Kampung Bugis, Kampung Pantun

0
1621
Kampung Bugis, Tanjungpinang dijadikan kampung pantun. foto:c8.alamy.com

Tanjungpinang dikukuhkan sebagai negeri pantun tahun 2008. Penobatan dilakukan dalam Festival Pantun Serumpun se-Asia Tenggara diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Dalam kesusastraan Indonesia keberadaan pantun harus diakui sebagai roh kebudayaan dan tonggak kesusastraan yang lahir dan mengakar di ranah Melayu, dan menyebar menjadi milik penduduk di Nusantara. Festival pantun yang dihadiri peserta dari Brunei Darussalam dan Malaysia, merupakan tonggak sejarah dalam kesusastraan di wilayah rumpun Melayu yang dikukuhkan dalam prasasti kebudayaan.

Sembilan tahun berlalu, langkah brilian dilakukan anak-anak Kampung Bugis, Tanjungpinang.
Mereka mendirikan Kampung Pantun di Kampung Bugis Kelak, Kampung Pantun adalah laman belajar anak-anak muda Tanjungpinang mewarisi tradisi berpantun.

Ada dua catatan rekor berbalas pantun terlama yang diraih Tanjungpinang, yakni pada 2006 dan 2015. Sebelas tahun lalu adalah pijakan dasar menjuluki kota ini sebagai Negeri Pantun. Sementara yang dua tahun berselang, ketika berhasil mencatat waktu 10 jam 10 menit 10 detik itu, adalah penegas, bahwasanya di Bumi Segantang Lada ini pantun sering terucap dan terlantun.

Catatan fantastis yang entah bila akan dipatahkan seniman pantun lain, baik di kota ini maupun dari kota lain. Sepuluh jam tanpa jeda dari petang hingga berganti hari berbalas pantun itu adalah bukti tak terbantahkan. Bahwasanya di antara sekian banyak anak muda yang asyik menyuntuki gawai, masih ada segelintir yang peduli dan mampu unjuk raga merawat tradisi yang sudah ada sejak lama.

Apakah berpantun itu sebuah kegiatan yang sulit? Jawabannya bisa tidak, bisa juga iya. Pengetahuan dasar tentang teori pantun dapat dengan mudah dibaca dari buku dan internet.

Lain cerita mempraktikkannya dalam waktu singkat. Lidah bisa kelu. Belum lagi otak yang mesti berpacu memburu kata-kata dengan akhiran sama pada pola sampiran-isi A-B-A-B. Bisa-bisa yang terlontar sekadar sampiran murahan masak air biar mateng….

Jikalau tinggal di Negeri Pantun, seyogyanya warganya mampu berpantun. Tidak cuma pejabat-pejabat teras pemerintahan yang sering membacakan di awal mula pidato sambutan.

Juga bukan sekadar pengumuman pada baliho-baliho di tepi jalan. Karena berpantun adalah keterampilan, tidak mungkin dikuasai tanpa latihan. Pertanyaan besarnya; di manakah tempat belajar pantun? Sila buka Google dan tidak perlu geleng-geleng kepala jika tidak menjumpai jawabannya.

”Aneh ‘kan,” kata Zainal Anbiya, ”kita ini tinggal di Tanjungpinang yang berjuluk Negeri Pantun, tapi tidak ada tempat belajar pantun. Italia punya Valentino Rossi dan di sana dengan mudah anak-anak mudanya tahu kemana harus pergi untuk belajar jadi pebalap.”

Zainal adalah satu dari sekian anak muda yang mencatatkan namanya dalam rekor berbalas pantun terlama 2015 silam. Ada risau di hatinya ketika pertanyaan besar yang sama disorongkan padanya; di mana, di Tanjungpinang ini, tempat belajar berpantun? Zainal bungkam. Agak sukar juga ia hendak mengurai perjalanan dan pengalamannya belajar berpantun. Sebab, kala itu, ia mengaku belajar bersama teman-teman sepergaulannya.

Kerisauan ini pula rupanya ditangkap seniman pantun lain. Bibir Barozi Alaika, Al Mukhlis, dan Syafariah juga terkatup jika dihadapkan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi, geleng-geleng kepala adalah satu-satunya jawaban. Memang tidak ada tempat khusus di Tanjungpinang yang mengajarkan pantun.

”Kalau les Bahasa Inggris, banyak. Les mengaji Alquran juga lebih banyak. Tapi, belajar pantun. Hmmm… memang tak ada,” kata Barozi. Akhir pekan lalu, empat seniman pantun muda asal Kampung Bugis ini berdiskusi. Dalam obrolan yang ditingkahi senda gurau itu tercetus sebuah ide.

