Penulis: Anastasia Wiwik Swastiwi P.hD dan Dedi Arman
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seorang tokoh masyarakat yang kemudiannya dianggap sebagai pahlawan menjadi penting, karena sebagai sebuah komunitas yang sedang bertumbuh memerlukan mitos-mitos integrative. Dengan mitos intregative itu sangat mungkin memberikan sebuah harapan baru tentang masa depan yang gemilang. Mengutip Ben anderson bahwa komunitas yang terbayang (imagine community) sangat penting dalam membangun sebuah komunitas. Bagaimana kita bisa merasa menjadi bagian dari yang lain, maka mitos-mitos integrative inilah yang diperlukan. Mitos-mitos integrative itu bisa berbentuk kepahlawanan, ataupun kebudayaan yang menjadi pengikat dari komunitas yang bersangkutan. [1] Seperti yang diungkapkan oleh Homi K Bhabha, bahwa kesatuan dibangun melalui narasi bangsa, di mana cerita, citra, simbol dan ritual merepresentasikan makna bersama (Bhabha, 1990). Tokoh yang dapat dijadikan panutan sebuah komunitas yang sedang bertumbuh seperti Provinsi Jambi adalah Raden Mattaher.
Raden Mattaher adalah seorang panglima perang Jambi yang sangat terkenal dan ditakuti Belanda. Setelah wafatnya Sultan Thaha Saifuddin pada tahun 1904, komando perlawanan terhadap Belanda di Jambi dilanjutkan oleh Raden Mattaher, yang oleh masyarakat Jambi dikenal sebagai Singo Kumpeh. Ia telah memperlihatkan sebagai seorang kesatria, berani, cerdas, dan pandai mengatur strategi.
Pasukan Raden Mattaher dalah pasukan bergerak dan menyerang secara tiba-tiba. Oleh karena itu pasukan Raden Mattaher tidak menempati suatu tempat tetap. Raden Mattaher menamakan pasukannya sebagai Sabillillah. Sebelum pergi melakukan penyerangan atas pasukan Belanda, maka Raden Mattaher terlebih dahulu melakukan sholat agar mendapat petunjuk dan ridho Allah. Saat melawan penjajahan Belanda, Raden Mattaher bertugas sebagai panglima perang yang beroperasi di wilayah Muara Tembesi hingga ke Muara Kumpeh. Dalam berbagai penyerangan, Raden Mattaher dibantu oleh beberapa panglima yakni, Raden Perang, Raden Ahmad, Raden Kusen dan Raden Pamuk. Dalam pergerakan tersebut, para panglima ini membuat kantong-kantong pertahanan, barisan pertahanan dan barisan perlawanan terhadap penjajah.
Penyerangan yang dilakukan difokuskan terhadap kantong-kantong pertahanan militer Belanda. Selain juga melakukan penyergapan terhadap kapal-kapal perang yang mengangkut personil, amunisi dan obat-obatan. Tak tanggung-tanggung, mereka juga membunuh setiap pimpinan militer Belanda yang tertangkap.
Saat melakukan perang gerilya bersama dengan Panglima Tungguk Suto Alus, Raden Mattaher berhasil merampas peti baja milik bea cukai Belanda yang berisi 30 ribu Cap Tongkat, serta beberapa dokumen penting Belanda lainnya di Bayung Lincir, perbatasan antara Jambi dan Palembang. Setelah perjungan ini, Raden Mattaher bersama Panglima Ambur Panjang (Raden Pamuk), Panglima Betung Besalai (Raden Seman) dan Tunggul Buto (Raden Perang) membantu pasukannya yang berasal dari Jambi Kecil, Jambi Tulo dan ada yang datang dari Pijoan guna menangkis serang musuh di Tarikan menuju Kumpeh.
Namun sayangnya, beberapa waktu kemudian, Raden Mattaher ini dapat dilumpuhkan oleh Belanda dengan beberapa tipu muslihat. Dalam penangkapan tersebut, Raden Mattaher berhasil dibunuh oleh Belanda. Ia ditembak mati ketika sedang berada di rumahnya, pada tanggal 7 September 1907, dalam operasi militer Belanda. Namun sebelumnya, Raden Akhmad yang adalah kakak kandung Raden Mattaher, tewas tertembak saat selesai sholat magrib. Terkait wafatnya Raden Mattaher, Belanda menyatakan, “Nadat in September 1907 Raden Mattaher, nau van Taha verwant en de meest gevreesde en actieve der gouverne ments tegenstaders, na en rusteloze achtervolging was gesneuveld. Was het verzet gebroken.” Artinya, “Dalam bulan September tahun 1907 Raden Mattaher, keluarga dekat Taha (Sulthan Thaha Saifudin) yang paling di takuti (Belanda) karena aktif gupermend (Pemerintahan Belanda). Setelah dikejar terus menerus gugurlah dia (Raden Mattaher) dalam pertarungan dengan pasukan Belanda. Dalam hal ini belanda menggunakan kalimat was gesneuveld, kalimat ini lazimnya Belanda disebut mati dalam pertempuran.
- Tinjauan Kajian Terdahulu
Perjuangan rakyat Jambi melawan kolonial sudah pernah ditulis diantaranya oleh Elsbeth Locher-Scholten. Beliau menulis Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, terj.Noor Cholis, (Jakarta: KITLV dan Banana, 2008).
Tulisan lainnya tentang Jambi dan kaitannya dengan perjuangan Raden Mattaher adalah artikel “The Establishment of Colonial Rule in Jambi: The Dual Strand of Politics and Economics”,14 yang membahas tentang kebangkitan kolonial di Jambi yang berangkat dari kepentingan politik dan ekonomi, dan “Rivals and Rituals in Jambi-South Sumatra (1858-1901)” yang dimuat dalam jurnal Modern Asia Studies 27 (1993).
Kedua, Jang Aisjah Muttalib, mantan pengajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang kini aktif di The Habibie Center. Minatnya tentang sejarah Jambi tampak pada disertasinya di Columbia University pada 1977 berjudul “Jambi 1900-1916: From War to Rebellion” dan artikel berjudul “Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial di Jambi pada Perempatan Pertama Abad ke 20”.16 Kedua karya ini membahas tentang peralihan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme dari penguasa kerajaan, yakni sultan, ke rakyat petani. Pembahasannya tentang pemberontakan Sarekat Abang pada 1916 menarik dilihat lebih lanjut karena, meski bukan khas Jambi, menggunakan motif Mesianisme. Kuntowijoyo mengatakan, gerakan Mesianisme khas pada 1910-an, yang merupakan percampuran antara tradisi pedesaan dan magi serta pemujaan nenek moyang dan orang keramat.
Ketiga, Barbara Watson Andaya, yang menulis To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth an Eighteenth Centuries (1993), yang membahas sejarah Sumatera Tenggara, yakni Palembang dan Jambi.
Keempat, Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia. Satu-satunya tulisannya tentang Jambi adalah artikel berjudul “Reaksi terhadap Perluasan Kuasa Kolonial: Jambi dalam Perbandingan”.
- Konsep dan Teori
Menurut Foucault, sejarah tak lain merupakan entitas-entitas yang berdiri sendiri dan antarperistiwa terlepas satu sama lain, tidak pernah terkait apalagi natural. Antar peristiwa yang terpisah itu berusaha dibuat berkesinambungan dan bergerak ke arah tertentu oleh sistem kuasa.
Kekuasaan di sini berdiri di atas topangan penguasa, keilmuan tertentu (sejarah), atau cap pengakuan validitas atau legalitas. Sejarah, bagi Foucault, pada dasarnya merupakan retakan-retakan terpisah. Para sejarawan kemudian menggabungkan retakan-retakan itu dan menghaluskannya. Dalam prosesi itu, sejarah dibawa oleh para sejarawan ke arah titik tertentu sesuai keinginannya. Di sini ada yang dinamakan dengan episteme. Episteme adalah pola pikir atau struktur nirsadar yang mengatur arah sejarah.
- Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan disini bahwa yang menjadi permasalahan dalam hubungannya dengan penulisan “Raden Mattaher : Pejuang Rakyat Jambi Melawan Kolonial” adalah sebagai berikut :
- Bagaimana sosok Raden Mattaher di mata keluarga dan masyarakat pada masa itu.
- Bagaimana bentuk perjuangan Raden Mattaher sebagai kelajutan dari perjuangan Sultan Taha.
- Nilai-Nilai luhur yang telah tertanam dalam Raden Mattaher.
- Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan sosok, latar belakang dan perjuangan Raden Mattaher. Sasaran yang akan dicapai adalah setelah mengetahui sosok, latar belakang kehidupan, dan perjuangannya di Jambi, diharapkan masyarakat dapat meneladani nilai-nilai luhur yang tertanam dalam dirinya.
- Ruang Lingkup Kegiatan
Hasil akhir dari penelitian ini adalah suatu bentuk laporan yang berjenis suatu penulisan sejarah dengan tema sebuah biografi. Suatu penulisan sejarah selalu dibatasi oleh dua batasan, yaitu batasan tempat dan batasan waktu. Batasan tempat yang diambil adalah wilayah Jambi. Sedangkan batasan waktu yang diambil adalah abad 19. Abad 19 diambil dengan pertimbangan pada masa inilah perlawanan rakyat Jambi melawan kolonial dilakukan.
- Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah kritis. Metode sejarah kritis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu. Untuk dapat memperoleh suatu penulisan biografi ini yang dapat memberikan gambaran utuh maka sumber sejarah diperoleh melalui studi pustaka, dengan jalan mencari dan mengumpulkan data-data melalui buku-buku cetak maupun dokumen yang semuanya berhubungan dengan permasalahan dan periode yang akan dikaji. Data-data yang telah terkumpul selanjutnya diuji kebenaran historisnya.
BAB II
MASA KOLONIAL DI JAMBI
2.1 Masuknya Kolonial di Jambi
Kontak pertama Jambi dengan Belanda sebenarnya telah terjadi jauh sebelum 1830, dalam hal ini yang dimaksud Belanda adalah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pada tahun 1615 Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Jenderal serikat dagang itu, mengirim dua kapal ke Jambi di bawah pimpinan kepala perwakilan dagang (opperkoopman) Sterck. Tujuan kunjungan adalah menyelidiki kemungkinan perdagangan di Jambi. Pada tahun-tahun itu, di Nusantara terjadi persaingan perdagangan antara Portugis-Inggris-Belanda. Sebagai pendatang baru, Belanda harus pandai bersiasat. Kedatangannya ke Jambi tidak bisa dipisahkan dari persaingan dan siasat memenangkan persaingan tersebut, terlebih baru saja VOC ditolak untuk menjalin hubungan dengan Kesultanan Banten di ujung Pulau Jawa. Karena itu, mereka merasa perlu mencari “kawan” baru. Ada dua strategi yang digunakan Belanda untuk menguatkan posisinya di Jambi. Pertama, membangun perwakilan dagang, yang terlaksana pada tahun kedatangan Belanda, tepatnya 15 September 1615. Pendirian perwakilan dagang ini tampaknya lebih bersifat “politis” ketimbang “ekonomis”, terutama karena Jambi bukanlah penghasil komoditas dan pelabuhan dagang terpenting. Opperkoopman Sterck dan Sourry menyebutkan, Jambi menjadi penting karena merica yang dihasilkan petani pedalaman Minangkabau dibawa menyusuri Sungai Batanghari. Dikatakan, tanpa itu, Jambi tak punya sesuatu yang ditawarkan di pasaran internasional. Pernah suatu waktu, orang Minang dari hulu tak datang, dan Jambi menjadi “mati”.
Jambi menjadi penting juga karena pelabuhan vital seperti Malaka dikuasai Portugis dan Belanda belum punya kekuasaan di mana pun. Taufik Abdullah menyebutkan, perwakilan dagang di Jambi adalah yang pertama milik Belanda. Sebagai yang pertama, tentu saja ia harus diperhatikan. Kelak ketika Malaka dan Palembang telah jatuh ke kekuasaan Belanda, perwakilan dagang di Jambi ditutup.
Kedua, membuat serangkaian kontrak atau perjanjian dengan penguasa di Jambi. Sejak pertama datang, yang dilakukan adalah meyakinkan “maksud baik” Belanda kepada penguasa Kerajaan Jambi sambil menghasut agar melarang Inggris berdagang di Jambi.
Hasutan itu bisa dibilang tercapai, sebab raja menjamin meski “orang Inggris bebas berdagang, dia tidak mengizinkan sebidang tanah pun dipakai buat mendirikan gedung.” Dalam pengertian yang longgar, hal itu bisa disebut sebagai kontrak, meski tak ketat. Ketika posisi Belanda telah kuat, kontrak dibuat sedemikian rupa sehingga menguntungkan Belanda.
Pembuatan perjanjian atau kontrak-kontrak dengan Jambi pada umumnya berlangsung mulus. Penyebabnya tak lain struktur internal Kerajaan Jambi yang lemah. Selain karena ada dua “raja” di Jambi, yakni “yang tua” bergelar sultan dan “yang muda” bergelar pangeran ratu, yang masing-masing punya daerah pendukung di pedalaman dan tanda kebesaran sendiri-sendiri; wibawa raja di hadapan rakyatnya sangat lemah. Di pedalaman, kewibawaan raja sangat tergantung pada kerja sama dengan penguasa daerah. Yang berpengaruh adalah orang kaya atau saudagar. Dalam konteks ini, perjanjian apa pun yang dibuat dengan kerajaan, tak bisa dijadikan jaminan pasti bagi Belanda.
Di samping itu, Jambi terlibat pertikaian kekuasaan dengan para tetangganya, yang boleh jadi bukan karena kehendak Jambi sendiri, melainkan persaingan kerajaan-kerajaan di Nusantara bagian barat untuk menjadi kerajaan terkuat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Di sini Jambi merupakan kerajaan yang lemah. Tentang kelemahan Jambi di hadapan para tetangganya, Taufik Abdullah mencatat:
Jambi dalam abad 17 itu adalah negeri yang sebetulnya sangat mudah diserang para tetangganya. Tidak seperti Aceh dan Mataram, untuk sebab yang berbeda muncul sebagai kerajaan yang kuat, Jambi harus selalu melindungi dirinya dari tetangga-tetangganya yang agresif. Supaya dapat berhadapan dengan ancaman yang tak pernah reda itu, sebagaimana kerajaan-kerajaan lemah lainnya, Jambi harus selalu mengikat dirinya dengan sekutu—yang selalu berubah-ubah—yakni kerajaan-kerajaan di sekitar kawasan itu. Dan jika perlu, ia harus mengakui kemaharajaan negeri lain yang lebih kuat.
