada 40 KK, di Kawal ada belasan KK. Sementara Mapur ada beberapa KK. [1]   

3.2  Daur Hidup 

Menurut Cynthia Chou, Orang Laut di Kepri, termasuk di Bintan memiliki tiga pola aktivitas kehidupan yang ada relasinya dengan permukiman mereka. Pertama,  mereka mencari ikan di dekat kampung. Kedua,  mereka melakukan perjalanan berhari-hari ke lokasiyang agak jauh dari kampungnya. Tiga,  mereka berkelana ke tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dan memakan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya. Untuk pola terakhir, hampir tidak ada lagi Orang Laut di Bintan yang melakukan. Mereka rata-rata bekerja sebagai nelayan yang daerah tangkapannya tak di sekitar Perairan Bintan.

Tidak ada aturan tertulis dikalangan Orang Laut mengenai wilayah tangkapan ikan walaupun mereka memiliki‘etika’ menangkap ikan yang harus ditaati bersama. Aturan melaut di kalangan Orang Laut bisa berbeda satu dengan lainnya tergantung denganwilayah tempat di mana mereka tinggal.

Organisasi sosial Orang Laut memiliki ciri khas: satu rumah adalah juga satu keluarga batih ( nuclear family), dan rumahtangga ini berada dalam lingkup satu sampan. Artinya, sampan adalah rumah sekaligus basis fundamental sosial dan kebudayaan mereka. Selain itu, sampan merepresentasikan hubungan sosial mereka yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi dan kosmologi kelautannya.

Sampan ialah satu elemen budaya material terpenting Orang Laut dalam mendukung aktivitas pengembaraan dan ekonomi mereka. Sampan merupakan alat transportasi yang membawa mereka menjelajahi berbagai pulau—sebagaitempat memproduksi sesuatu (misalnya peralatan menangkap dan menombakikan), memeroleh air bersih, dan pulau ialah rumah tempat berlabuh.

Ketika musim angin Utara tiba di mana angin berhembus kencangdari Laut Cina Selatan dan ombak begitu kuat di laut, Orang Laut akan berlabuh di darat dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Dalam masa ini, mereka memanfaatkannya untuk mencari kayu resak, seraya, kapus (kamper), atau merantiuntuk membuat atau memperbaiki sampan. Sampan yang dipakai selama tigasampai empat bulan terus-menerus perlu dinaikkan ke darat untuk dijemur danditambal pada bagian yang bocor. Ukuran kayu yang mereka ambil kira-kira berdiameter tiga pemeluk (sekitar 1,5 m – 2 m). Kayu ini bermanfaat untuk sampan jongkong atau sampan kolek yang panjangnya 18 – 24 kaki atau sekitar 7,5 m,dengan lebar kurang lebih satu depa (1,8 m).

Sampan kolek berukuran lebih kecil dari sampan jongkong, dan dibuat tanpa atap untuk digunakan dalam perairan melintasi hutan bakau.  Sampan-sampan tersebut dibuat dengan cara mengeruk bagian tengah kayu.Sebelumnya, kulit kayu dikupas terlebih dulu dan salah satu sisi kayu ditatah hingga rata. Pada bagian dalam dibentuk sesuai dengan ukuran yang dikehen-daki. Tahap berikutnya ialah membentuk bagian haluan, lambung, dan buritan.Penyelesaian dari seluruh pekerjaan membuat sampan ialah pembuatan dayung dan pemasangan atap kajang agar sampan siap dipakai melaut kala musimangin Utara telah bergeser ke musim angin Timur.

Sampan dilengkapi dengan lantai dan tempat memasak. Di bagian dalam sampan, lantai dibuat bertingkatdua: lantai bawah atau bagian cekung difungsikan sebagai tempat barang danperbekalan, sedang lantai atas atau permukaan yang datar ialah ruang di manakeluarga batih berkumpul, makan, dan tidur. Tempat memasak disediakan dibagian dekat buritan sampan yang dibuat dengan menambah lantai khusus,yang diberi tanah liat yang diratakan dan di atasnya disusun batu untuk tungku.

Jenis-jenis Sampan dan Alat Kayuh Orang Suku Laut

Keterangan:       1. Sampan Merena, berukuran besar dan biasa berkajang. Ada pasak besi

  1. Sampan pokcai, memakai paku besi dan biasanya digunakan memuat kayu bakar (bakau)
  2. Sampan Melayu atau anak sampan. Berukuran kecil da nada pasak kayu.

4.Sampan apolo, menggunakan pasak paku dan bisa digunakan di lumpur

Sumber: Cynthia Chou,2010

 

a.    Kelahiran        

Proses kelahiran Orang Laut di dalam sampan. Biasanya bidan yang membantu proses membantu persalinan sudah diminta keluarga untuk ikut mendampingi calon ibu. Bidan itu ikut naik sampan setelah melihat tanda-tanda waktu melahirkan sang ibu sudah dekat.  Proses melahirkan di bagian tengah sampan. Bagian depan dan belakang ditutup kain.

