PONTIANAK. Membunyikan meriam karbit merupakan salah satu tradisi masyarakat Kota Pontianak pada setiap akhir ramadhan. Khususnya mereka yang bermukim di sekitar Sungai Kapuas. Dentuman suara yang silih berganti dan mampu memekakkan telinga ini merupakan tradisi tahunan yang diselenggarakan sebagai penanda berakhirnya bulan ramadhan.
Pada akhir malam ramadahan tahun ini, kamis 16 Juli 2015, sebagaimana tahun sebelumnya tradisi merima karbit diselenggarakan dalam bentuk festival. Tidak kurang dari 192 meriam karbit di sepanjang tepian Sungai Kapuas malam itu turut mensukseskan kegiatan yang juga dipercaya berakar dari sejarah berdirinya Kota Pontianak.
Alkisah menurut orang-orang tua, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie ketika menambatkan perahu dan membuka lahan kali pertama di Pontianak kerap diganggu oleh kuntilanak. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menggangu itu adalah para bajak laut. Sultan kemudian memerintahkan anak buahnya untuk mengusir para pengganggu itu dengan meriam. Dalam bentuk dan makna yang berbeda, tradisi ini kemudian diikuti oleh masyarakat hingga saat ini.
Pada masa orde baru, tradisi meriam karbit ini sempat dilarang dan terhenti. Namun seiring dengan pergantian pemerintah, tradisi ini kemudian berlangsung kembali. Bahkan kegiatan tradisi ini belakangan kemudian difasilitasi oleh Pemerintah Kota Pontianak melalui bentuk festival dan diperlombakan. Aspek penilaian diberikan pada besarnya suara yang dihasilkan.
Dengan diameter lingkar antara 1,5 hingga 2 meter, dan panjang yang mencapai 6 hingga 8 meter, maka dapat dibayangkan betapa besar suara yang dihasilkan oleh meriam karbit. Suara yang dihasilkan oleh merima karbit ini terdengar hingga radius belasan kilometer jauhnya. Tidak heran, bila suara meriam karbit mulai terdengar di akhir ramadhan, maka masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya mulai berduyun-duyun berdatangan dan menyangsikan hingga lewat setengah dar malam. (adm)