Karena kelemahan-kelemahan itu, setidaknya dua perjanjian telah ditandatangani pada fase pertama hubungan Jambi-Belanda, yakni sejak awal kedatangan hingga pada 1724 ketika VOC memutuskan mengosongkan kantor dagangnya di Jambi dan focus ke Palembang dengan harapan dapat mengawasi Sumatera dari sana. Dua perjanjian itu ditandatangani pada 1630 untuk menentang kehadiran Portugis dan pada 1643 yang melarang orang Cina menyelenggarakan perdagangan di Jambi. Sementara pada fase kedua, serangkaian perjanjian dimulai pada 1833 dan 1834. Pada masa itu VOC telah dibubarkan. Perjanjian-perjanjian pada fase kedua tersebut oleh Elsbeth Locher-Scholten dilihat sebagai pintu masuk imperialisme atau upaya pembentukan negara kolonial.
2.2 Perlawanan Rakyat Jambi Melawan Kolonial
Menjelang akhir abad 19 Belanda menambah kekuatannya. Pasukan dari Palembang, Jawa dan Aceh mulai berdatangan ke Jambi, maka Sultan Taha Syaifuddin menyusun strategi baru sebagai berikut :
- Raden Mattaher ditetapkan sebagai panglima perang mencakup wilayah pertahanan Jambi Kecil, Muaro Jambi, Air Hitam Darat, Ulu Pijoan, Pematang Lumut, Bulian Dalam, Ulu Pauh, Payo Siamang, Jelatang dan Pijoan Dalam.
- Bagian Batang Tembesi sampai Kerinci berada di bawah komando Pangeran Haji Umar Bin Yasir, gelar Pangeran Puspojoyo.
- Bagian Batanghari dan Tebo langsung di bawah pimpinan Sultan Thaha Syaifuddin dan saudaranya Hamzah gelar Diponegara, yang terkenal sebagai pangeran Dipo.
Diawal abad 20 perjuangan rakyat Jambi melawan Belanda mengalami banyak tantangan, satu persatu pejuang Jambi gugur dan atau tertangkap lalu dibuang (internir) oleh Belanda.
- Sultan Thaha Syaifuddin gugur di Betung Bedara pada tanggal 26 malam 27 April 1904.
- Pangeran Ratu Kartaningrat tertangkap dan dibuang ke Parigi,Sulawesi Utara.
- Tahun 1906 Depati Parbo di Kerinci tertangkap dan dibuang ke Ternate-Ambon.
- Pangeran Haji Umar Puspowijoyo dan adiknya Pangeran Seman Jayanegara tewas di Pemunyian, Bungo, tahun 1906.
- Tahun 1906 di Pemunyian tertangkap seorang pejuang perempuan bernama Ratumas Sina.
- Raden Hamzah gugur tahun 1906 di Lubuk Mengkuang, dekat Pemunyian.
- Tahun 1906 di kota Jambi yakni daerah Tehok, Raden Pamuk ditangkap Belanda.
G.J.Velds dalam tulisannya “De Onderwerving van Djambi in 1901-1907, Batavia Departement van Oorlog” yang diterjemahkan oleh S.Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna menyebutkan ada beberapa Pos Belanda. Pos Belanda itu adalah sebagai berikut.
- Batang Tembesi, Batang Batanghari dan perbatasan Jambi Palembang
- Muara Tembesi
- Muara Sekamis
- Banyu Lincir (Bayung Lincir)
- Muara Tabir
- Muara Tebo
- Penahat Muara Merangin
- Surulangun-Jambi
- Surulangun-Rawas Dusun Tiga
- Lidung
- Tanjung Gagak
- Sungai Bengkal
- Merlung
- Taman Rajo
Menyebut perjuangan rakyat Jambi melawan kolonial Belanda abad 19 hingga awal abad 20 takkan bisa melepaskan dari sosok nama Sultan Taha Safiuddin. Sultan Taha menjadi simbol perlawanan masyarakat Jambi terhadap imperialisme Belanda. Setelah meninggalnya Sultan Taha pun, dia tetap menginspirasi masa revolusi melawan kolonial yang diteruskan oleh tokoh lainnya seperti Raden Mattaher. Hal yang menarik adalah perlawanan saat itu kental dengan suasana Islam.Apa yang ditampilkan adalah perlawanan menampilkan ciri pergerakan, nasionalisme, dan perjuangan Islam. Ini adalah tiga karakteristik yang tergambar dari perjuangan kemerdekaan di Jambi saat itu. [2]
Sultan Taha merupakan pahlawan nasional dari Provinsi Jambi. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui Kepres No.079/TK/Tahun 1977, tertanggal 24 Oktober 1977. Penamaan nama Sultan Taha juga ada dua versi. Sejumlah sejarawan menulis nama lengkapnya Sultan Taha Safiuddin. Namun, dalam buku-buku umum, termasuk penamaan untuk bandara atau dalam perguruan tinggi di Jambi ditulis Sultan Thaha Saifuddin. Merujuk SK penetapan Sultan Taha menjadi pahlawan nasional ditulis Sultan Thaha Saifuddin. Sultan Taha adalah anak dari Sultan Muhammad Fachruddin yang lahir tahun 1833. Nama aslinya Raden Taha gelar Pengeran Ratudjajaningrat.
Sultan Taha naik tahta tahun 1855. Sebelum naik tahta menjadi sultan, posisinya sebagai pangeran ratu atau perdana menteri saat sultan dijabat pamannya, Sultan Abdurachman Nazaruddin (1841-1855). Berbeda dengan sultan-sultan sebelumnya, termasuk ayahnya, sosok Sultan Taha Safiuddin karakternya keras dan anti kompromi dengan Belanda. Ia enggan membuat piagam pengakuan kepada pemerintah kolonial Belanda, termasuk mematuhi perjanjian yang dibuat ayahnya dengan Belanda.
Tanggal 15 Desember 1834, ayah Sultan Taha bernama Sultan Muhammad Fachruddin melakukan perjanjian dengan Belanda setelah kondisinya terdesak diserang Belanda. Perjanjian itu terkenal dengan nama Piagam Sungai Baung (Sorolangun). Isinya antara lain:
- Negeri Jambi dikuasai dan dilindungi oleh Belanda
- Negeri Belanda mempunyai hak untuk mendirikan kekuatan dalam daerah Jambi jika diperlukan. [3]
Perjanjian ditandatangani ayah Sultan Taha dengan Belanda yang diwakili Luitenant Kolonel Michiels. Piagam Sungai Baung ini dinilai Residen Palembang hanya menghentikan sementara perlawanan. Belanda memaksa sultan untuk membuat perjanjian tanggal 21 April 1853. Isinya, antara lain:
- Belanda memungut cukai ekspor impor barang-barang dan untuk itu sultan dan pengeran ratu menerima ganti rugi sebesar f.8000/tahun.
- Belanda tidak memungut dana lain tapi berhak memonopoli penjualan garam.
- Jambi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda
- Pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam Kerajaan Jambi dan tak mengganggu adat isitiadat kecuali jika ada penggelapan yang berkenaan dengan cukai pemungutan yang menjadi hak Belanda. [4]
Belanda meminta sultan berjanji tak menjalin kerjasama dengan musuh pemerintah dan membantu menumpas pemberontakan Paderi di Sumatera Barat. Sultan juga diminta mengembangkan pertanian, khususnya lada. Impor tidak dilarang tapi sultan tidak diharuskan membebaskan budak yangh dimiliki. Sebagai kompensasi, Belanda berjanji menjunjung tinggi dan melindungi hak-haknya dan menerima uang uang tahunan f.8000. Sultan juga masih memiliki hak memungut hak dan mengelola pajak di wilayahnya.
Dampak dari perjanjian ini sangat merugikan Kesultanan Jambi. Belanda memonopoli perdagangan di Jambi. Sultan Taha tahu kondisi ini dan tak mau mematuhi perjanjian yang dibuat ayahnya. Berkali-kali Belanda membujuk Sultan Taha agar duduk bersama kembali dan menjalankan perjanjian yang ada. Bulan Oktober 1857 atau dua tahun selalu naik tahta, delegasi yang dipimpin Residen Couperus berencana menemui Sultan Taha dan mengajukan draf 40 pasal kerjasama. Sultan menolak bertemu delegasi ini.
Belanda terus membujuk sultan untuk kerjasama, namun selalu ditolak. Sultan menolak sejumlah pasal yang dinilai merugikan Jambi. Yakni,
- Jambi menjadi bagian hindia Belanda
- Jambi bekerjasama membangun benteng di Muara Kumpeh dan benteng-benteng lain yang akan dibangun Belanda.
- Jambi tidak boleh berhubungan dengan Negara lain
- Orang Eropa dan Cina tunduk pada system hokum berbeda
- Suksesi turun temurun harus mendapat persetujuan Belanda.
Sejumlah delegasi dari Belanda kembali berusaha untuk menemui sultan. Namun, dalam sejumlah perundingan Kesultanan Jambi mewakilkan pada Pangeran Ratu. Perundingan bulan Desember 1857 dan bulan Mei 1858 tetap gagal mencapai kesepakatan. Juru runding Belanda dilarang masuk istana dan hanya bertemu di rumah Pengeran Surio Nata Krama. Sultan diwakili Pangeran Ratu. Pertemuan dimediasi pemimpin dari komunitas orang Arab yang ada di Jambi. Misi terakhir tanggal 2 sampai 7 Juni 1858 gagal mencapai kesepakatan.
Belanda meyakini upaya perundingan takkan berhasil dan menempuh cara lain, yakni ekspedisi militer. Ororitas Batavia mengirimkan tim ekspedisi yang berkekuatan empat kompi berangkat dengan empat kapal uang dan kapal barang menuju Jambi. Tanggal 2 September 1858, Sultan Taha menerima utusan yang memberikan ultimatum dalam 2 X 24 jam, sultan harus menyetujui kontrak dan mengirim utusan ke Batavia. Jika sultan menolak, sultan akan diganti sultan baru dan status kerajaan Jambi diturunkan. Sultan Taha tetap menolak.
Belanda melakukan penaklukan terhadap istana Sultan Taha tanggal 6 September 1858. Terjadim pertempuran sengit yang mengakibatkan sekitar 50 pejuang Jambi tewas, empat pasukan Belanda meninggal dunia dan banyak yang luka luka. Keraton Jambi dapat dikuasai, namun Sultan Taha bisa meloloskan diri. Belanda membujuk Pangeran Ratu Martaningrat yang notabene sepupu sultan untuk naik tahta mengantikan Sultan Taha. Pangeran Ratu menolak. Belanda akhirnya memilih Panembahan Prabu, paman Sultan Taha untuk jadi sultan. Ia naik tahta dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin.
Pada tahun 1866, Sultan Ahmad Nazaruddin menulis surat permohonan pengampunan untuk Sultan Taha. Surat diteruskan ke Residen Palembang, namun surat ini tak pernah dibahas. Sultan wafat tahun 1880 dan digantikan Sultan Ratu Muhammad Mahiluddin (1881-1885). Setelah Sultan Mahiluddin meninggal posisinya digantikan Pangeran Cakra Negara. Namun, di masa kekuasaannya, sering terjadi penyerangan terhadap orang Belanda di Jambi. Bulan Juli 1886, Belanda dan pihak keluarga sultan berunding untuk pengangkatan sultan baru. Diangkatlah saudara tiri Sultan Taha, yakni Pangeran Suryo sebagai sultan. Ia bergelar Sultan Ahmad Zainuddin (1886-1899). Pangeran Ratu dipilih anak Sultan Taha yang baru berusia tujuh tahun, yakni Pangeran Anom Kusumo Yudho.
Belanda melalui Residen Palembang bernama Monod de Froideville berusaha secepat mungkin mengambil alih Kesultanan Jambi. Tahun 1899, Sultan Ahmad Zainuddin bias dipaksa turun tahta dan mendapat kompensasi f.4000/tahun dan sultan berhak menggunakan gelar susuhunan. Belanda memang menguasai Kesultanan Jambi, namun Sultan Taha di pedalaman Jambi masih bias eksis melakukan perlawanan. Sultan Taha bermarkas di Pematang, sementara saudara laki-lakinya yaitu Pangeran Dipo Negaro berpusat di Penerusan. Selain Sultan Taha dan suadaranya, anak laki-laki Sultan Taha juga memiliki daerah kekuasaan untuk benteng pertahanan. Pangeran Anom berkuasa di sekitar Sungai Batang Hari, daerah Merangin dikuasai Pengeran Temenggung dan daerah Bulian sekitarnya dipegang menantu Sultan taha, yakni Pangeran Prabu Negaro. Daerah Sekamis dan Pemusiran dikuasai Pangeran Kusin yang kemudian perjuangannya dilanjutkan anaknya, Raden Mattaher.
Sultan Taha memiliki 18 anak yang hamper semua anaknya menikah dengan musuh Belanda. Melalui perkawinan anak-anaknya, Sultan Taha berkerabat dengan musuh Belanda, seperti Pangeran Dipo Negoro, Pangeran Puspo Ali, dan Pangeran Kusin. Beberapa menantu Sultan Taha juga pembesar kerajaan. Pengaruh kekuasaan Sultan Taha dari hulu hingga ke hilir Jambi. [5]
Pada awal abad 20, Belanda berusaha melakukan penangkapan terhadap Sultan Taha. Pasukan Belanda telah masuk ke pedalaman dan mencoba menguasai daerah Tabir, Merangin, Ulu Tembesi, Batang Asai, Batin, Batin Pengambang dan Tebo. Pasukan yang ditempatkan di Tembesi dan Tebo dikhususkan melakukan pencairan dan penangkapan terhadap sultan. Tanggal 23 April 1904, pasukan Belanda yang dipimpin Letnan G Badings diberangkat dari Muara Tembesi. Pasukan mengarungi Sungai Tabir untuk menuju ke Betung yang disebut-sebut sebagai markas sultan. Tanggal 26 April, pasukan mengetahui jejak yang bias mengantarkan ke markas sultan.
Pasukan Letnan G Badings ini menemukan persembunyian sultan dan terjadi pertempuran. Sultan Taha tewas ditembak. Tanggal 27 April 1904, Belanda membawa jasad Sultan Taha ke Muara Tembesi. Berita kematian sultan diperkuat dengan pengembalian pakaian sultan yang dipakai pada saat bertempur dan sebilah pedang lurus kepada keluarganya. Usai sultan tewas, Raden Mattaher dipilih menjadi pangeran ratu. Ia melanjutkan tongkat estafet perlawanan terhadap kolonial Belanda di Jambi.