Tentang pemberian nama, nama tidak terlalu penting di kalangan Orang Lautsampai hari ini, karena nama tidak berfungsi sebagai pembeda garis kekerabatan atau kelompok keturunan, melainkan hanya untuk membedakan antara satu individu dengan yang lain. Nama mereka diberikan sesaat setelah mereka lahir atau saat tali pusar mereka dipotong. Nama biasanya merujuk pada keadaan alam di sekitar mereka saat itu misal kilat atau melihat kondisi bayi, seperti hitam, boncet alias buncit. Sementara, nama anak-anak Orang Laut yang keluarganya sudah menetap di darat, nama anaknya menyesuaikan dengan nama sesuai agama, apakah Islam atau Katolik.

   b. Perkawinan 

Di masa lalu, Orang Laut semenjak masa pertumbuhan anak-anak mereka biasanya telah “dijodohkan” dengan sepupu satu atau sepupu dua dari kerabat dekat. Namun sekarang, pertunangan dan perkawinan dilakukan setelah mereka menginjak masa dewasa dan tidak selalu dengan sepupu.. Bentuk perkawinan yang paling baik atau ideal dalam kelompok mereka ialah dengan sepupu.  Alasannya, selain berfungsi melindungi ataumenjaga keutuhan kelompok, pasangan seperti ini dianggap memiliki kebiasaan yang sama dengan pemahaman baik atas lingkungan laut tempat mereka hidupdan bekerja. Lebih dari itu, sistem perkawinan ini dipandang dapat menghindari perpecahan.[2]        

 Pesta perkawinan lokasinya di dua tempat. Kedua pengantin duduk bersila di dalam sampan. Ada juga atraksi pencak silat seperti tradisi Melayu. Lokasinya di tepi pantai. Keluarga pengantin dan saudara, serta tamu undangan yang semuanya naik sampan merapat ke darat untuk menyaksikan atraksi pencat silat.

Dalam tradisi Orang Laut di Bintan juga mengenal hantaran dari pihak mempelai laki-laki yang diberikan kepada mempelai perempuan. Isi hantaran lengkap semua perlengkapan perempuan, dari mulai baju, kain, dua buah cincin, termasuk lipstik. Tak lupa kapur sirih dan pinang. Juga ada uang Rp44 ribu. Soal yang jumlahnya bisa kelipatan 22 ribu, 44 ribu, 88 ribu dan seterusnya. Hantaran ini menjadi persyaratan yang menjadi keharusan. Kalau syarat kurang, keluarga pihak perempuan meminta dilengkapi.

Saat bersanding di sampan, kedua mempelai saling suap saat makan. Makanannya adalah telur yang direbus. Pihak saudara dan para kerabat bergantian sampannya mendekat ke sampan pengantin untuk memberikan ucapan selamat. Dengan ukuran sampan yang kecil, hanya kedua mempelai yang ada di atas sampan duduk bersila.  

c.    Kematian

Orang Laut di Bintan yang hidupnya belum menetap di darat tak memiliki lokasi makam atau pekuburan yang tetap. Saat ada yang meninggal dunia, pihak keluarga memakamkan di pulau terdekat. Jenazah dikuburkan di dalam tanah. Ada papan keranda dan jenazah dimasukkan dalam kain. Cara pemakamannya seperti cara Islam meski saat ini Orang Laut tak memiliki agama. Bedanya, tak ada sholat jenazah dan doa seperti halnya dalam Agama Islam.  Keluarga berkabung biasanya selama tiga hari dan kemudian menjalankan aktivitas seperti biasa.

Mereka juga melakukan peringatan kematian. Pelaksanaannya 3 hari, 7 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian.  Pihak keluarga menyiapkan makanan untuk tamu undangan dan juga makanan yang dipersembahkan bagi arwah. Makanan yang disiapkan untuk tamu, seperti nasi, ayam, pulut, kopi atau teh, juga disediakan khusus untuk, arwah. Sesajen ini diyakini nantinya akan dimakan almarhum. Saat mengantar sesajen itulah, pihak keluarga mengucapkan serapah yang isinya agar keluarga yang ditinggalkan bisa merasa tenang ditinggalkan dan tak mendapat bencana.

[1] Wawancara dengan Fransiskus Xaverius Tintin, Ketua Suku Laut Berakit, 11 Juli 2017.

[2] Khidir Marsanto. Menerima ‘Kepengaturan’ Negara, Membayangkan Kemakmuran:Etnografi Tentang Pemukiman dan Perubahan Sosial Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Kepulauan Riau. Yogya: Tesis UGM, 2014. Hal.200

Sumber:

AB Lapian, Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Yogya: Komunitas Bambu, 2009.

Cynthia Chou, Indonesian sea nomads; Money, magic, and fear of the Orang Suku Laut. New York: Routledge,2003.

Khidir Marsanto. Menerima ‘Kepengaturan’ Negara, Membayangkan Kemakmuran:Etnografi Tentang Pemukiman dan Perubahan Sosial Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Kepulauan Riau. Yogya: Tesis UGM, 2014.

Wawancara dengan Fransiscus Xaverius Tintin, Meri dan Amat, warga OrangLaut di Desa Berakit, Bintan.