Tari inai adalah tarian sakral dalam pelaksanaan upacara pengantin masyarakat Melayu di Kepri, Jambi dan daerah Melayu lainnya. Tari inai dibawakan penari yang tampil menggunakan properti atau perlengkapan berupa lilin. Tari inai antara daerah Melayu satu dan lainnya berbeda baik ragam, gerak sampai property yang dibawakan. Di Jambi dibawakan berpasang-pasangan. Ada pula yang membawakannya secara tunggal.
Tari inai biasanya dibawakan malam hari setelah selesai Sholat Isya. Tari inai menjadi bagian penting dalam acara member tanda kepada pengantin. Gerak dalam tari inai memakai gerak level rendah. Geraknya bersumber dari gerakan silat. Tari inai pemainnya biasanya laki-laki dan biasanya maksimal jumlahnya tiga orang.
Tahun 2017, tari inai diusulkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional. Namun, karya budaya ini masih butuh verifikasi lanjutan oleh tim WBTB
nasional. Dari 23 karya budaya yang diusulkan Provinsi Kepri, hanya satu karya budaya yang lolos, yakni upacara berjenjang dari Lingga. “Berjenjang yang pasti lolos. Satu lagi tarian inai masih menunggu proses verifikasi,”kata Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Toto Sucipto.
Karya budaya ini masih hidup dalam keseharian masyarakat Melayu Kepri. Usai lebaran, sebagaian besar masyarakat Melayu melangsungkan acara pernikahan. Di mana, bulan setelah lebaran dianggap bulan yang baik untuk melangsungkan tradisi pernikahan, khusunya bagi masyarakat Melayu Lingga dan pulau Singkep.
Ferry, salah satu warga Sungai Buluh yang juga sering melatih tari inai mengatakan, tari inai sendiri berasal dari masyarakat Melayu. Tarian ini disebut juga terinai yang hingga kini melekat di masyarakat Riau dan Jambi meskipun berbeda Provinsi namun tari inai dijadikan salah satu ritual pernikahan masyarakat Melayu.
“Belum lengkap rasanya kalau belum ada tari inai, dan ini turun temurun hanya waktunya lebih dipersingkat seiring perkembangan zaman sekarang,” ujar Ferry, baru-baru ini.
Gerakan tari inai sangat mirip dengan gerakan silat yang diperhalus. Jika dulunya para orang tua yang melakoni tarian ini dan lebih diutamakan laki-laki. Namun ketakutan masyarakat akan punahnya budaya Melayu pelengkap pernikahan ini, warga lebih sering menampilkan anak-anak untuk memerankan tarian ini baik itu perempuan maupun laki-laki.
Biasanya tari inai ini dilaksanakan usai pengucapan ijab kabul, ada juga yang saat kedua pengantin memasang inai, sebelum pelaksanaan resepsi atau bersanding di pelaminan.
“Raja sehari dalam tradisi Melayu itu adalah bersanding di pelaminan, jadi sebelum itu mereka diinai dan ditepung tawari, saat inilah iringan tari inai disajikan,” sebutnya.
Inai adalah salah satu tanaman pewarna yang dihaluskan dijadikan pewarna ditangan, kuku dan telapak tangan. Pengantin laki-laki dan perempuan sebelum duduk bersanding akan diberi hiasan inai sebagai penanda berakhirnya masa lajang. “Kalau dulu inai itu hilangnya berhari-hari, jadi sebagai tanda orang sudah menikah maka tangannya berinai,” sebutnya.
Di musim bulan Syawal dalam penanggalan kalender Hijriyah ini adalah hari yang banyak digunakan warga untuk melangsungkan niat baik pernikahan. Sehingga tak heran job bagi penari inai akan semakin banyak, uniknya para penari inai ini jarang sekali dibayar dengan menggunakan Rupiah.
Mereka lebih banyak hanya diberikan ucapan terima kasih berupa telur merah dan nasi manis. Namun hal ini semakin memotivasi anak-anak ini untuk tampil memberikan gerakan tari inai di hadapan para pengantin dan selalu menerima tawaran dari masyarakat yang membutuhkan.
“Di saat inilah sebenarnya rasa kebersamaan dan gotong royong masyarakat Melayu itu yang masih terjaga,” ujar Ferry.**