2.3 Strategi Menghadapi Belanda
Tidak seperti kebanyakan sultan-sultan Jambi lainnya, Sultan Taha dapat membaca dan menulis dengan baik. Iia memiliki wawasan politik Islam yang luas. Pengetahuan ini diperolehnya dari jaringan keluarga pihak ibunya yang berasal dari Arab. Sultan Taha tampil sebagai penentang yang tangguh terhadap ekspansi militer Belanda ke Jambi. Sikap Sultan Taha mendorong Belanda untuk melakukan ekspansi militer pada 1857 dan berhasil mengusir sultan dari istananya.
Residen Palembang, PF Laging Tobias pada 1881 mendeskripsikan Taha sebagai orang yang energik lagi bertempramen panas. Ia diluar kebiasaan Jambi yang lamban. Karenanyalah Sultan Taha adalah musuh utama kolonial Belanda. Walaupun secara formal kekuasaan Taha berakhir pada 1858. Tapi kurang lebih 40 tahun ia berjuang di belakang layar sebelum akhirnya mangkat pada 26 April 1904. [6]
Pihak kolonial Belanda menghadapi sosok Sultan Taha sebagai pimpinan yang berani, tegas, dan berkomitmen tinggi. Bagi Sultan Thaha tidak ada kompromi yang mengarah pada penurunan matabat, kehormatan, dan kemandirian Kesultanan Jambi. Draft kontrak politik yang diajukan oleh pemerintah kolonial Belanda dinilai sangat bertentangan dengan wibawa dan wewenang sultan yang selama ini memiliki peraturan tersendiri baik terhadap urusan internal rakyat Jambi maupun terhadap orang-orang asing (Cina dan Arab). Sikap keras dan tegas dari Sultan Thaha sempat menimbulkan kekhawatiran dari Belanda, yang teringat pada Perang Aceh
Dalam menghadapi Belanda, Sultan Taha memiliki strategi jitu. Selama 50-an tahun, Sultan Taha menerapkan strategi menghindar. Perilaku menghindar terutama didasarkan pada ketakutan akan konfrontasi dan konsekuensi-konsekuensi konflik. Respon semacam itu bisa jadi merentang dari sikap berlepas diri hingga adaptasi atau bahkan asimilasi secara lahiriah, dipadu dengan perlawanan batin, pengembangan atau pelestarian identitas tersendiri. Namun, model perlawanan yang dipilih Sultan Taha terbukti ampuh untuk waktu yang lama. Taktik mengelaknya menjadikan bentrokan mustahil terjadi, bahkan ketika pemerintah kolonial bernafsu melakukanny. Bentuk perlawanan ini bisa terus dilakukan sampai pemerintah kolonial menaikkan taruhan, menembus isolasi Sultan Taha dan mengubah hubungan itu menjadi konflik terbuka. Lalu Belanda terseret ke periferi atau dalam istilah Fieldhouse, ‘tersedot ke dalam imperialisme oleh daya magnet periferi.[7]
Stretagi lain yang dipakai Sultan Taha untuk membendung kekuatan Belanda adalah membangun jaringan dengan luar negeri. Sultan Taha sebagai pemimpin Jambi dalam melawan Belanda dari 1857 sampai 1904 juga pernah membangun aliansi politik-militer dengan Turki Utsmaniyah. Permohonan Sulthan Thaha sampai didengar oleh khalifah di Turki yang sempat menanyakan kepada pemerintah Belanda tentang status wilayah Jambi, apakah bahagian dari Hindia Belanda atau bukan. Meski telah mengeluarkan dana cukup besar dan beberapa kali mengirim utusan ke Turki ‘Utsmaniyah, realisasi bantuan tidak pernah sampai ke Jambi. [8]
Sultan Taha pernah menugaskan Pangeran Ratu Martaningrat ke Singapura untuk misi perdagangan dan diplomatik. Sultan melalui perantara pembesar Singapura keturunan Arab membawa surat ke Sultan Turki. Inti suratnya, minta pengakuan Sultan Turki menjadikan Jambi wilayahnya dan tak ada pihak lain yang berhak menguasai. Pembesar keturunan Arab itu diberi upah.
Beberapa laporan menyebutkan, bahwa sang konsul berjanji akan mengirimkan dua kapal perang untuk membantu Sultan Taha pada 1902. Pada 1903 seseorang yang masih kerabat Pangeran Wiro Kesumo datang ke Istambul. Ia dilaporkan banyak membawa dana untuk kepentingan perjuangan Sultan Taha. Ia sempat pula berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Sesampai di Mekkah, ia ditangkap dan disidang karena banyak menyalahgunakan dana dan dijebloskan ke penjara. Sampai 1903, Sultan Taha masih beberapa kali mengirim utusan ke Singapura atau langsung ke Istambul, sambil penuh harap akan mendapatkan bantuan dari Turki. Meski terdengar berita, bahwa pesannya sudah sampai dan didengar oleh Sultan Turki, akan tetapi wujud kongkrit bantuan tidak juga datang ke Jambi.[9]
BAB III
SOSOK RADEN MATTAHER
3.1 Raden Mattaher Versi Cerita Rakyat
Raden Mattaher mendapat julukan Singa Kumpeh sejak melakukan peperangan melawan kolonial Belanda dan menyebabkan kematian Ratu Mas Saleha yang merupakan anak Raden Mattaher sendiri. Sejak saat itu Raden Mattaher seolah mengamuk seperti Singa. Perlawanan demi perlawanan kemudian membuat Belanda menjuluki Raden Mattaher sebagai Singa Kumpeh. Masyarakat Jambi mengenalinya sebagai bagian dari cerita rakyat yang berkembang. Kisah itu sebagai berikut, sebagaimana dikutip sesuai dengan aslinya (Islami Amir dkk :1982).
Negeri Jambi yang damai dan berdaulat tiba-tiba goncang dengan datangnya Belanda. Mula-mula memang Belanda menawarkan maksud-maksud ingin berkuasa melalui jalan perundingan. Tetapi setelah Sultan Taha, raja Jambi waktu itu,menolak, terjadilah paksaan-paksaan melalui kekerasan. Asap bedil mula terlihat dimana-mana. Pasukan Belanda menyerbu Jambi, yang dimana-mana mendapat perlawanan gigih dari rakyat di bawah komando beberapa orang pejuang kesatria, yang dikenal sebagai panglima-panglima perang kerajaan.
Sultan Taha memanggil dan mengumpulkan panglima perang kerajaan Jambi. Maksud beliau untuk berunding bagaimana sebaiknya menghadapi Belanda. Bukankah usul Belanda telah ditolaknya?. Beliau tak hendak tunduk pada penja Belanda, panglima-panglima perang yang turut hadir dalam perundingan antara lain Raden Mattahir, Pangeran Tudek, Pangeran Ino Kertopati, dan Raden Usman.
Raden Mattahir dalam perundingan itu mengatakan “Belanda akan menyerang negeri kita! Karena mereka tahu kita tak hendak tunduk pada mereka.” Semua yang mendengar diam penuh pengertian. “Menurut hemat hamba,” katanya melanjutkan. “Kita harus menghadapi Belanda di Muara Jambi.”
Pendapat dan usul Raden Mattahir disetujui. Musyawarah lalu menetapkan untuk untuk tugas penghadangan tersebut dipercayakan kepada Raden Mattahir sendiri. Beliau didampingi pula oleh Raden Ino Kertopati, dan Panglima Tudek teman seperjuangan Raden Mattahir yang paling dekat.
Itulah nampaknya usaha Sultan Taha yang pertama sebagai taktik dan strategi untuk menentang kedatangan Belanda. Beliau tahu sekali pasukan Belanda kuat karena ditopang dengan peralatan yang lengkap. Tetapi beliau sudah bertekad untuk melawan yang kuat itu. Bagi beliau kedaulatan merupakan milik kerajaan yang tak dapat ditawar-tawar. Kalau panggilan itu untuk mempertahankannya sudah tiba, apa pun pengorbanan akan diberikan. Siapa tahu kelak, nyawa Sultan sendiri menjadi taruhannya.
Raden Mattahir, Raden Ino Kertopati, dan Panglimo Tudek telah mengetahui Belanda akan segera menyerang Jambi. Tiga panglima perang ini bersama-sama dengan anak buahnya segera menuju Muara Jambi. Tempat ini sebagai titik mula dijadikan ajang pertempuran dalam tahun 1900. Memang tahun ini mula pertama Belanda memasuki Jambi.
Pasukan Belanda pertama diangkut dengan delapan buah jukung beriring-iringan ditarik oleh sebuah kapal. Semenjak subuh Raden Mattahir dan pasukannya sudah menunggu. Kabut tebal masih menutupi permukaan sungai Batang Hari. Ketika sebarisan jukung memasuki daerah Muara Jambi yang sepi. Barisan jukung yang ditarik sebuah kapal perang itu nampak hitam dalam selimut Kabut pagi bagaikan ekor naga yang dinaiki setan-setan seperti dalam dongeng-dongeng kuno.
Pertempuran segera pecah
Raden Mattahir, Raden Ino Kertopati, dan Panglimo Tudek diikuti anak buah mereka dengan menaiki dendang meluncur dengan deras menyebut iring-iringan pasukan Belanda. Begitu sampai mereka berloncatan ke dalam jukung. Pekikan Allahuakbar berkumandang bersipon gang melantun-lantun dalam udara subuh di desa Muara Jambi. Pasukan Raden Mattahir mengamuk dengan dahsyat. Semua tentara Belanda mereka binasakan. Yang tidak terbunuh dalam serangan itu hanya dua orang ialah Kulun, Bujang dan Deris. Kedua orang ini kelak dijadikan mata-mata untuk mengamat-ngamati Belanda.
Serangan Belanda gagal dengan korban yang cukup besar. Dengan kegagalan ini bukan berarti Belanda menghentikan upaya sama sekali. Sebulan kemudian datang lagi iring-iringan tentara Belanda jauh lebih banyak jumlahnya dari yang datang pertama. Pertempuran sengit terjadi sepanjang sungai yang terentang mulai pinggir laut sampai ke kota Jambi. Tentara Belanda banyak yang dibinasakan, tetapi Jambi dapat mereka duduki.
Baginda Sultan Taha pantang menyerah beliau dengan sigap berpinfah ke hulu sungai Batang Hari. Pada waktu yang sama beliau menetapkan daerah perjuangan terbagi atas empat front. Front pertama meliputi daerah lingkar Air Hitam, Pijoan, Pematang lumut. Muaro bahan bagian dalam, Ulu Pauh, Payo Siamang, dan Jambi Luar kota. Markas pertahanan ialah Kumpeh, sangat dekat dengan kota Jambi. Front ini langsung dipimpin oleh Raden Mattahir. Beliau dibantu oleh Raden Pamuk dan Panglima Tudek. Front pertama ini sangat ditakuti Belanda, dan karena bermarkas di Kumpeh Raden Mattahir digelari Singa Kumpeh. Front kedua dipimpin Raden Usman, meliputi daerah Sungai Bengkal dan sekitarnya. Front ketiga meliputi daerah Sarolangun, dan Bangko yang mencakup daerah-daerah sekitarnya. Front ini dipimpin Pangeran Ino Kertopati dibantu oleh Depati Alam Sekemis. Diharapkan front ketiga ini sebagai daerah penangkal yang kuat di bagian selatan.
Front keempat adalah Muara Tebo dan Muara Bungo sebagai pusat pemerintahan dipimpin langsung oleh Sultan Taha. Secara politis daerah ini amat penting artinya karena dijadikan Sultan sebagai pusat pemerintahan semenjak Jambi dikuasai Belanda kendati pun Sultan menentukan daerah ini sebagai pusat pemerintahan, tetapi beliau sendiri selalu bergerak melakukan perlawanan sampai ke front kedua bahkan melampauinya sampai ke jambi.
Suatu ketika dapat diketahui bahwa Belanda akan mengangkut pembekalan dari Muara Tembesi untuk Sarolangun Raden Mattahir telah mendapat perintah dari Sultan untuk menghadang dan menggagalkan usaha pengiriman pembekalan tersebut.
“Kapal yang akan mengangkut perbekalan tersebut ialah kapal Musi,” kata seorang kurit ketika menyampaikan perintah Sultan “Tuanku harus berhati-hati karena kapal tersebut dikawal sangat ketat.” Raden Mattahir mempererat bibirnya, mata terkatup dengan gemertak gigi dipergeserkan. Tinjunya mengepal dan ditumbukkannya ke permukaan telapak tangan kirinya beberapa kali.
“Belanda kurang ajar!” desisnya kepada kurir didepannya. “Katakan kepada Sultan perintah telah kumaklumkan dan Insyaallah akan kulumatkan serdadu-serdadu tersebut.” Raden Mattahir bersama-sama empat puluh orang anak buahnya bergegas mendahului Belanda mengangkut pembekalan, menuju Tanjung Gagak dan Tanjung Penjaringan. Dari kedua tempat inilah nanti Raden Mattahir akan melakukan penghadangan. Ketika iring-iringan sampai di Tanjung Gagak terjadilah pertempuran. Dengan susah payah iring-iringan itu dapat maju setapak demi setapak. Tetapi di Tanjung Pengaringan iring-iringan mendapat gempuran kembali dari Raden Mattahir. Dengan semangat yang tinggi anak buah Raden Mattahir mengahantam pasukan Belanda.
Dalam pertempuran ini Belanda mengalami kekalahan besar. Sisa-sisanya dapat melarikan diri dan sampai juga ke kota Sarolangun. Balanda sangat marah. Singa Kumpeh harus segera dimusnahkan demikian pendapat para pemimpin Belanda di Jambi untuk pemerintahan pusat di Batavia harus segera diberi tahu. Ya, tentu menerima lebih banyak serdadu
Dalam tahun itu juga Belanda mendatangkan balabantuan dari Batavia. Tujuan utama untuk menghentikan perlawanan rakyat di daerah Sarolangun dan Bangko yang makin meningkat, yang menewaskan banyak tentara Belanda. Raden Mattahir kembali ditunjuk untuk membantu Pangeran Ino Kertopati dan Depati Alam Sekemis yang dikeroyok habis-habisan oleh Belanda. Kedua panglima perang ini telah mendirikan dan berhasil membentuk suatu pasukan yang diberi bernama Pasukan Mentawak.
Raden Mattahir sesampai di Sarolangun segera bergabung dengan pasukan Mentawak. Pangeran Ino Kertopati dan Depati Alam Sekemis amat bergembira menerima kedatangan Singa Kupeh yang yang terkenal itu. Pasukan hebat terjadi di Pauh, dengan gagah berani Raden Mattahir dan kawan-kawannya beserta balatentara. Mentawak menggempur pasukan Belanda. Ternyata pasukan Belanda dengan kocar-kacir mengundurkan diri ke kota Sarolangun.
