“Ritual Mandi Daun Sabang” adalah kegiatan ritual yang dipercaya oleh masyarakat di Kecamatan Sekayam dan sekitarnya dimana dapat mengusir wabah atau untuk menolak bala. Jika di daerah lain ritual ini disebut dengan Festival Mandi Safar atau Robo-Robo, di Kecamatan Sekayam ritual ini sebelumnya disebut dengan ritual Pemandian Taubat, hingga sekarang ini disebut dengan ritual Mandi Daun Sabang. Tujuan ritual ini adalah untuk benar-benar memohon ampun kepada Tuhan, memohon perlindungan kepada-Nya dan mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan. Peristiwa ini sangat sakral dan penuh dengan makna simbolik.Ritual ini dilaksanakan oleh masyarakat Melayu yang beragama Islam, namun demikian warga masyarakat dari etnis lain boleh juga datang pada acara ini, misalnya etnis Dayak, Tionghoa, Jawa, Bugis, dan lain-lain.
Ritual ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun oleh masyarakat Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau yang digagas oleh Komunitas Budaya Sekayam (KBS). Namun upacara ini bisa juga dilaksanakan tatkala ada wabah, musibah atau bencana. Intinya mohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar dihindarkan dari segala marabahaya/malapetaka. Selain secara rutin setiap tahun dilaksanakan ritual Mandi Daun Sabang ini, ritual ini bisa juga dilaksanakan kapan saja, terutama pada saat ada wabah, musibah atau bencana untuk menolak bala (seperti pada wabah COVID 19).
Mandi Daun Sabang pada masyarakat Melayu dilaksanakan pada hari rabu terakhir di bulan Safar, serta pada masa-masa ketika terjadi bencana, malapetaka ataupun merebaknya wabah penyakit. Untuk daun sabang ini, terdapat dua jenis yang dipergunakan dalam adat Melayu, yaitu jenis daun Sabang yang berwarna hijau dan daun Sabang yang berwarna merah. Daun Sabang berwarna hijau dipergunakan ketika akan mandi pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Daun Sabang berwarna merah, sering dipergunakan ketika akan mandi pada waktu ada bencana, malapetaka, atau merebaknya wabah penyakit. Jadi, penggunaan daun Sabang berwarna merah ini dipergunakan pada waktu tertentu yang tidak diatur kapan penggunaannya, sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan keadaan jika sangat mendesak. Daun Sabang yang berwarna hijau sering dipergunakan pada waktu akan mandi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, karena pada hari Rabu di bulan Safar tersebut diyakini Allah menurunkan malapetaka dan bencana ke muka bumi, sehingga dengan mandi di hari Rabu terakhir pada bulan Safar tersebut diyakini dapat terhindar dari malapetaka dan bencana yang pada masa itu Allah sedang turunkan ke muka bumi. Namun bagaimanapun juga, ini hanya sebagai media, selebihnya tinggal tergantung dengan kehendak Allah yang Maha berkehendak.
Secara umum, daun Sabang (ada juga yang menyebutnya dengan daun Sawang, masyarakat di Jawa Barat menyebutnya dengan daun Hanjuang, dan masyarakat Jawa menyebutnya dengan daun Andong Merah) merupakan tanaman yang dianggap suci dan sakral bagi masyarakat Suku Dayak yang mendiami tanah Borneo. Masyarakat suku Dayak Uud Danum di ujung pedalaman Kalimantan Barat juga mempercayai bahwa daun Sabang ini adalah salah satu tanaman yang diangap suci dan sakral. Bahkan hampir setiap rangkaian prosesi adat Dayak Uud Danum mengunakan tanaman sabang. Daun Sabang ini memiliki bentuk batang tegak lurus dengan kisaran tinggi 2 sampai 4 meter. Daunnya yang berwarna merah menyala membuat sejumlah orang tertarik untuk menjadikannya sebagai tanaman hias.
Pada masyarakat Dayak, daun Sabang digunakan sebagai media untuk memercikan air suci dan ramuan minyak tradisional dalam proses pengobatan “hobolian/balian” atau ritual adat lainnya, dan dipercaya dapat mengusir roh jahat “Otuk Lio”. Selain itu, daun Sabang digunakan juga sebagai penangkal roh jahat atau sebagai tanda tertentu yang digantung di atas pintu atau di samping rumah. Jika melihat tanaman ini berada di wilayah Uud Danum, maka jangan coba-coba untuk memetik tanpa sepengetahuan dari pemiliknya.
Tata cara Mandi Daun Sabang yang perlu disiapkan adalah satu helai daun sabang hijau, dengan cara mencari daun Sabang hijau yang baik dan bagus bentuknya. Kemudian minyak jakparon, untuk menulis di daun Sabang itu adalah celak alis, lalu disiapkan kulit gaharu untuk mengasapi daun Sabang Hijau sebelum ditulis rajah. Sebelum mengkerenahkan daun Sabang Hijau, pelaksana adat mesti bersirih terlebih dahulu, karena merupakan petuah yang tidak bisa ditinggalkan. Bersirih yang dilakukan seperti biasa, yaitu mengambil daun sirih diberi dengan gambir, pinang, dan kapur sirih. Daun sirih itu kemudian dilipat lalu dikunyah-kunyah. Selesai bersirih, dapat dimulai dengan mengkerenahkan daun Sabang Hijau ini untuk dipergunakan mandi pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar.
Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengasapi terlebih dahulu daun Sabang Hijau tersebut dengan kulit gaharu. Gaharunya dibakar dahulu hingga mengeluarkan asap, kemudian daun Sabang Hijaunya diasap-asapi di atas kulit gaharu yang dibakar tadi, sambil dibolak-balik dengan membaca ayat.
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Alla ta’luu ‘alayya wa’ tuunii muslimiina”. Membaca ayat tersebut dalam jumlah ganjil, bisa 3 kali, 5 kali, 7 kali sesuai kebutuhan sambil membalik-balikkan daun Sabang Hijau tersebut. Daun Sabang Hijau itu setelah diasapi dengan kulit gaharu, selanjutnya daun Sabang Hijau itu akan ditulis rajah dengan tulisan tertentu. Penulisan rajahnya dengan menggunakan pensil alis yang telah dicampur dengan minyak gaharu. Adapun ayat atau tulisan yang dituliskan pada daun Sabang Hijau itu sebagai rajah adalah sebagai berikut:
Metode penulisan pada daun Sabang Hijau tersebut dimulai dari pangkal daun (yang ada tangkainya) ke arah ujung, dan jangan terbalik. Daun Sabang Hijau yang telah ditulisi sudah siap dipergunakan untuk mandi. Caranya dengan memasukkan daun Sabang Hijau tersebut ke dalam ember atau tempat lainnya yeng telah diisi dengan air dan pergunakanlah untuk mandi. Jika airnya telah habis maka dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan. Jika telah selesai semuanya mandi, maka daun Sabang yang telah dimasukkan ke dalam ember tadi jangan dibuang, tetapi disimpan di atas pintu rumah. Biarkan daun Sabang Hijau tersebut mengering di atas pintu rumah dan diambil nanti tahun depan dengan diganti dengan daun Sabang Hijau yang baru. Daun Sabang Hijau yang telah mengering tersebut, diambil dan dibuang ke sungai atau ke air yang mengalir seperti di sungai ataupun di laut dan jangan dibuang sembarangan.
Dalam pelaksanaan ritus Mandi Daun Sabang ini banyak mengandung makna fiolofis dan simbolis bagi pembersihan diri manusia baik secara pribadi maupun secara komunitas yang tertuang dalam rentetan penyelenggaraan ritus dan tradisi Mandi Daun Sabang. Mandi yang dilaksanakan pada minggu ketiga di bulan Safar penanggalan Hijriah dimulai dengan pembacaan surah-surah dalam AlQuran, dzikir dan sholawat yang diawali dengan pendekatan diri kepada Yang Maha Agung, Tuhan semesta alam, dan sebagai pintu pembuka barokah, kebaikan dalam menjalani kehidupan yang barokah, kehidupan yang baik, hari itu di dunia maupun di akherat kelak, yang lazim dilakukan sendiri di rumah, maupun dilaksanakan secara berjamaah sambil mengelilingi kampung.
Selanjutnya dilaksanakan mandi dengan air rendaman daun Sabang yang telah ditulis wafaq Arab secara berulang dalam bilangan ganjil. Penulisan di atas wafaq dengan media daun Sabang merupakan simbol keselamatan sesuai makna salamun, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu keselamatan. Hal ini disesuaikan dengan penggunaan daun Sabang masa pra Islam yang menjadikan media daun Sabang sebagai tolak bala yang lazim dipakai masyarakat secara Islam.
Kemudian, ritus ini dilanjutkan dengan anjuran sholat sunah maupun sholat wajib yang dilaksanakan sendiri maupun dilaksanakan secara berjamaah, dan ditutup dengan doa tolak bala, kemudian dilajutkan dengan silaturahmi dan penyeberangan. Apabila dilaksanakan secara beramai-ramai dengan hidangan aneka kuliner tradisi masyarakat Sekayam.
Pelaksanaan upacara Mandi Daun Sabang secara rutin di setiap tahunnya merupakan jawaban atas kekhawatiran akan hilangnya tradisi dan identitas budaya masyarakat yang dulu lazim dilaksanakan dalam lingkup keluarga maupun dalam komunitas masyarakat, serta sebuah usaha untuk mengajak masyarakat mencintai budaya dan tradisi dan juga untuk mendorong dan mendukung pemerintah Kabupaten Sanggau agar mengusulkan tradisi ini menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTB) dari masyarakat Sekayam agar ada jejaknya dalam pelestarian budaya daerahnya.
Penulis: Neni Puji Nur Rahmawati, S.Si., M.Sos. (Pamong Budaya Ahi Madya Pada BPNB Prov. Kalbar)