Mengenal Ritual Pengobatan Berjenjang

0
4042
Gunung Daik, ikon Kabupaten Lingga

* Warisan budaya tak benda dari Lingga
Berjenjang adalah upacara ritual pengobatan melayu klasik dari desa Mentuda kabupaten Lingga, provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Berupa upacara ritual yang hidup di kampung kecil lereng Gunung Daik. Tepatnya disebelah sebelah utara pulau Lingga.
Jika diamati lebih jauh, Berjenjang memiliki berbagai unsur seni dan budaya di dalamnya.
Baik ritual berupa pengobatan, seni tari dan juga musik. Memanggil roh halus atau bunian
lewat ritual yang dilaksanakan setiap bulan Muharam bulan Hijriah. Perpaduan antara budaya animisme dan melayu Islam untuk pengobatan.

Pemerhati Sejarah dan Budaya Lingga, Lazuardi mengungkapkan Berjenjang juga disebut Bertari. Dilaksanakan selama tiga hari tiga malam.Karena ritual dilaksanakan secara bertahap atau berjenjang-jenjang, karya budaya ini dikenal Bejenjang oleh masyarakat setempat.
“Ritual ini setiap bulan Muharam. Ada diawal bulan atau juga diakhir bulan, intinya tetap dalam Muharam. Dimulai pada hari Rabu dan ditutup pada Jumat Malam. Lebih baik lagi kalau malam Jumat terakhir jatuh pada bulan purnama. Yang jelas tidak menganggu peringatan hari Asyura pada 10 Muharam,” jelas Pukcu yang beberapa kali melakukan penelitian ritual budaya di Mentuda ini.

Dilanjutkan Pukcu, pelaksanaan ritual atau upacara ini diisi dengan bersyafari ke Batu Lingga desa Mentuda pada siangnya. Seluruh warga kampung ikut dalam kegiatan tersebut layaknya ritual mandi syafar. Beramai-ramai.
“Siang warga ke Batu Lingga. Batu Tegak yang terdapat di kampung Mentuda. Membawa bekal seperti orang ritual Syafar,” lanjut Pukcu.

Sedang saat malam harinya baru diisi dengan pengobatan. Tarian Berjenjang dilaksanakan memanggil Bunian dari tempat-tempat keramat yang terkenal sakral seperti Gunung Daik ataupun Tanjung Datok dekat wilayah Mentuda dan penjaga pulau Lingga. Dipimpin oleh seorang dukun yang sebut Bomo oleh penduduk, tarian berlangsung hingga sang Bomo kesurupan orang Bunian yang dipercaya masyarakat dapat memberikan pengobatan dari berbagai penyakit.
“Hubungannya Berjenjang ini dengan mahluk peri atau orang Bunian. Kepercayaan masyarakat. Seorang Bomo dibantu oleh Inang Asuh. Ritual ini hanya bisa dilakukan oleh keturunan-keturunan Bomo turun temurun, anak cucunya yang mengantikan. Yang bisa diserap (dimasuki) orang bunian dalam tubuhnya dari orang bunian penjaga pulau Lingga,” ungkap Pukcu.

Musik dan Tari Berjenjang
Bejenjang memiliki dua unsur seni yakni tari dan musik. Unsur pendukung yang menjadi bagian penting dalam ritual tari pengobatan ini.
Tari dilakoni langsung sang Bomo dengan gerakan yang khas. Diiringi Musik yang dimungkinkan memiliki kekuatan magis lewat instrumentasi dan nada-nada yang dimainkan. Menjadi sarana pendukung kegiatan ritual.

Pada upacara Berjenjang, instrumentasi yang digunakan yakni satu buah Gendang Panjang. Yakni gendang dua muka. Merupakan alat musik membranonofone. Sumber bunyinya dari kulit atau membran. Pemain gendang disebut Perentak dalam upacara ini.
Ada juga satu buah intrumen lain yakni Gong. Alat musik berbahan logam yang lazim terdapat hampir seluruh wilayah Nusantara dan Asia Tenggara. Instrumen ini masuk dalam kategori Idiofon. Dimana sumber bunyi berasal dari tubuh atau badan intrumen itu sendiri. Gong dimainkan menggunakan sebuah tongkat kayu pendek yang dipukulkan pada pencon atau puting Gong. Selain itu juga terdapat dua orang yang menjadi vokal. Dalam ritual Bejenjang, vokal dikenal dengan istilah Pelagu. Orang yang membawakan atau menyaikan lagu.