“Kali ini Belanda berhasil kita pukul!” kata Depati Alam Sekemis menghadap Raden Mattahir dan Pangeran Ino Kertoparti. “Itu berkat bantuan Raden tentunya.” “Ya, berkat bantuan Singa Kupeh” selang pangeran Ino pula. Pasukan Mentawak sungguh hebat!” seru Raden Mattahir mencoba menandingi pujian temannya.
Raden Mattahir, Singa kumpeh itu, selalu tak tetap tempat operasinya. Ia berpindah-pindah dari satu Front ke Front yang lain. Memang kehebatannya luar biasa. Ditakuti oleh musuh dan sangat dihormati teman-temannya, perhitugannya selalu tepat, jalan pikirannya jitu.
Dalam tahun 1901 tentara Belanda menggempur habis-habisan pasukan Raden Usman di Sungai Bangkal Front kedua Raden Mattahir dipanggil untuk membantu Front kedua ini. Pertempuran hebat terjadi di Pelabuhan Dagang. Belanda dapat dikalahkan.
Pada tahun 1902 Belanda semakin nekad. Pasukannya menyerang kota Muara Bungo. Raden Mattahir diperintahkan pula ke sana mempertahankan Muara Bungo. Pertempuran sengit terjadi di Tanjung Gedang. Raden Mattahir dapat menenggelamkan tiga puluh buah kapal Belanda. Tetapi karena pasukan Belanda amat kuat dan jumlahnya sangat banyak kota ini dapat diduduki Belanda.
Belanda terdengar pula menyerang Tungkal Ulu. Raden Mattahir amat marah. Sekujur tubuhnya terasa panas. Kakinya menghentak-hentak ke tanah ketika utusan berdatangan melaporkan terjadinya serangan Belanda. Belanda rupanya sudah ingin secepatnya menelan seluruh Jambi, Tungkal Ulu, Sengeti, Pematang Lumut, dan Muara Pijoan menjerit dihantam Belanda. Perintah sudah Tak mungkin ditunggu lagi, kebijaksanaan mengambil inisiatif satu-satunya langkah yang paling tepat waktu itu. Raden Mattahir cepat-cepat meninggalkan Muara Bungo menuju Jambi. Dari sini dia menyilang ke Timur menuju Tungkal Ulu. Terjadi pertempuran sengit yang menyebabkan Belanda dipaksa mundur ke Jambi.
Raden Mattahir selesai bertempur di Tungkal Ulu bergegas pula bersama dengan dua puluh orang anak buahnya menuju sengati. Disini Raden Pamuk dijumpainya sedang memimpin pertempuran melawan Belanda. Raden Mattahir langsung melibatkan diri dalam pertempuran itu. Kemudian berturut-turut dia menuju Pematang Lumut dan Muara Pijoan. Bersama Raden Pamuk pasukan Belanda dapat dihancurkan banyak senjata Belanda yang dapat dirampas. Semua senjata itu dibawa Raden Pamuk ke markasnya di Jelatang.
Masing masing Front terjepit. Raden Mattahir dengan semangat yang tinggi mengambil inisiatif sendiri untuk menyerang Belanda. Setelah bertempur di Muara Pijon, dia bertempat dengan Raden Pamuk. Tengku Suto Alam, dan Bahar, seorang suku anak dalam, menyerang kantor Bea Cukai Belanda di Banyunicir. Dapat dirampas tiga puluh ribu uang perak Belanda.
Pemerintah Belanda sangat geram akan ulah Raden Mattahir Singa Kumpeh itu benar-benar bagaikan singa. Ia mudah berpindah-pindah. Dimana Belanda menyerang, ia telah menyerbu ke tempat tersebut benar-benar singa yang tahu akan mangsa untuk dilahap dagingnya. Untuk menghadapi Raden Mattahir pemerintah Belanda tak kurang akal. Kemas Ngebi Puspoyodo Kadir mereka angkat sebagai seorang perwira diberi pangkat kapten. Orang inilah nanti yang di kan Belanda mengahadapi Raden Mattahir.
Di Sungai Terap Kapten Kemas Ngebi Puspoyodo Kadir terlibat pertempuran melawan Raden Mattahir. Untuk kesekian kalinya Belanda mengetahui keunggulan Singa Kumpeh. Tentara Belanda dipaksa mengundurkan diri, setelah menderita kerugian yang amat besar. Belanda amat marah kepada Raden Mattahir. Ke Kumpeh, tempat markas Raden Mattahir, dikirim dengan sebuah kapal. Rumah yang dijadikan markas oleh Raden Mattahir dan Raden Pamuk dikepung oleh sepasukan tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Kemas Ngebi Puspoyodo Kadir. Rumah tersebut mereka bakar. Tetapi setelah diselidiki tidak dapat dijumpai siapapun didalamnya.
Dalam saat pasukan Belanda diamuk kemarahan serta kebingungan, tiba-tiba terdengar pekikan diatas kapal perang Belanda yang menunggu di tengah sungai. “Kalau Raden Mattahir yang kalian cari, berhimbau Singa Kupeh dengan seuara lantang dari atas kapal perang Belanda. “Dia di sini di atas kapal.”
Tak kepalang tanggung marah pasukan Belanda saat itu. Berdasarkan keterangan mereka tahu benar Raden Mattahir berada dalam rumah yang telah mereka bakar menjadi abu. Tahu-tahu Singa Kupeh itu telah berada di atas kapal mereka. Raden Mattahir dan Raden Pamuk beserta anak buah mereka mengamuk bagaikan banteng-banteng luka. Empat puluh orang tentara Belanda yang berada di atas kapal tewas semuanya digasak pasukan Raden Mattahir. Setelah berhasil dengan baik mengobrak-abrik pasukan Belanda di Kumpeh, Raden Mattahir dan Raden Pamuk mengundurkan diri ke arah Jambi luar kota.
Di tengah perjalanan, di daerah The Hok, mereka dihadang oleh pasukan Belanda. Pertempuran terjadi beberapa saat, dalam pertempuran ini Raden Pamuk dapat ditangkap. Raden Mattahir seorang diri memimpin sisa-sisa anak buahnya. Sementara itu datang khabar yang sangat menyedihkan. Sultan Taha gugur dalam pertempuran di Betung Berdarah. Beliau dikuburkan di Muara Tebo oleh Belanda. Tak lama kemudian seorang demi seorang panglima perang jambi gugur dalam pertempuran di medan perang.
Perjuangan menghendaki pengorbanan. Pengorbanan yang diberikan kadang-kadang baru dirasakan puluhan tahun kemudian. Sebagai seorang panglima perang, Raden Mattahir kelihatan amat sedih, tetapi dalam diri beliau tumbuh tekad untuk berjuang terus sampai titk terakhir. Raden Mattahir berjuang seorang diri. Dia kembali ke Kumpeh. Di sini dia meneruskan perjuangan melawan Belanda disertai oleh sisa-sisa pasukannya sampai tahun 1907.
Dalam pada itu ada rencana pegikut-pengikut Raden Mattahir untuk menyelamatkan beliau. Mereka melihat perjuangan yang dilakukan oleh panglima perang mereka itu sudah tak mungkin lagi diteruskan. Seluruh daerah Jambi sudah dikuasai Belanda. Oleh penduduk desa Muara Jambi, Marga Muara Sebo Hilir, dipersiapkan perahu-perahu untuk membawa Raden Mattahir dan beberapa orang pengikutnya ke Melaya, Malaysia sekarang. Uang sejumblah lima ratus ringgit juga sudah mereka kumpulkan untuk biaya perjalanan itu. Kalau ini berhasil dilakukan tentu Belanda tidak mengetahui lagi jejak Raden Mattahir Singa Kumpeh yang ditakuti itu.
Mengetahui rencana Raden Mattahir termenung. Air mantanya menitik pelan, ia tahu bahwa rencana didorong rasa cinta kasih yang tulus rakyat kepadanya. Tetapi ia tidak mengorbankan jiwa besarnya. Tentu kalau dituruti keinginan rakyat, yang akan mendapat korban hanyalah mereka sendiri. Cepat atau lambat pasti Belanda akan mengetahuinya juga. “Terimakasih atas segala budi baik kalian!” kata Raden Mattahir di hadapan beberapa rakyat yang menjemputnya. “Benar aku dapat selamat di Malaya. Tetapi bagaimana dengan kalian disini? Tentu kalian akan disiksa oleh Belanda. Mata-mata Kemas Kadir telah sampai di tempat kita ini. Tidak! Aku tidak ingin hal yang demikian terjadi. Aku rela mati dalam pertempuran! Sekurang-kurangnya kematianku akan dapat membebaskan penderitaan kalian. Esok kita akan berpisah. Aku telah mendengar panggilan arwah para datuk kita yang berkubur di Sipin dan Talang Jawo. Telah datang kepadaku tiga ekor kupu-kupu belang tiga yang hinggap di bahuku. Terimakasih atas pengorbanan kalian, ketulusan, dan cinta kasih yang ternilai yang tak ternilai harganya.”
Semua yang hadir terisak menangis. Mereka akan ditinggalkan buat selama pakain yang sebagus-bagusnya. Pinggangnya diikatnya erat-erat. Di pinggang itu disisipkannya sebilah keris. Ia duduk lurus. Agaknya menunggu gerak apa yang akan datang. Diharibaanya terbaring sepucuk senapan, tak ubahnya Raden Mattahir akan pergi ke medan perang. Raden Akhmad, adiknya, disuruhnya menjaga pintu masuk di depan. Pintu belakang disuruhnya pak Gabuk, panglima Mentawak, menjaganya.
Tidak lama lagi pasukannya Belanda akan mengepung rumah ini. Kita akan melepaskan tembakan lebih dahulu dari mereka. Kuatkan iman kalian berdua. Sakit kena peluru dan seberapa tidak tahan lama. Yang kita harapkan kelak negeri kita bebas dari penjajahan.” Itulah ucapan Raden Mattahir kepada kedua orang yang mendampinginya saat itu. Kata yang menggambarkan betapa tingginya semangat juang beliau.
Rumah Raden Mattaher di Muarojambi
Sumber : Dokumentasi Tim Penulis (2016)
Tak lama kemudian pintu terdengar diketok orang dari luar. “Siapa!” kata Raden Mattahir. “Aku, Hir!” jawab Kemas Ngebi Puspoyodo Kadir, yang rupanya telah datang membawa anak buahnya untuk menangkap Raden Mattahir. Dan ia meloncat naik ke garang dapur. “Hir!” Seru Kemas Kadir pula. “Menyerahlah engkau kepada Belanda! Aku jamin engkau tidak diapa-apakan.” “Hai!” jawab Raden Mattahir “Engkau rupanya, Paman! Sampai hati benar paman membawa ke mari.”
Lalu secepat kilat Singa Kumpeh itu meloncat dan mencabut kerisnya menikam Kemas Kadir. Tetapi tikaman itu di elakkan oleh musuhnya. Namun tangan Kemas Kadir terpungkas bunting. Tak lama sesudah itu tentara Belanda menyerbu masuk. Terjadillah pertempuran di dalam rumah. Akhirnya Raden Mattahir, adiknya Raden Akhmad, dan pak Gabuk tewas dikeroyok tentara Belanda.
Konon kelingking Raden Mattahir dikuburkan di Muara Jambi tempat ia tewas. Badannya di bawa ke kota Jambi. Setelah dipertontonkan kepada rakyat maka dikuburkanlah di Solok Sipin. Pahlawan besar telah pergi. Jasanya tetap dikenang dan dihargai bangsanya sepanjang masa. Salah sebuah jalan dalam Kotamadya Jambi menggunakan namanya sebagai rasa bangga generasi yang ditinggalkannya.
3.2 Keluarga
Raden Mattaher bin Raden Kusen gelar Pangeran Jayoninggrat bin Pangeran Adi bin Raden Mochamad gelar Sultan Mochammad Fachruddin lahir di dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Batin VI, Jambi. Ia lahir tahun 1871 dari pasangan Pangeran Kusin dan Ratumas Esa (Ratumas Tija). Ibunya kelahiran Mentawak, Air Hitam Pauh yang dahulunya adalah daerah tempat berkuasanya Temenggung Merah Mato. Raden Mattaher biasa dipanggil Mat Tahir. Masyarakat Jambi juga menyebutnya dengan nama orang terkenal, pintar, cerdik dengan gelar Mat Keriting, Mat Belut, dan Mat Itam. Beliau merupakan cucu Sultan Taha Syaifuddin, pahlawan nasional dari Jambi. Hubungannya adalah ayah Raden Mattaher bernama Pangeran Kusin adalah anak Pangeran Adi, saudara kandung Sultan Taha Syaifudin. Penulisan nama Raden Mattaher oleh Fachrudin Saudagar (2012) disebut dengan berbagai macam berdasarkan berbagai sumber antara lain adalah sebagai berikut :
- J. Velds, dalam De Onderwerping van Djambi in 1901-1907, menuliskan Raden Mat Tahir sebagai Raden Mat Tahir dan atau Mat Tahir.
- Raden Syariefs (1969) di dalam bukunya Riwajat Ringkas Tentang Perdjuangan Pahlawan Djambi Raden Mattaher Panglima Sultan Thaha, menuliskan Raden Mat Tahir sebagai Raden Mat Tahir.
- Keputusan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong Rojong Tingkat II Kotapradja Djambi, Nomor 4/DPRD-GR/63, tentang Penetapan Nama-Nama Djalan Dalam Kotapradja Djambi, tanggal 1 Djuli 1963, memutuskan bahwa terhitung sejak tanggal keputusan ini “Djalan Batanghari, dari Sp. III Djl. Kartini s/d sebelah ilir Djembatan Sei. Asam, sebagai jalan lama dengan nama Djalan Batanghari diganti dengan nama baru yakni jalan R.M.Tahir”.
- Osman Situmorang (1973) dalam Skripsinya Raden Mattahir Pahlawan Jambi, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Jambi, menuliskan nama Raden Mat Tahir sebagai Raden Mattahir.
- Ratumas Siti Aminah Ningrat dalam bukunya Perjuangan Rakyat Jambi Raden Mat Tahier (1817-1907) menuliskan namanya sebagai Raden Mat Tahier.
- Tideman di dalam Koninklijke Vereeniging Koloniaal Instituut Amsterdam, No. XLII, menuliskan nama Raden Mat Tahir sebagai Mattaher.
