Tenun Corak Insang Kota Pontianak : Motif Tenun Tradisional Pontianak Yang Tetap bertahan

0
279

Neni Puji Nur Rahmawati, S.Si

(Peneliti BPNB Kalimantan Barat)

Hingga saat ini, kain/tenun dengan motif corak insang Pontianak masih dikenakan oleh sebagian masyarakat Kota Pontianak, baik itu orang tua, anak-anak dan remaja. Pemerintah Daerah Pontianak memang menggalakkan akan pemakaian tenun tradisional corak insang untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah-sekolah dan perkantoran juga sudah memakai pakaian dengan corak insang ini sebagai pakaian seragam pada hari-hari tertentu.  Selain itu, kain corak insang ini pun sering digunakan pada acara-acara adat, misalnya pada acara pernikahan, khitanan, gunting rambut, acara-acara peringatan hari besar agama dan penyambutan tamu. Tenun corak insang ini merupakan hasil budidaya masyarakat Kota Pontianak dan memiliki nilai budaya yang tinggi, sehingga harus dikenali dan dilestarikan.

Tenun Corak Insang merupakan tenunan tradisional masyarakat Melayu Kota Pontianak yang dikenal pada masa Kesultanan Kadriah, pada saat pemerintahan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie tahun 1771 hingga sekarang. Corak insang mulanya digunakan oleh para kaum bangsawan di Istana Kadriah Pontianak. Sebagai penunjuk identitas status sosial bagi satu keluarga/kelompok dalam kehidupan bermasyarakat maupun pertemuan antar kerajaan serta sebagai tolak ukur keterampilan anak pingit/anak gadis pada masa lampau merupakan fungsi dari tenun ini pada waktu itu.

Penggunaan tenun corak insang pada jamannya juga berfungsi sebagai persembahan/cinderamata kepada raja, terutama pada hari keputraan (ulang tahun), sebagai barang hantaran/pengiring pengantin dan antar sirih pinang pada upacara pernikahan serta upacara-upacara tradisional lainnya. Dalam upacara pernikahan, kain corak insang ini digunakan sebagai pelengkap pada baju Telok Belangga yang dikenakan oleh kaum laki-laki, sedangkan bagi kaum perempuan digunakan sebagai kain/bawahan pada baju kurung.

Kain corak insang merupakan hasil tenun tradisional masyarakat Pontianak khususnya masyarakat Melayu. Pada mulanya, kain corak insang ini ditenun untuk keperluan keluarga saja, karena setiap keluarga yang mampu dan terpandang pada saat itu berusaha untuk menciptakan dan memiliki satu jenis kain corak insang yang menjadi kebanggan keluarga tersebut.

Dalam perkembangan sejarahnya, kain corak insang menggambarkan peradaban yang merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat Pontianak yang pada waktu itu bermukim di sepanjang Sungai Kapuas. Kehidupan nelayan yang menjadi profesi mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, menjadikan ikan sebagai media ungkapan seni yang dijabarkan ke dalam motif atau corak dari kain tenun yang dihasilkan, terutama insang ikan yang dijadikan sebagai objek perwujudan dari apresiasi mereka. Dalam perkembangan sejarahnya, apresiasi akan insang tersebut menjadi kesepakatan masyarakat Melayu Pontianak untuk mengidentifikasikan hasil tenun mereka dengan sebutan “Kain Tenun Corak Insang”.

Pada masa lalu, penenun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekelilingnya sebagai bahan baku untuk penunjang pembuatan tenun corak insang ini. Bahan pewarna yang digunakan dalam proses pewarnaan adalah bahan-bahan alami, seperti warna kuning mempergunakan bahan dari kunyit atau temu, warna merah menggunakan bahan dari daun inai atau daun pacar, warna hitam dan coklat menggunakan bahan dari kayu samak. Sedangkan pada saat sekarang pewarnaan kain sudah menggunakan bahan pewarna kimia.

Kain corak insang yang telah dihasilkan, memiliki nama yang berbeda-beda sesuai dengan motifnya, diantaranya kain insang berantai, kain insang betangkup, kain insang delima, kain insang bunga, kain insang awan, kain insang berombak, kain insang banji, kain insang cabe, kain insang delima tunggang balik, kain insang bertapak besar, dan sebagainya.

Adapun makna filosofis dari motif insang ikan pada kain tradisional masyarakat Melayu Pontianak ini yaitu sebagai alat kehidupan (untuk bernafas) pada ikan, bagian dari kehidupan nelayan, sebagai ungkapan rasa kecintaan kepada alam dan lingkungannya serta semangat kebaharian, memberikan dorongan semangat untuk terus memacu dalam pembangunan (bernafas, hidup dan bergerak).