Diawali dari Zainal yang mengaku terkesima setelah mengetahui keberadaan Kampung Inggris yang kesohor di Pare, Kediri, Jawa Timur, kepalanya menangkap sebuah gagasan. ”Mengapa kita tidak membuat Kampung Pantun?” ucapnya.

Bukan gagasan buruk. Ketiga temannya mengamini. Kampung Pantun bisa menjadi opsi sekaligus solusi bagi anak-anak muda Tanjungpinang yang hendak belajar berpantun.

Gagasan tinggal gagasan jika tidak diupayakan, diusahakan, dan diperjuangkan. Zainal ditemani Barozi lantas membawa gagasan ini ke Karang Taruna Kampung Bugis.

Kebetulan mereka berdua juga aktif di organisasi tersebut. Pucuk dicita, ulam tiba. Organisasi kepemudaan itu siap mendukung gagasan mewujudkan Kampung Pantun yang bisa dimulai dari Kampung Bugis.
Tekad empat anak muda ini semakin bulat. Mereka berkeinginan kuat menjadikan Kampung Bugis sebagai Kampung Pantun.

”Kami akan mulai dengan mengajari pantun kepada anak-anak SD maupun SMP, atau siapapun di sekitar tempat kami tinggal,” ucap Zainal mantap.

Manfaatkan Taman Baca Kelurahan

Kendala soal lokasi, sudah teratasi. Zainal mengatakan, ruang taman baca milik kelurahan bisa digunakan sebagai tempat belajar berpantun. Tempatnya strategis, berdekatan dengan rumah-rumah penduduk di Kampung Bugis. Selain itu, fasilitas berupa keberadaan buku-buku juga akan sangat membantu dalam proses pembelajaran pantun.
”Sekalian dengan menyemarakkan lagi kegiatan literasi anak-anak,” ungkapnya.

Programnya dipastikan akan disusun semenyenangkan mungkin. Pantun sebagaimana adanya, adalah kegiatan yang menyenangkan. Sehingga bukannya merasa belajar, anak-anak justru akan merasa sedang bermain. Rencananya akan dibagi dalam beberapa kali pertemuan.

Anak-anak itu, kata Zainal, akan dikenalkan dengan pantun, diajari cara-cara membuat sampiran dan isi, hingga melakukan simulasi lomba berbalas pantun. Zainal, Barozi, Al Mukhlis, dan Syafariah yakin, dengan begitu pantun bisa diajarkan dengan mudah kepada anak-anak.

Setelah program ini berjalan, selanjutnya yang ingin dikerjakan adalah membuat pantun begitu membumi di Kampung Bugis. Memang ini pekerjaan yang boleh dikata tidak mudah. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin.

Empat seniman pantun muda ini membayangkan, ada ucapan selamat datang di Kampung Bugis menggunakan pantun, juga larangan buang sampah, imbauan gotong-royong, sampai ajakan jadwal ronda malam yang disampaikan menggunakan pantun.

Dengan begitu, selangkah memasuki Kampung Bugis semakin terasa gema Kampung Pantun-nya. Bukan tidak mungkin, kata Barozi, gagasan sederhana ini justru mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan pendidikan kebudayaan dan kepariwisataan Tanjungpinang.

”Bisa juga nanti ‘kan turis yang berkunjung ke Tanjungpinang sekalian diajarkan berpantun, seperti di derah lain yang diajari membatik,” ucapnya. Kalau hendak dikata keinginan dan ide Zainal dkk ini adalah sesuatu yang gila, itu bukan masalah.

”Tak apa orang nak kata kami ini gila. Kami hanya ingin berbuat sesuatu buat daerah kami. Kami tidak punya uang, yang kami punya cuma kemampuan berpantun, dan itu yang bisa kami berikan,” kata Zainal.

Tidak punya uang? Jadi setiap anak yang hendak belajar pantun akan dimintai iuran? Zainal menggeleng cepat.

”Gratis. Free. Kami berempat dulu belajar pantun tidak bayar, sekarang kami juga ingin melakukan hal yang sama. Syukur-syukur nanti semakin banyak anak muda yang bisa berpantun. Itu sudah bikin kami senang,” ujarnya.

Ide tinggal ide jika tidak diwujudkan. Gagasan akan menguap di udara jika tidak dikerjakan. Zainal dkk sudah memulai sesuatu selangkah lebih depan. Apakah pemangku kebijakan hanya berpangku tangan.** (penulis fatih muftih/dedi)