- Elsbeth Locher-Scholten (1994) di dalam Sumatran Sultanate and Colonial State : Jambi and the Rise of Dutch Imperilasm1830-1907, menuliskan nama Raden Mattaher sebagai Mat Tahir.
- Mukti Nasruuddin (1989) dalam bukunya Jambi Dalam Sejarah menuliskan nama Raden Mat Tahir sebagai Raden Mattahir.
- Rumah Sakit Umum Raden Mattaher, menuliskan Raden Mat Tahir sebagai Raden Mattaher.
Tak ada catatan tanggal dan bulan kelahiran Raden Mattaher, hanya tercatat tahun kelahiran, yakni tahun 1871. Perihal kondisi ini, Ratumas Siti Aminah Ningrat yang merupakan cucu kandung Raden Mattaher mengakui, tak ada catatan tanggal dan kelahiran kakeknya itu. Ayah Ratumas Siti Aminah Ningrat, yaitu Raden Hamzah yang merupakan anak kandung Raden Mattaher hanya menuliskan silsilah keluarganya, tanpa ada catatan angka tahun kelahiran Raden Mattaher. Menurut Ratumas Siti Aminah, zaman itu orang tak mementingkan masalah penanggalan. Pihak keluarga tak ada yang tahu tanggal dan bulan kelahiran Raden Mattaher. Sepanjang hidup sejak dewasa sampai meninggal, Raden Mattaher hidup dalam perjuangan melawan Belanda, bahkan lebih banyak hidup dalam pelarian sehingga jarang berkumpul bersama keluarga.[10]
Ayah Raden Mattaher, Pangeran Kusin memiliki dua orang istri, yaitu Ratumas Esa dan istri kedua bernama Ratumas Esa II yang tinggal di Malaysia. Dari istri pertama memiliki empat anak, yaitu Raden Mattaher, Raden Usman, Raden Ahmad dan Ratumas Halijah. Sementara dari istri kedua mendapatkan keturunan juga empat orang, yakni Raden Hasan, Ratumas Halijah, Raden Kasim dan Raden Abdurrahman. Saudara-saudara Raden Mattaher ada yang mengungsi dan tinggal di Batupahat, Malaysia, yaitu Raden Hasan, Raden Kasim, Raden Thaib, Ratumas Jaliah dan Ratumas Fatimah. [11]
Raden Mattaher memiliki memiliki beberapa orang istri. Diantaranya, menikah dengan Siti Esah, kawin dengan perempuan keturunan Ratumas Bilis Kumpeh yang tinggal di Merangin dan menikah dengan gadis dari Sungai Sepintun, Jambi. Dari pernikahan ini, Raden Mattaher memiliki anak, yakni Raden Buruk, Raden Hamzah (Raden Matadji), Raden Sulen (Raden Kusen) dan Raden Zaenal Abidin, suami Ratumas Kandi.
Raden Mattaher gugur dalam pertempuran melawan Belanda di dusun Muaro Jambi, pada hari Jum’at, waktu subuh, tanggal 10 September 1907. Raden Mattaher dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Jambi di tepi Danau Sipin Jambi, Kabupaten Muara Jambi Kecamatan Maro Sebo.
Setelah Raden Mattaher meninggal dunia, dua orang putra Raden Mattaher dapat ditangkap Belanda sedang dalam asuhan (masih kecil) yakni Raden Hamzah dan Raden Sulen. Keduanya diserahkan Belanda kepada A. M.Hens, seorang Controleur Muara Tembesi. Tetapi karena controleur itu sedang cuti ke luar negeri, maka kedua anak itu diserahkan Belanda kepada Demang Ibrahim, yakni Demang Muara Tembesi untuk menjaga keselamatannya. Lalu kemudian Demang Ibrahim menyerahkan kedua anak Raden Mat Tahir kepada Residen O,L. Helffrich di Jambi. Oleh Residen O.L.Helffrich kedua anak itu bertempat tinggal di rumah residen, lalu oleh risiden disekolahkan di Olak Kemang dengan biaya ditanggung Belanda. Lalu kedua anak itu oleh Residen O.L.Helffrich dikirim ke Palembang untuk sekolah lebih tinggi. Kemudian pada tahun 1914 kedua anak Raden Mattaher itu di kirim oleh Pemerintah Belanda ke Batavia. Sedangkan tiga orang anak Raden Mat Tahir yang belum tertangkap Belanda, diungsikan oleh keluarganya di Malaya (Malaysia).
3.3 Konsep dan Pandangan Hidup
Raden Mattaher sejak kecil suka pencak silat, bermain biola, kecapi, dan suling. Tak hanya belajar agama Islam, ia juga mempelajari ilmu kesaktian dan ilmu tentang militer. Raden Mattaher belajar kesaktian pada gurunya, yaitu Panglima Rio Depati Tabir, Sampena Gelar Panglima Layang-Layang Mandi Mentawak dan belajar ilmu kanuragan dari Panglima Tedung Sungai Tenang Merangin. Saat belajar kesaktian ia tak sendiri melainkan berdua dengan Panggeran Maaji Gelar Pengeran Karto. [12]
Soal kesaktian, masyarakat Tanjung Penyaringan, Jambi di zamannya mempercayai kehebatan Raden Mattaher. Ia disebut pandai melompati Batang Tembesi yang lebarnya 300 meter. Raden Mattaher disebut juga bisa menghilang seperti hantu dan bisa juga berubah wajah dari anak-anak menjadi orang dewasa memegang pedang. Isu kesaktian Raden Mattaher ini juga dipercayai orang Belanda yang ada di Jambi.
Tak hanya memperdalam ilmu kesaktian, Raden Mattaher mempelajar ilmu Agama Islam dari beberapa guru. Ia belajar mengaji pada orang Arab yang tinggal diseberang Pauh dan guru dari Pamenang, Jambi. Selain kesenian, Raden Mattaher juga suka berolahraga main sepakraga (sepak takraw). Pada masa Sultan Taha Syaifuddin masih berkedudukan dan memerintah di Istana Kampung Gedang Tanah Pilih, Raden Mattaher adalah seorang pemuda beranjak dewasa. Ia belum memikul suatu jabatan apapun di dalam kesultanan. Namun, sosoknya telah memperlihatkan sebagai seorang kesatria, berani, cerdas, dan pandai mengatur strategi.
Pada waktu pasukannya bergerilya di dalam hutan, untuk pengisi waktu dan letih, Raden Mattaher suka mengajak anak buahnya bernyanyi. Ia sendiri yang menggesek biola, sambil menyanyi. Semasa perjuangan di dalam hutan, ia memerintahkan beberapa anak buahnya membawa alat musik. Saat kondisi aman dan ada waktu hiburan, mereka bergembira bersama. Ia amat menyukai lagu berjudul “Nasib”. Lagu yang bercerita tentang nasib mereka yang hidup dalam hutan belantara, makan dengan buah-buahan, berpakaian kulit kayu, tidur berbantal tanah liat dan jauh dari bergaul dengan sanak keluarga.
Raden Mattaher juga suka memakan daging menjangan sebagai lauk di saat bergerilya dalam hutan.Sosok Raden Mattaher memiliki kharakter yang keras dan pemberani. Di depan anak buahnya ia selalu berkata: ayahku Raden Kusen mati di tanah suci Mekah saat menunaikan ibadah haji, tentulah beliau sebaik-baiknya mati saat menunaikan ibadah. Raden Mattaher juga menginginkan meninggal dalam kondisi syahid. Meninggalkan dalam perjuangan melawan Belanda dan syahid dalam menegakkan Agama Islam. Kematian seperti ini yang ditunggunya karena dianggap derajatnya lebih tinggi karena berjuang untuk kepentingan Negara. Ia tak menginginkan meninggal atau sakit ditawan Belanda yang dianggapnya kafir.
Di dalam buku Nederlandsch Militair Tijdschrift, Belanda mengakui kehebatan sepak terjang Raden Mattaher. seperti yang dikutip Mukti Nasruuddin dalam bukunya Jambi dalam Sejarah disebutkan bahwa “Mattahir onze onverzoenlijkste vijand en de meest gevreesde en actieve der Gouvernments tegenstanders”. Belanda menilai Mattaher sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukan dan seorang lawan yang gesit dan ditakuti.
Raden Syariefs menulis soal karakter Raden Mattaher yang keras dan tanpa kompromi terhadap Belanda terungkap dari keputusannya menolak untuk pindah ke Malaysia. Pada penghujung 1907 ada upaya untuk mengungsikan Raden Mattaher ke Batupahat, Malaysia. Uang 500 ringgit sebagai bekal telah terkumpul. Perahu layar dan pasukan pengantar sudah disiapkan. Pada awal September 1907 Raden Mattaher bersama pengikutnya berada di dusun Muaro Jambi. Para pemuka dusun Muaro Jambi dan sekitarnya termasuk para pengikutnya dan keluarganya, melakukan musyawarah dan meminta agar Raden Mattaher mengungsi ke Malaysia. Di Batupahat telah mengungsi beberapa keluarga keturunan Sultan Taha Syaifuddin dan saudara Raden Mattaher. Usulan ini ditolak secara tegas oleh Raden Mattaher.
Ia beralasan jika mengungsi ke Malaysia, dirinya selamat. Namun, warga yang ditinggalkan akan jadi sasaran Belanda. Bisa saja kampong Muaro Jambi dibumihanguskan Belanda. Raden Mattaher menilai terlalu besar derita yang akan diderita masyarakat yang ditinggalkannya kalau dirinya memilih mengungsi. Ia tidak mau disebut orang pelarian, sementara masyarakat yang ditinggalkan menderita. Dicontohkannya, kampung Tachtul Yaman di Jambi yang telah membantu, mereka sekampung didenda 15000 ringgit. Ada lagi kejadian yang menimpa kawannya Kemas Temenggung Dja’far yang membantu alat senjata yang dibawa dari Malaysia. Ia ditangkap Belanda. Raden Mattaher mengaku tak mau disebut orang yang takut mati. Ia sudah siap menunggu Belanda dan tak mau hidup terus bersembunyi.
3.4 Raden Mattaher Dalam Silsilah Kesultanan Melayu Jambi
Raden Mattaher adalah cucu Sultan Taha. Sultan Taha di nobatkan sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran Jayaningrat. Beliau memimpin pemerintahan baru dengan bekal pusaka Keris Siginjei. Sebagai tanda kebesaran kesultanannya. Sultan Nachruddin pun diusir. Pemerintahannya menghadapi Belanda, dibantu oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama Raden Muhammad, yang kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat. Sementara itu, pihak Belanda menyusun kembali kekuatan baru. Bala bantuan yang akan dipakai menebus kekalahan perangnya dengan kesultanan Jambi cepat didatangkan dari Palembang. Dibantu Sultan Nachruddin yang telah menjadi antek sekutunya, kemudian terjadilah perang kedua. Istana kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan Taha terpaksa meninggalkan istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke wilayah Muara Tembesi. Bersama sisa-sisa pengikut setianya, dia lalu melancarkan perang gerilya. Sultan Nachruddin resmi diangkat Belanda sebagai sultan baru yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau mengakuinya.
Pusaka keris Siginjei yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja masih ada di tangan Sultan Taha. Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan pasal perjanjian baru yang lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC, pihak rakyat Jambi tetap memihak kepada Sultan Taha.
Sultan Nachrudin menyadari posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena di satu sisi sebagai sultan baru dia tak diakui kedaulatannya oleh rakyat, sementara di pihak lain Belanda pun mengadakan penekanan terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa semangat nasionalismenya Sultan Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia pun menyatakan bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian. Pernyataan yang disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Taha. Kemudian, dengan diam-diam pula tanpa diketahui Belanda, sang sultan gadungan Nachruddin segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Jambi ke suatu wilayah bernama Dusun Tengah, yang lokasinya sekarang berdekatan sekali dengan Muara Tembesi yang kala itu menjadi pusat kegiatan gerilya Sultan Taha. Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai waktu yang cukup lama oleh kedua paman dan keponakan yang sama-sama bertekad untuk bersatu padu kembali membela tanah Jambi itu.
Perlawanan demi perlawanan pun terus digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga. Dikabarkan, pihak Jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Taha dalam posisi gerilyanya hingga mencapai usia 85 tahun dan tetap tak mengakui kehadiran Belanda maupun organisasi dagangnya, VOC. Waktu itu pasukan Sultan Taha dan Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan. Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu di seluruh wilayah Jambi. Mulai dari wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke Kuala Tungkal, perlawanan rakyat Jambi terus bergolak. Sultan Taha sendiri tak mempunyai pikiran untuk menyerah sekalipun perlawanan yang ditunjukannya lama-kelamaan semakin parah. Tetapi bagaimanapun, semangat perjuangan rakyat Jambi yang tak didukung oleh persenjataan besar sebagaimana perlawanan pihak kerajaan pribumi di wilayah Indonesia lainnya itu, tetap tak berhasil mematahkan maklumat keji yang di buat Belanda. Kala itu, Belanda telah sempat memperluas kekuasaannya hingga membuat Sultan Taha kian tersudut.
Akhirnya sultan mengasingkan diri di sebuah daerah Tebo, sampai beliau menghembuskan nafas terakhirnya sebagai pahlawan yang tak pernah lelah mengusir penjajah dari tanah Jambi. Sultan Taha adalah sultan terakhir Kesultanan Jambi. Sebagai sebuah Kesultanan yang memiliki sejarah yang panjang, tentunya Kesultanan Jambi juga memiliki beberapa orang raja/sultan yang memerintah dan berkuasa di Jambi ini. Raja/Sultan di Kesultanan Jambi telah memerintah berturut-turut semenjak berdirinya Kerajaan Jambi pasca terpecahnya Kerajaan Melayu Menjadi dua, yaitu Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi sekitar awal abad ke-15 Masehi. Setidaknya kerajaan ini, dimulai dari masa kepemimpinan Puti Selaro Pinang Masak (1460-1480) sampai Sultan Taha Syaifuddin (1855-1904).
Jika dirunut jumlah semua raja/sultan yang pernah memimpin Kesultanan Jambi lebih kurang 21 orang, terdiri dari delapan orang raja (Rajo) dan tiga belas orang sultan. Adapun nama dan periode kepemimpinan para raja/sultan yang memimpin Kerajaan/Kesultanan Jambi sepanjang sejarah Kerajaan jambi sebagai berikut.
- Putri Selaro Pinang Masak (1460-1480); pada masa ini Raja Jambi dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Tanh Pilih.
- Orang Kayo Pingai (1480-1490);
- Orang Kayo Kedaratan (1490-1500);
Kedua raja di atas, dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Jambi.