Pada ritual ini tidak terdapat instrumentasi melodis. Melainkan hanya instrumen ritmis dibantu dua vokal yang membentuk sebuah harmony. Pola ritme yang dimainkan, yakni rentak 1/4 Silat dan motif Joget ala melayu. Dengan tempo cepat.
“Lagu-lagu yang biasa dimainkan yaitu Gandung, Timang Burung, Maulai, Payung Patah, lagu Tak-Tak Tiung, lagu Maleng dan beberapa lagu lainnya,” kata Pukcu.

Pendukung Ritual Pengobatan
Sarana pendukung lainnya berupa kelengkapan ritual pengobatan Berjenjang. Bahan-bahan yang menjadi wajib saat ritual dilaksanakan.
Pada Tahun 2014 lalu, Pukcu berhasil mengikuti jalannya ritual Berjenjang. Saat itu dikatakan Pukcu ritual dibawakan oleh Bomo Nek Kelebang, seorang perempuan yang berusia 102 Tahun di desa Mentuda. Dibantu oleh Zainun sebagai Inang Asuh dan Vokal yang bernama Are dan Akah.

Pendukung sarana ritual seperti Mayang Pinang, Kain Putih yang di kunyitkan sepanjang 2 Meter, Kain Putih 2,5 Meter, Air Bunga Cine (anngur putih), Tabang (rokok), Bubur Lemak, Lempeng Tepung, Sirih, Gendung (telur), Anggur Hitam (Kopi) dan Beras Berteh (beras digongseng).
“Sedangkan warga yang datang membawa air yang diisi dalam botol. Ditutupi dengan kain kuning yang kunyiti. Air ini dipercaya bisa mengobati penyakit setelah dibacakan Bomo yang kesurupan orang Bunian,” jelasnya.

Sementara pakaian yang digunakan pelaku ritual lanjut Pukcu adalah Baju Kurung untuk laki-laki lengkap denga songkok. Sedangkan perempuan termasuk Bomo menggunakan Baju Kurung Laboh dan kain. Sedangkan warga yang ikut hadir cukup berpakaian sopan.
“Pantangnya yang sedang haid tidak boleh ikut menghadiri Berjenjang. Begitu juga orang-orang yang tidak bisa menjaga mulut (celupa). Badan harus bersih,” lanjut Pukcu.
Warga yang berniat akan membawa pulang air yang telah dimantrai dan juga mengambil potongan kain kuning serta mayang pinang. Ada juga yang mengambil potongan kain dan mayang pinang untuk dijadikan tangkal,” jelasnya.

Budaya Yang Terancam Punah
Tahun 2016 lalu, Nek Kelebang, Bomo ritual pengobatan Berjenjang meninggal dunia pada usia 102. Setelah itu, karya budaya Berjenjang belum pernah lagi dilaksanakan karena belum ada pengganti.
Kondisi tarian inipun terancam punah. Sanak keluarga dan keturunan yang menjadi pewaris belum didapatkan. Bomo, bukan dipilih oleh masyarakat ataupun pendukung kebudayaan ini. Melainkan orang terpilih, yang memang memiliki hubungan dan bisa diresapi orang bunian.
“Sejak meninggalnya Nek Kelebang, belum pernah ada dibuat Berjenjang. Keturunan dan sanak keluarganya masih ada. Mudah-mudahan kebudayaan ini tidak terputus begitu saja. Ada penggantinya,” ungkap Pukcu.

Beruntungnya, pemerintah Kepri juga bertindak cepat. Kekayaan budaya ini diusulkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia tahun 2017. Agar dapat dikenal secara luas. Baik dalam literasi maupun suport terhadap kekayaan budaya warga Mentuda ini dapat terus berlanjut.Dari 23 karya budaya yang diusulkan Provinsi Kepri, Berjenjang desa Mentuda Lingga lolos. Dalam waktu dekat, Berjenjang segera diakui sebagai WBTB.
“Berjenjang yang pasti lolos,” kata Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri, Toto Sucipto, Selasa (25/4).

Dengan begitu, WBTB dari Lingga segera bertambah. Sebelumnya, teater rakyat seni Sangsawan dan prodak budaya Tudung Manto juga telah ditetapkan sebagai WBTB Indonesia.

(Penulis Muhammad Hasbi, Penggiat Budaya Lingga)