Batobo, Simbol Kebersamaan Menggarap Pertanian

0
867
Tradisi batobo. Karya budaya dari Kampar.

Pemprov Riau mengusulkan 27 karya budaya untuk ditetapkan jadi warisan budaya tak benda tahun 2017. Salah satunya batobo. Tradisi ini tumbuh di Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi.
————
Batobo, atau disebut juga tobo [toboh berarti berkelompok, bersama atau berkawan-kawan] adalah semacam arisan tani dalam mengolah tanah pertanian yang dilakukan secara bersama-sama dan bergiliran di antara anak tobo (anggota batobo). Batobo menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan kekeluargaan. Namun, hanya sebatas pengelolaan dan tidak berlaku terhadap hasil dari pertanian itu sendiri. Batobo terutama terdapat di daerah Kampar dan Kuantan

Secama umum, batobo dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu batobo biasa dan batobo pasukuan. Batobo biasa merupakan tobo yang memiliki anak tobo berasal dari warga masyarakat tanpa memandang suku, sedangkan batobo pasukuan merupakan batobo yang memiliki anak tobo berasal dari satu suku yang sama. Batobo biasa dilaksanakan atas persetujuan pimpinan kampung, sedangkan batobo persukuan berdasarkan persetujuan ninik mamak dalam suku yang batobo.

Perlaksaan batobo juga diiringi dengan penyiapan penganan secara bersama dan pertunjukan berbagai kesenian. Penganan yang disediakan berupa panganan yang umum disediakan dalam aktivitas-aktivitas komunal, misalnya lemang, konji (bubur beras), pulut, galamai (dodol), kue talam, guajik (wajik). Sedangkan pertunjukan keseniannya antara lain gondang baraguong, bedondong dan pantun batobo.
Pelaksanaan Batobo

Setiap kelompok tobo beranggotakan antara 20-40 orang, yang dipimpin oleh seorang tuo tobo. Pimpinan tobo bertanggung-jawab atas keberhasilan dan pelaksanaan tobo misalnya memberitahu waktu pelaksanaan tobo, tempat batobo, menunjuk pengganti anggota tobo yang tidak bisa melaksanakan tobo, dan memberi tahu pimpinan kampung atau ninik mamak persukuan.

Batobo dilakukan pada musim berladang (sawah) atau pada saat membuka kebun secara bersama. Waktu pelaksanaan ditentukan berdasarkan keadaan alam dan musim. Misalnya, jika musim hujan, maka tahapan yang dilakukan adalah menyediakan dan menanam benih. Sedangkan musim kemarau merrupakan masa untuk mencangkul dan memanen. Kegiatan batobo dilakukan sehari penuh.

Pelaksaan batobo terbagi dalam beberapa tahap. Pertama, tahap menyemulo, yaitu saat mencangkul lahan pertama kali. Kedua, tahap membalik tanah, mencangkul lahan untuk kedua kalinya. Ketiga, tahap melunyah, yaitu menginjak-injak lahan dengan kaki. Keempat, menanam benih. Kelima, memanen.

Dilihat dari pola dan cara pengerjaan lahan, batobo dapat dibagi menjadi dua. Pertama, batobo mbiak ari (batobo mengambil hari), yaitu cara mengerjakan lahan (sawah atau ladang) yang melibatkan pemilih lahan. Batobo jenis ini adalah batobo yang murni. Kedua, batobo jual pugari, yaitu cara pengerjaan lahan tetapi para pekerja mendapatkan upah dari pemilik tanah. Batobo ini dikenal ketika ekonomi uang mulai memasuki kehidupan masyarakat, sehingga batobo pun kemudian dijadikan sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah.

Sejarah dan Perkembangan

Batobo pada awalnya dilakukan oleh kaum perempuan. Hal ini disebabkan kaum laki-laki umumnya pergi merantau sehingga kegiatan pertanian menjadi tanggung jawab perempuan. Tobo yang beranggotakan perempuan disebut dengan tobo induak-induak. Umumnya beranggota perempuan yang telah menikah berusia antara 25-40 tahun.

Selanjutnya berkembang tobo yang beranggotakan laki-laki yang disebut dengan tobo bujang. Ada pula tobo bujang gadih (di Kampar disebut tobo basampuak) yang beranggotakan bujang dan gadis yang berusia 14-18 tahun. Perlaksaan batobo ini umumnya selalu terpisah, walaupun tidak ada larangan untuk dilakukan secara bersama-sama.

Saat ini batobo kian ditinggalkan seiring pola pertanian yang semakin individual. Para pemilik ladang lebih memilih untuk membayar upah atau menyewa tenaga orang lain. Lahan pertanian yang semakin menipis dan pola bertani yang berubah juga sebagai penyebab batobo semakin jarang ditemukan.**

Sumber: Dwi Sobuwati dan Nismawati Tarigan. 2006. Upacara Tradisional pada Masyarakat Melayu Kampar, Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.