- Orang Kayo Hitam (1500-1515);
- Penambahan Rantau Kapas (1515-1540);
- Penambahan Rengas Pandak (1540-1565);
- Penambahan Bawah Sawo (1565-1590);
- Penambahan Koto Baru (1590-1615);
Pada kepemimpinan lima raja di atas, raja dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Islam Tanah Pilih.
- Sultan Agung Abdul Qahar (1615-1643);
Masa kepemimpinan Sultan Agung Abdul Qahar, sebagai tonggak awal raja/penguasa Kerajaan/Kesultanan Jambi bergelar sultan.
- Sultan Agung Abdul Jalil (1643-1665);
- Sultan Abdul Muhyi Sri Ingologo (1665-1690);
- Sultan Kiai Gedeh (1690-1696);
- Sultan Mahmud Syah (1696-1740);
- Sultan Sri Maharajo Batu (1696-1721);
Sultan Sultan Mahmud Syah berkedudukan di Tanah Pilih Jambi, sedangkan Sultan Sri Maharajo Batu berkedudukan di Mangun Jayo (M. Tebo) sebagai sultan tandingan.
- Sultan Sri Ingologo (1740-1770);
- Sultan Anom Sri Ingologo (1770-1790);
- Sultan Ratu Sri Ingologo (1790-1812);
- Sultan Agung Sri Ingologo (1812-1833);
- Sultan Muhammad Fachruddin (1833-1841);
- Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855);
- Sultan Taha Syaifuddin (1855-1904).
Selain itu juga terdapat sultan produk Belanda atau sultan yang diangkat oleh penguasa Belanda, dikenal dengan sebutan sultan Bayang. Sultan pada masa ini terdiri dari tiga orang yang memimpin berkisar dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1899 Masehi. Adapun nama sultan/raja yang dibawah tekanan Belanda sebagai berikut:
- Sultan Ahmad Nasaruddin/Raden Ahmad (1858-1881);
- Sultan Ahmad Mukyidin (1881-1885);
- Sultan Ahmad Zainuddin/Pangeran Surio (1886-1906)
Perjuangan Sultan Taha dilanjutkan oleh Raden Mattaher yang merupakan cucu beliau. Sultan Taha memiliki seorang anak yang bernama Pangeran Khusen bergelar Jayo Ningrat yang meninggal dunia di Mekkah. Pangeran Khusen memiliki dua istri yang bernama Ratumas Esa (Ratu Mas Tija) dan istri kedua yang bernama Ratumas Esa II (berasal dari Malaysia). Dari istri pertama yang bernama Ratumas Esa ini terlahir Raden Mattaher silsilah terlampir). Sedangkan kronologi terbentuknya Kesultanan Jambi adalah sebagai berikut.
BAB IV PERJUANGAN RADEN MATTAHER
4.1 Route Gerilya Pasukan Raden Mattaher
Perjuangan Raden Mattaher identik dengan perlawanan rakyat Jambi melawan kolonial yang dikenal dengan Perang Kumpeh. Perang Kumpeh adalah perang yang berkepanjangan dari tahun 1890-1906. Perang Kumpeh adalah perang yang panjang dan lama. Raden Mattaher terlibat secara langsung dalam perang Kumpeh yaitu menyerang Kapal Belanda di Sungai Kumpeh. Keberhasilan Raden Mattaher menyerang kapal perang Belanda ini, maka Raden Mattaher diberi gelaran sebagai Singo Kumpeh.
Sebelah Barat Kumpeh ini terletak sungai besar Batanghari. Di sebelah selatannya terletak Sungai Lalang. Sebelah Utaranya ialah Kota Jambi. Di sebelah Timur sebagian dan selatan sebagian air hitam laut bagian Jambi dan Palembang.
Barat Kumpeh Yang Merupakan Sungai Batanghari
Sumber : Dokumentasi Tim Penulis (2016)
Daerah Kumpeh memang merupakan suatu daerah yang telah lama permusuhan terjadi dengan Belanda, sejak kedatangannya di Kumpeh tahun 1616-1625. Perang Kumpeh yang terjadi antara tahun 1895-1898, diatas dikepalai oleh nama-nama sebagai berikut :
- Penghulu Maasik bin Usman.
- H.A. Hamid bin H.Achamad.
- H.Saman.
- Dulhalim bin Djambek.
- Raden Seman.
- Mahidin bin Bakar.
- Siti Aisyah guru Agama Srikandi Kumpeh,
- Kepala-kepala dusun : Muara Kumpeh, Dusun Pudak, Koto Karang, Lupak Alay, Solek Sakian, Tarikan, Sungai Terap, Pematang Perbatasan, Pedataran, Dusun-dusun Arang, Sipin Tewlukduren, Bangse, Dusun Pamuduran.
Tiga tahun lamanya terus menerus Belanda mencoba menindas rakyat Kumpeh ini bermacam-macam jalan telah diambil oleh Belanda. Namun rakyat Kumpeh pantang menyerah. Sehingga kapal-kapal Belanda tidak aman melayari Batang Hari dari Kuala ke Jambi yang terletak di sebelah ulu kumpeh.
Walaupun Kumpeh ini selintas lalu keberadaannya di sebelah ilirnya (Muara Sabak) dan Muara Kumpeh sendiri dikuasai oleh Belanda dan di sebelah ulunya Jambi kota dikuasai pula oleh Belanda. Akan tetapi Belanda juga merasa bingung dengan Kumpeh ini, seberapa ditindas begitu pula kuatnya ia mendapat perlawanan. Sebab itu tindakan terus menerus kemudiannya melakukan perbuatan amat kejam sperti pertempuran di “Tarikan” lama kelamaan rakyat mundur ke Sungai Terap, maka pertempuran di Tarikan lama kelamaan rakyat mundur ke Sungai Terap. Maka pertempran di Tarikan dan Sungai Terap itu banyak sekali merugikan Belanda. Oleh sebab itu, Belanda mengganas seperti harimau luka.
Kampung Sungai Terap dibakarnya menjadi abu. Bilik padi dibakarnya. Kemudian Belanda dapat juga mengetahui bahwa bantuan yang didatangkan untuk membantu Kupeh ini terutama ialah dari Air Hitam Laut yang didatangkan dari Palembang. Terdapat juga senjata buatan Inggris yang dipakai di Kumpeh. Bahan makanan dan garam datangnya dari Sungai Lalan dan Tungkal melalui jalan darat. Maka banyak saudagar Tionghoa yang tertangkap karena memasukkan barang makanan ke Kumpeh. Akan tetapi orang-orang Cina ini hanya didenda saja oleh Belanda dan harus menunjukkan jalan-jalan rahasia yang telah dipergunakan selama ini oleh orang Kumpeh.
Tahun 1900-1901, perlawanan tahun-tahun ini oleh rakyat Kumpeh dikepalai oleh :
- Raden Seman, ialah wakil juga dari Raden Mattaher
- Raden Pamuk bin Syam wakil juga dari Raden Mattaher
- Semua pahlawan-pahlawan yang melawan di beberapa tahun sebelumnya tidak mati dan tertangkap. Mereka menggerakkan rakyat untuk melawan kembali.
- Semua kepala-kepala kampung masih hidup, melawan kembali.
- Orang-orang dari Muara Sibo Ilir dan Jambi Kecil bertempur juga.
Sedangkan Raden Mataher seperti uraian di atas, sebentar berada di ulu, sebentar berada di Kumpeh. Sungguh ajaib kecepatan yang digunakanya itu. Orang mengira ia sedang memimpin pasukan di Kumpeh. Akan tetapi ia memimpin pasukan di Tebo. Kawan-kawannya sendiripun kagum tentang ketangkasan ini, dia dapat menepati janjinya “aku besok berada disini atau di situ”. Apapun yang dijanjikannya selalu ditepati.
Di awal tahun 1900, Raden Mattaher bersama Pangeran Maaji gelar Pangeran Karto di Tanjung Penyaringan melakukan penyerangan terhadap konfoi 8 jukung Belanda yang ditarik oleh kapal Musi. Kapal Musi dan jukung Belanda membawa senjata, perlengkapan perang, dan perbekalan, untuk dibawa dari Muara tembesi menuju Sarolangun. Persenjataan ini diperuntukkan Belanda untuk membantu militer Belanda yang sedang bertempur di benteng Tanjung Gagak. Pasukan Raden Mattaher dan Pangeran Karto serta Panglima Tudak Alam dari Mentawak menyerang iringan jukung dan kapal Musdi Belanda. Semua serdadu Belanda mati terbunuh dan semua senjata berhasil dirampas. Pengawai paksa dari Palembang dan Jawa menyerah diri dan meminta perlindungan pada pasukan Raden Mattaher. Setelah penyerangan terhadap Kapal Musi dan 8 jukung ini di Tanjung Penyaringan menyebabkan nama Raden Mattaher sangat terkenal di masyarakat dan tentara Belanda. Setelah itu berkembanglah berbagai cerita dan mitos kehebatan Raden Mattaher. Senjata rampasan itu sebagaian dikirimkan oleh Raden Mattaher ke Tanah garo, ke Merangin, Bangko Pintas, dan juga ke Tabir. Kabar keberhasilan Raden Mattaher ini sampai juga di telinga residen Belanda di Palembang, ia sangat murka dan marah.
Masih Dalam tahun 1901, pasukan Raden Mattaher melakukan penyerangan lagi terhadap pasukan Belanda di Sungai Bengkal. Disini Raden Mattaher banyak merampas senjata Belanda dan karaben. Dari Sungai Bengkal pasukan Raden Mattaher dibantu pasukan Raden Usman dan Puspo Ali terus begerak menyerang Belanda di Merlung. Dari Merlung pasukan Raden Mattaher terus bergerak ke Labuhan Dagang, Tungkal Ulu. Dari Tungkal Ulu pasukan Raden Mattaher bersama 40 orang pasukannya lewat Pematang Lumut bergerak menuju Sengeti, lalu menuju Pijoan. Di Pijoan bivak Belanda diserang, pasukan Raden Mattaher memperoleh banyak senjata kerabin. Oleh Raden Pamuk gelar Panglima Panjang Ambur senjata itu diangkut ke Jelatang. Lalu kegaduhan timbul dikalangan pasukan Belanda di Kota Jambi dan Muara Bulian.
Raden Mattaher , Raden Pamuk dan Raden Perang gelar Panglima Tangguk Mato Alus pada pertengahan April 1901 bergerak/menyerang Pos Pasukan Belanda di Banyu Lincir (Bayung Lincir). Penyerangan terhadap Banyu Lincir merupakan gabungan pasukan Raden Mat Tahir, Raden Pamuk, dan pasukan Suku Anak Dalam dari Bahar, pimpinan Raden Perang. Kepala Bea Cukai dan pengawalnya mati terbunuh. Banyak senjata pendek Belanda dapat dirampas. Pada penyerangan itu uang sebesar 5.000 golden dan uang 30.000 ringgit cap tongkat di dalam brangkas milik perusahaan minyak berhasil dirampas pasukan Raden Mattaher. Pati kas baja berisi uang tersebut dibawa oleh Suku Anak dalam ke Bahar dan lalu dibongkar. Dalam penyerangan itu seorang pasukan Raden Mattaher tewas dan 3 orang luka-luka. Peranan Suku Anak Dalam pada penyerangan Banyu Lincir sangat besar jasanya.
Pada tahun 1901 Kapal Musi yang memasuki sungai Tembesi dengan menarik 8 buah tongkang berisi personil serdadu dan perlengkapan penyerang untuk menyerang Sarolangun dari arah hilir, sedang datang dari sebelah hulu dari Palembang melalui Singkut, atas perintah Sultan Kompoi tersebut diserbu oleh Mattahir di Tanjung Gagak, dimana sebenarnya di Tanjung Gagak itu sudah ada satu bipak serdadu Belanda. Pangeran Mattaher melompat kekapal Musi. Pangeran Kertopati yang masih muda belia (Residen R.I Jambi 1946) putra Sultan Taha dan Panggilan Tudek masing-masing kejukung-jukung dengan mengamuk. Pertarungan berkecamuk, semua anak kapal Musi ikut mati terbunuh, serdadu Belanda yang masih hidup menembak sambil lari kembali ke Muara Tembesi. Pasukan Mattaher ini dapat merampas puluhan senjata dan puluhan peti peluru diserahkan kepada Sultan. Dari Pasukan Mattahir ini dua orang gugur yaitu Kulup Bujang dan Deris.
Atas kekalahan ini Belanda menambah kekuatan lagi, kemudian bergerak lagi menyerbu Sarolangun dan Bangko masuk dari sungai Merangin. Sehubungan dengan ini Sultan menempatkan pasukan yang telah dibentuk dari tempat kelahiran Ibu Mattaher bernama pasukan Mentawak atas pimpinan Pangeran Kerto dan Depati Alam Sekemis/Kepala Suku Kubu di Pauh, untuk menghadap pasukan Belanda diwaktu sampai disana nantinya. Pada waktu itu Pangeran Mattahir sedang bergerak ketempat lain untuk penghadangan.
Pada tahun 1901 Belanda memasuki Sungai Tungkal menempatkan pasukannya di Labuhan Dagang, kemudian melalui jalan darat menempatkan satu pasukan lagi di Sungai Bengkal untuk menyempit ruang gerak Sultan Taha Saifuddin yang berada di daerah Tebo itu.
Raden Mattaher melakukan penyerangan mendadak terhadap pihak Belanda di sungai Bengkal itu dan dari sana terus bergerak dengan pasukan Raden Usman dan Pangeran Puspo Adam menyerbu pasukan Belanda di Labuhan Dagang. Disinipun banyak karaben-karaben beserta pelurunya dirampas, dibawak kemerlung untuk selanjutnya akan diserahkan kepada Sultan yang ditugaskan kepada Raden Usman. Dari sana Raden Mattaher turun ke Sengeti sampai ke Pijoan. Pihak Belanda disana diserang tengah malam, sehingga serdadu Belanda disitu tidak bersisa lagi, dan senjata yang dirampas dibawak oleh Pasukan Raden Pamuk ke Jelatang.
Diwaktu Belanda menduduki Muaro Bungo 1902, Raden Mattaher mendapat perintah dari Sultan untuk mengatur pertahanan di Tanjung Gedang Sungai Alai. Dengan secara lihai sekali Pangeran Mattahir dapat menyerang 30 buah perahu Jukung berisi serdadu Belanda dan ditenggelamkan, hingga beberapa hari rakyat disitu terpaksa mengambil air untuk makan minum di anak-anak sungai, oleh karena air sungai Batang Tebo dan Batang Hari banyak buntang-buntang serdadu Belanda terapung sudah busuk yang membawa air pada kedua sungai itu berbau bangkai.
Di muara Pijoan Raden Mattaher dengan Panglima Raden Pamuk, Raden Perang, Panglima Tangguk Suto Alam dari suku anak dalam (kubu suku bahar) menuju ke Bayung Irincir. Disana dengan segala ketelitian dan intipan, menyerang Kantor Bea Cukai Belanda disitu yang terjaga kuat. Kepala Bea Cukai nya mati terbunuh beserta beberapa pengawalnya, dan dapat disita senjata pendek yang ada pada mereka beserta uang kas ada 1.5000,- lima ribu guldens.
Dari sini kembali kepangkalan masing-masing, tetapi Raden Pamus sesudah itu terlibat pertempuran dengan Belanda disungai Terap. Segera terdengar Raden Mattaher berangkat membantu Raden Pamuk di Sungai Terap itu. Tarikan di Kumpe, adalah salah satu negeri/desa yang menurut catatan Residen Belanda Pitri dalam memorinya, bahwa orang disini adalah memang dizaman Kesultanan Jambi, serdadu atau prajurit dari kerajaan ini. Waktu itu Belanda mengambil jalan yang licik dengan mengangkat seorang dari keluarga dekat Mattahir juga, sebagai kapten dari suatu dinas militer/geheimo diensit, bernama Kemas Kadir, yang selengkapnya dari Kerajaan Jambi sebelummya, Kemas Ngebi Puspoyodo Kadir. Dalam pertempuran dengan prajurit-prajurit Jambi di Tarikan ini pihak pasukan Belanda dibawah pimpinan kapten tersebut diatas.
Setelah memperhatikan Belanda yang menambah kekuatan yang ditarik dari Palembang, Jawa dan Aceh, Sultan Taha merubah strategi dan sistim pertahanan untuk seluruh daerah Kerajaan Jambi ini. Raden Mattaher ditetapkan sebagai Panglima yang mencakup pertahanan Front Jambi kecil, Muara Jambi, Air Hitam Darat, Ulu Pijoan, Pematang Lumut, Bulian Dalam, Teras, Ulu Pauh, Payo Siamang, Jelatang, Pijoan Dalam. Bagian Batang Hari dan Tebo, langsung dibawah pimpinan Sultan dan saudaranya Hamzah gelar Dipenagara. Bagian Batang Tembesi sampai Kerinci tetap berada dalam komando Pangeran Haji Umar bin Yasir gelar Pangeran Puspojoyo.
Tahun 1902 Pasukan Raden Mattaher di Tanjung Gedang Sungai Alai melakukan penyerangan terhadap 30 buah perahu jukung berisi serdadu Belanda. Perahu jukung berhasil di tenggelamkan dan semua serdadu Belanda mati terbunuh. Setibanya pasukan Raden Mattaher di Sungai Alai, secara kebetulan perang sedang berlangsung dipimpin Panglima Maujud, Panglima Suto, Panglima Itam dari Tanah Sepenggal, Rio Air Gemuruh, Rio Gereman Tembago, dari Teluk Panjang, yang telah bertempur lebih dahulu melawan Belanda. Masyarakat di sekitarnya tidak berani mengambil air minum di sungai Batang Tebo karena banyaknya mayat pasukan Belanda yang terapung dan membusuk. Setelah pertempuran di Sungai Alai, lalu pasukan Raden Mattaher terus bergerak menuju Jambi, khususnya akan menyerang Belanda di Muara Kumpeh.
Setelah Sultan Taha Saifuddin gugur pada tgl 23 April 1904 itu, perlawanan terus ditingkatkan dimana-mana, Raden Mattahir di bagian Ilir Jambi, dengan H.Umar dibagian Ulu. Mattaher beserta panglima-panglima yang lain terus menerus disana ada kesempatan yang baik.,menyerbu,menghadang, dan menyergap patrol-patroli Belanda dimana-mana dalam daerah hukumnya, daerah terri teorial yang telah dtetapkan Sultan kepadanya. September 1904, seorang berasal Hungaria bernama Karl Hirsoh, dengan nama Islamnya Abdullah Jusuf, berpangkat kolonel dalam dinas Angkatan Perang Turki yang ditugaskan oleh atasannya Fadi Shah datang ke Jambi untuk membantu Jambi, berjuang melawan Penjajah Belanda .
Pangeran Ratu Martaningrat yang sebelumnya seperti telah diuraikan tadi, telah menyerahkan keris ke-pangeran ratu-annya itu pertanda takluk kepada Belanda, segera menyambut kedatangan kolonel Tentara Turki ini, dengan segala rahasia kabar ini disampaikkan kepada pemuka-pemuka masyarakat secara berantai. Pada malam yang telah ditentukan untuk mengadakan pertemuan rahasia guna membuat perencanaan perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Mattaher tidak ikut hadir ditempat itu, karena akan mengambil inisiatip, akan melakukan sabotase dengan jalan membungihanguskan tangsi-tangsi Belanda di benteng dan lain-lain. Kekacauan yang dilakukan itu guna mengalihkan perhatian Belanda kearah kejadian itu semata, dan musyawarah yang akan diadakan di seberang kota itu berjalan dengan lancar.
Tetapi jaringan-jaringan pihak Kapten Melayu Jambi tadi telah mendapat rahasia ini dan sudah melapor ke atasannya, hingga saat sabotase itu dapat didahului oleh Belanda dengan penangkapan terhadap perwira Turki orang Honggaria itu. Pangeran Ratu Martangingrat lari keuluan, akhirnya tertangkap juga dan dibuang ke Parigi Sulawesi Utara, setelah ia menolak syarat yang di ajukan oleh Belanda. Panglima H.Umar memimpin serangan-serangan terhadap tentara Belanda di beberapa tempat yang lain, termashur dengan perang Irimbur Tebo si wilayah Bungo Tebo sekarang, memakan korban dipihak Belanda banyak sekali.
Pada tahun 1906. Pangeran Depati Purbo Kerinci ditangkap oleh Belanda, dan dibuang ke Ternate/Ambon. Akibat dari pada ini sebagai pembalasannya ada tanggal 27 Juni Pangeran H.Umar Wijoyo bernama Pangeran Seman Jayanegara saudaranya yang ikut penyerbuan Labuhan Dagang Tungkel dengan Pangeran Mattaher dulunya, bersama-sama membawa pasukan menuju Sanggaran Agung sebanyak 500 orang menyerang tentara Belanda disana. Serangan ini bersama rakyat Kerici membawa hasil banyak menewaskan musuh dan merampas senjata, tetapi oleh karena bala bantuan militer Belanda makin bertambah, Pasukan H.Umar terpaksa mundur teratur. Dari Kerinci panglima dua beradik ini beserta pengikutnya dengan melalui Siulak Deras, Bukit Kaca, menuju Desa Pemujian, sebagai pertahan terakhir, oleh karena Belanda sudah mengepung dimana-mana.
Pangeran Ratu Martaningrat dipaksa G.G.Belanda untuk menandatangani Piagam Penyerahan Jambi pada Belanda. Karena ia menolak (di J akarta) ia besama isterinya Rtm. Intan dibuang ke Parigi dan mati disana pada tahun 1916. Belanda dengan perantaraan – Kapten Kadirnya membujuk Haji.Umar agar menyerah dengan perjanjian akan menjamin keselamatan dan akan diperlakukan sewajarnya sesuai martabatnya, namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh H.Umar Puspowijoyo tersebut. Karena itu Belanda menambah kekuatannya lagi dan melakukan operasi militer besar-besaran terhadap pasukan H.Umar bersaudara di Pemujian itu. Pasukan H.Umar dan Pasukan Pangeran Seman beserta rakyat setempat bertahan mati-matian dengan kata putus : – Esa hilang, Duan terbilang dan Hidup Jaya, Mati surga-.
Pertempuran ini adalah petempuran terakhir dibagian Dungo Tebo ini, membawa banyak korban kepada kedua belah pihak, hingga Pangeran H.Umar Puspowijoyo dan adiknya Pangeran Seman Jayanogara. Kemudian gugur dalam pertempuran itu dan dimakamkan di Desa Pemujian.
Dalam pertempuran yang berkecamuk itu wanita-wanita dewasa semuanya terjun kemedan laga. Srikardi Ratumas Sina, kemanakan dari Panglima H.Umar Puspowijoyo, terkena peluru dan luka parah, akibat dari itu ia dapat ditangkap. Selain dari itu gugur juga Raden Hamzah salah seorang Komandan Pertahanan Jambi di Lubuk Bangkuang tidak jauh dari Pemujian itu.
Pada bagian hilir Jambi yang dipimpin Raden Mattahir setekah gugurnya Pangeran H.Umar, sewaktu terjadinya pertempuran lagi di Sungai Kumpeh, Komandan Pasukan Belanda berdiri diatas sebuah kapal dari Palembang, meneropong dengan kekernya, sehingga dari jauh nampak olehnya Raden Mattaher sedang berdiri di Pekarangan sebuah pondok ditepi sungai itu memberi sesuatu bungkusan kepada Panglima Raden Pamuk.
Belanda segera mengepung lokasi itu dengan tembakan-tembakan mortier, meriam, granat werper kiri kana, muka belakang, agar Mattaher dan Pamuk kehilangan sasaran. Tetapi tiba-tiba suara Pangeran Mattaher terdengar melengking diseberang lain dengan memanggil Belanda dikapal itu : jangan susah mencari saya, saya diseberang sini! Komandan pasukan Belanda memerentahkan kapal supaya segera menyebrang menuju tempat dimana Mattaher berdiri itu, yang disangkanya Mattahir akan menyerahkan diri. Belum sampai kapal itu mendekati tebing, Komandan pasukan Belanda terperanjat sekali, melihat Raden Mattaher dan Raden Pamuk sudah berada di kapal dan para parajurit Jambi mulai menyerang setelah Panglima mereka berdua itu menguasai lebih dulu situasi kapal itu.
Tiga lusin pihak Belanda tewas, hanya tiga orang dapat selamat, dimana salah seorang bernama Wanoik keluarga Sultan Badaruddin Palembang yag dibuang Belanda ke Ternate, dan Wanoik ini diangkat anak oleh Raden Pamuk. Jasa Wanoik ini pada saat pertempuran dikapal itu, pada kebetulan ia bertugas dikamar mesin, dirusaknya hingga tidak dapat lari lagi. Dari pertempuran sungai Kumpeh ini, Raden Matther dan Raden Pamuk dengan anak buahnya berangkat ke Muara Bulian, melakukan penyerangan disana, dapat memenggal beberapa orang Belanda, kemudian kepala-kepala mereka itu dilarikan ole Suku Anak Dalam/Kubu kedalam hutan. Malang bagi Raden Pamuk kemudian ditangkap oleh Belanda di daerah Tehok sekarang, dan walaupun Raden Mattaher dianggap Belanda sudah tunggal saja, namun Belanda merasa masih tidak sanggup lagi juga menghadapnya dan terus penuh khuwatiran, seperti yang diakuinya sendiri dalam bukunya : – Nederlandsch Militair Tijdschrift “Mattahir, onse onverzoenlijkste vijand en de meest gevreesde enavtieve der Gouvernements tegenstanders”- Diakui, bahwa Pangeran Matthir adalah seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukkan dan seorang lawan yang gesit dan ditakuti.
Karena itu Residen Belanda (Palembang) mengambil jalan : memerintahkan pasukan marsose-nya untuk menangkap Mattahir hidup atau mati. Siang malam mereka patrol ketempat-tempat diduga adanya Mattahir, namun Belanda selalu mendapat cidera.
4.2 Perjuangan Akhir Raden Mattaher
Pada penghujung 1907 ada upaya untuk mengungsikan Raden Mattaher ke Batu Pahat, Malaysia. Uang 500 ringgit sebagai bekal telah terkumpul, perahu layar dan pasukan pengantar sudah disiapkan. Raden Syariefs (1969) di dalam bukunya Riwajat Ringkas Tentang Perdjuangan Pahlawan Djambi Raden Mattaher Panglima Sultan Thaha, menuliskan kisah meninggalnya Raden Mattaher adalah sebagai berikut :
Pada awal September 1907 Raden Mattaher bersama pengikutnya berada di dusun Muaro Jambi. Para pemuka dusun Muaro Jambi dan sekitarnya termasuk para pengikutnya dan keluarganya, melakukan/bermusyawarah dan meminta agar Raden Mattaher mengungsi ke Batu Pahat Malaya (Malaysia). Masyarakat telah menyiapkan perahu pengantar, uang 500 ringgit, beberapa pengawal. Di Batu Pahat telah mengungsi beberapa keluarga keturunan Sultan Thaha Syaifuddin dan saudara Raden Mattaher.
Jawaban Raden Mattaher dalam musyawarah tersebut antara lain disebutkan sebagai berikut :
“Kesediaan kamu itu terima kasih banyak, akan tetapi kalau aku pergi ke Malaya (Malaysia), tentu aku akan selamat, tetapi bagaimana kamu yang tinggal akan menjadi korban, kampung ini akan dibakar oleh Belanda dan kamu akan didenda pula dan akan dihukum badan oleh Belanda. Pengorbanan dan penderitaan yang dirasai oleh rakyat terlalu banyak sebab dek aku. Dimana aku berada tentu rakyat memberi makan dan memberi bantuan yang diperlukan, akan tetapi mereka yang berbuat baik mendapat kesengsaraan oleh Belanda, aku tidak sampai hati lagi, apalagi aku berada disini, sudah tentu mata-mata Kemas Kadir telah mengetahui hal ini. Mungkin di dalam tempo yang dekat ia telah telah datang kemari membawak Belanda untuk menangkap aku atau membunuh aku, aku tidak mau ditangkap, tetapi mati kena tembak oleh Belanda, jadi aku mati syahid namanya. Keduanya aku tidak mau disebut orang pelarian, untuk menyelamatkan diri sendiri, sedangkan kamu disini menderita karena Belanda. Lihat itu kampung Tachtul Yaman yang telah membantu aku, mereka sekampung didenda 15000 ringgit, sedangkan Kemas Temenggung Dja’far yang membantu alat senjata yang dibawak dari Malaya telah ditangkap dan ditahan, sekarang di Palembang, bagaimana jadinya beliau itu ?. Dan aku tidak mau disebut orang takut mati, itikad aku sudah tetap menunggu Belanda, tidak mau bersembunyi lagi”.
Pada hari Kemis besoknya, hari hujan pagi, disana sini kedengaran guruh bersahut-sahutan, orang dahulu mempunyai tachyul, itu tanda akan ada kesedihan yang akan menimpa. Pada malamnya dengan cara diam-diam banyak orang kampung yang datang menemui Raden Mat Tahir di rumah dimana beliau tinggal dengan mengantar makan-makanan.
Raden Mattaher berkata “kamu sekalian, ninik mamak, serta kawan-kawanku semuanya lekaslah kamu pulang ke rumah masing-masing, besok mungkin malam ini kita akan bercerai, adakah kamu mendengar bunyi gegap Keramat Talang Jawo (Jauh) sore tadi, telah aku dengar tiga kali dan ramo-ramo dari sana telah datang kemari hinggap di bahu aku, tanda aku akan meninggalkan dunia yang fana ini. Mendengar iu banyak orang yang terisak-isak menangis”.
Sesudah berbicara itu, sebelum tengah malam Raden Mattaher bersalin pakaian dari yang biasa kepada pakaian yang bagus, pinggangnya dibebatnya. Senapang mauscher yang terbaru yang diberikan oleh Kemas Temenggung Dja’far Tachtul Yaman pada tahun yang telah lalu diisinya, dan senapang itu digantungkannya, maka adiknya Raden Achmad duduklah di dekat senapang tersebut. Dan di pintu belakang di tunggu oleh penjaga orang dari Mentawak disebut Pak Gabuk. Di atas (di dalam) rumah hanya dia berdua beradik saja. Kira-kira jam 09.00 malam, Raden Mattaher membunyikan kecapi, dan setelah tengah malam, ia sembahyang di tengah sunyi senyap itu.
Lebih kurang pukul 03.00 malam Pak Gabuk menerima laporan dari temannya yang berjaga tidak jauh dari rumahnya, bahwa pasukan Belanda telah datang dari tiga penjuru, berarti tempat dimana Raden Mattaher telah terkepung rapat. Dan kawan-kawan pengikut Raden Mat Tahir yang tadinya disuruh pergi supaya hidup, akan tetapi kembali lagi ke tempat maut itu. Raden Mattaher menjawab baiklah, dan seraya katanya kalau kamu mau hidup menyingkirlah, dengan segera, dan kalau tidak maka kamu haruslah tetapkan imanmu, betul-betul mati karena Allah, kita datang dari padanya dan pulang pula kepadanya. Sakit kena pelor itu hanya sebentar saja, yang kita harapkan janji dari pada Allah syurga yang tidak ada tolak bandingnya. Ingatlah apa yang telah dipetuahkan oleh pemimpin kita Sultan Thaha, Belanda itu kafir musuh Islam, karena ia ingkar kepada Tuhan, mengapa kita takut kepadanya, ini hari mati lain hari mati juga. Jangan kita mati di atas kasur empuk, tidak akan meninggalkan nama yang baik dan agung, marilah kita mati bermandikan darah karena membela negeri kita melawan kafir laknatullah, inilah yang kita harapkan.
Kira-kira seperempat jam kemudian datanglah di rumah Raden Mattaher pasukan Marschouse Belanda dan terjadi dialog sambil memberikan ancaman “Belanda datang kemari ingin berunding, menyerahlah kau baik-baik, aku tanggung tidak kau diapa-apakan oleh Belanda, kalau kau menyerah dengan baik dan apa kehendak kau akan dikabulkan oleh Belanda, lihatlah segala orang yang melawan telah dibuang oleh Belanda ke Betawi. Dialog tidak berrlangsung lama dan tidak menghasilkan apa-apa, sehingga terjadilah tembak menembak di dalam rumah. Dalam pertempuran inilah Raden Mattaher tewas dan meninggal dunia.
Meninggalnya Raden Mattaher di Muaro Jambi ditemui dalam beberapa sumber yang berbeda, antara lain adalah seabgai berikut :
- J. Velds, dalam De Onderwerping van Djambi in 1901-1907, terjemahan S.Hertini Adiwoso dan Budi Prihatna, Raden Mattaher wafat 30 September 2007 bersama saudaranya dan lima pengikutnya di Muaro Jambi oleh patroli marsose pimpinan Letnan Geldorp.
- Raden Syariefs (1969), Riwajat Ringkas Tentang Perdjuangan Pahlawan Djambi, Raden Mattaher wafat malam Jum’at bulan September 1907 di Muaro Jambi.
- Osman Situmorang (1973) dalam Skripsinya Raden Mattaher Pahlawan Jambi, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Jambi, Raden Mat Tahir wafat bulan September 1907 di Muaro Jambi.
- Ratumas Siti Aminah Ningrat dalam bukunya Perjuangan Rakyat Jambi Raden Mat Tahier (1817-1907), Raden Mattaher wafat 7 September 1907 di Muaro Jambi.
- Tideman di dalam Koninklijke Vereeniging Koloniaal Instituut Amsterdam, No. XLII, Raden Mattaher wafat bulan September 1907 di Muaro Jambi.
- Mukti Nasruuddin (1989) dalam Jambi Dalam Sejarah, Raden Mattaher wafat 7 September 1907 di Muaro Jambi.
- Fachrul Rozi, di dalam Mengunjungi Makam Pejuang Jambi Raden Mattahir, Pos Metro, Sabtu, 26 Desember 2009, Raden Mat Tahir wafat 10 September 1907.
Dalam tembak menembak di Muaro Jambi itu dipihak pasukan Jambi pimpinan Raden Mattaher telah tewas 6 orang, tiga diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Raden Mattaher, gugur ditembak Belanda.
2) Raden Achmad (gelar Raden Pamuk Kecik), adik Raden Mattaher, gugur ditembak Belanda.
3) Pengawal bernama Pak Gabuk, gugur ditembak Belanda.
Setelah Raden Mattaher gugur di Muaro Jambi, maka pasukan Belanda mengangkut mayat Raden Mattaher serta mayat lainnya ke kota Jambi dengan kapal Robert, dan diikuti oleh 2 kapal Belanda lainnya. Kapal Robert ini dikenal oleh masyarakat Muaro Jambi sebagai kapal Ubar. Di Kota Jambi mayat Raden Mattaher dipertontonkan pada khalayak ramai. Atas permintaan para pemuka agama, maka Raden Mattaher dimakamkan secara Islam di pemakaman Raja-Raja Jambi di pinggiran Danau Sipin.
4.3. Nilai-Nilai Luhur Perjuangan Raden Mattaher
Pada masa mudanya Raden Mattaher adalah seorang pemuda yang belum memikul suatu jabatan apapun di dalam kerajaan Jambi. Tapi beliau telah memperlihatkan sebagai seorang kesatria, berani, cerdas, dan pandai mengatur strategi.
Raden Mattaher memiliki jiwa pemimpin yang tidak hanya cerdas, namun juga merupakan seorang pemimpin yang ideal yaitu berani berinisiatif jika dihadapkan dengan suatu masalah. Inisiatifme diri jelas dibutuhkan oleh seorang pemimpin demi terciptanya solusi yang bersifat nyata dan menjanjikan. Pemimpin yang berinisiatif adalah pemimpin yang mampu menggerakkan dirinya sendiri terlebih dahulu untuk memulai segala sesuatunya tanpa adanya paksaan. Dengan sifat inisiatif yang ada dalam diri pemimpin, kekuatan diri dari tiap anggota untuk menjalankan misi kelompok pun akan terjamin dengan baik. Hal ini terlihat dalam strategi-strategi gerilya yang dijalankan oleh Raden Mattaher.
Selain cerdas dan berinisatif, Raden Mattaher juga memiliki sifat bertanggung jawab. Pengambilan keputusan terhadap strategi gerilya melawan Belanda diputuskan dengan tidak tergesa-gesa. Hal itu menunjukkan beliau adalah pemimpin yang tetap teguh dan mampu berfikir taktis untuk menerima segala resiko yang timbul dari keputusan yang diambil.
Raden Mattaher juga memiliki iman yang kuat sesuai ajaran agama yang dianutnya yaitu agama Islam. Beliau sangat memahami benar bagaimana karakter pemimpin dalam ajarannya seperti yang tertulis berikut. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada Allah,mereka itulah orang-orang yang benar” (Al-Hujurat:15). Ajaran itu sebagai dasar dalam melakukan perjuangan melawan Belanda. Raden Mattaher menamakan pasukannya sebagai Sabillillah. Sebelum pergi melakukan penyerangan atas pasukan Belanda, maka Raden Mattaher terlebih dahulu melakukan sholat agar mendapat petunjuk dan ridho Allah.
Sangat jarang sekali pemimpin mempunyai jiwa seni dalam situasi konflik melawan kolonial. Dalam situasi yang terhimpit dan penuh tekanan, Raden Mattaher tetap melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi kebersamaan melalui seni. Beliau memerintahkan beberapa anak buahnya membawa alat musik. Saat kondisi aman dan ada waktu hiburan, mereka bergembira bersam
Tiga teori yang menjelaskan munculnya pemimpin (Kartono, 1998:29). Pertama, Teori Genetis yang menyatakan sebagai berikut : 1) Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakatbakat alami yang luar biasa sejak lahirnya. 2) Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga, yang khusus. 3) Secara filsafat, teori tersebut menganut pandangan deterministis. Kedua, Teori Sosial (lawan Teori Genetis) yang menyatakan sebagai berikut : 1) Pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja. 2) Setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri. Ketiga, Teori Ekologis atau Sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu) yang menyatakan sebagai berikut : Seseorang akan sukses menjadi pemimpin bila sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan/ekologisnya.
Dari ketiga teori terkait kemunculan kepemimpinan Raden Mattaher, berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh tim penulis, Raden Mattaher adalah seorang pemimpin yang memiliki bakat sejak lahir berdasarkan factor genetis. Kakeknya adalah seorang pejuang juga yang bernama Sultan Taha.
Nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh Raden Mattaher diabadikan dalam beberapa nama bangunan, jalan dan yayasan sebagai berikut.
- Rumah Sakit Raden Mattaher di Kota Jambi
- Jalan Raden Mattaher di Kota Jambi
- Yayasan Pendidikan Raden Mattaher di Kota Jambi.
- Profil perjuangannya telah diilustrasikan di Museum Perjuangan Rakyat Jambi Provinsi Jambi.
5.1 Kesimpulan
Secama umum struktur birokrasi Kesultanan Melayu Jambi pada abad 17-19 relatif lemah. Oleh karena itu, perjanjian-perjanjian dengan pihak kolonial (baca : Belanda) mulus ditandatangani. Nyaris tidak ada gejolak sebelum tahun 1850-an, padahal perjanjian-perjanjian itu sangat merugikan pihak Jambi. Perjanjian terbaru lebih menekan dan merugikan Jambi serta menguntungkan Belanda. Sampai ketika Sultan Taha naik tahta pada 1855 yang ternyata menolak mematuhi semua perjanjian yang pernah dibuat. Belanda dengan sebuah ekspedisi militer mengakhiri kekuasaannya secara formal pada 1858. Taha menyingkir ke pedalaman dan Belanda mengangkat sultan baru. Strategi perang yang dilakukan oleh Sultan Taha adalah strategi menghindar. Strategi perlawanan yang dipilih Taha terbukti ampuh untuk waktu yang lama.
Sementara itu, strategi perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mattaher adalah membagi maskasnya dalam beberapa tempat yaitu di antara Jambi Kecil dengan Muarajambi di Air Hitam, di Ulu Pijoan, di Pematang Lumut, dalam Bulian dan terus terunjam Ulu Pauh. Dengan demikian, perlawanan bisa diatur dari berbagai wilayah. Patut menjadi catatan, Raden Mattaher mengadakan perlawanan terhadap Belanda di wilayah Kumpeh. Kumpeh adalah daerah dimana pada tahun 1616-1625, kolonial yang pada masa itu dikenal dengan VOC dating untuk pertama kali di Jambi.
Setelah wafatnya Raden Mattaher tahun 1907, masih muncul gerakan perlawanan rakyat melawan kolonial. Namun, ciri-ciri perlawannnya bersifat lokal, tidak terorganisir dan berumur singkat. Hal itu antara lain disebabkan, tidak ada tokoh sentral seperti Sultan Taha dan Raden Mattaher.
5.2 Saran
Perjuangan Raden Mattaher melawan kolonial patut diapresiasi oleh pemerintah Provinsi Jambi pada masa sekarang dengan menganugerahkannya sebagai pahlawan nasional. Menyusul kakeknya yaitu Sultan Taha. Pengaugerahan ini sangat pantas diberikan kepada Raden Mattaher dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- Raden Mattaher berjuang melawan Belanda hingga wafat melawan kolonial tanpa kata menyerah.
- Perjuangannya menginspirasi perjuangan rakyat selanjutnya meskipun tidak terorganisir seperti Raden Mattaher.
- Provinsi Jambi telah menganegerahkan pahlawan nasional kepada Sultan Taha. Dengan tujuan perjuangan yang sama dengan Sultan Taha, Raden Mattaher juga berhak menerima anugerah sebagai pahlawan nasional.
- Nama Raden Mattaher telah diabadikan sebagai nama gedung sebuah rumah sakit, nama jalan dan nama sebuah yayasan. Hal itu cukup untuk pengajuan salah satu persyaratakan penganugerahan pahlawan nasional kepada Raden Mattaher.
- Tulisan dan kajian tentang Raden Mattaher yang ada sudah cukup cukup untuk pengajuan salah satu persyaratakan penganugerahan pahlawan nasional kepada Raden Mattaher.
- Salah satu keturunan Raden Mattaher yaitu cucu beliau yang bernama Ibu Ratumas Siti Aminah Ningrat sangat mendukung rencana pengajuan penganugerahan pahlawan nasional kepada Raden Mattaher.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Tertulis :
Ali Muzakir, Kisah Orang Turki dalam Sejarah Islam di Jambi dalam Jurnal Thaqafiyyat,Vol. 14, No. 2 tahun 2014
Amir Fuad. Riwayat Hidup dan Perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin Jambi. Makalah. 1972
Thabran Kahar. Cerita Rakyat Jambi. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980/1981
Locher, Elsbeth. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial (Hubungan Jambi-Batavia (1830-
1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Jakarta: Banana KITLV, 2008.
Lindayanti, dkk., Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jambi, 2013.
Perlawanan Raden Mattaher Patah Tumbuh Hilang Berganti. Tt.nn
Ratumas Siti Aminah Ningrat. Perjuangan Rakyat Jambi Raden Mattaher 1817-1907. Makalah.
2002
Raden Syarifs. Perjuangan Pahlawan Jambi Raden Mattaher Menentang Penjajahan Belanda.
Makalah. 1969
Zuraima Bustaman dkk. Pahlawan Nasional Jambi Sultan Thaha Syaifudin. Kerjasama KanwilDepdikbud Provinsi Jambi Bidang Musjarla dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 1995/1996.