“Tiap sore saya mengumpulkan anak-anak di kampung Dayak untuk menuliskan kosa kata Bahasa Dayak dan mengartikannya. Kemudian hasil inventarisasi kosa kata Bahasa Dayak tersebut saya buat kamus bahasa daerah. Namun, sebetulnya Kamus hanya merupakan salah satu cara pendokumentasian bahasa daerah, bukan sebagai cara merevitalisasi bahasa daerah, salah satunya Bahasa Dayak Kalimantan”.
Demikian adalah cuplikan dari presentasi James T. Collins (Keynote Speaker) dalam Kegiatan Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak yang diselenggarakan di Gedung Satu Atap, Kantor Bupati Bengkayang, Kalimantan Barat, Sabtu – Selasa (3 – 6/6/2017).
Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak atau Dayak Culture: First International Congress merupakan kongres kebudayaan Dayak dalam skop internasional yang dilakukan untuk pertamakalinya dengan mengundang berbagai tokoh, akademisi, masyarakat Dayak yang ada di seluruh Indonesia dan beberapa negara lain seperti Brunei serta Malaysia. Kegiatan yang diprakarsai Pemerintah Daerah Bengkayang dan dibuka secara resmi oleh Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, M.H. tersebut diisi dengan presentasi oleh 52 pemakalah, baik dari tokoh/akademisi yang berasal dari Dayak sendiri maupun dari akademisi umum.
Adapun makalah yang disampaikan dalam kegiatan tersebut berkenaan dengan hasil penelitian-penelitian tentang kebudayaan Dayak yang telah dilakukan maupun isu-isu yang terkait dengan perkembangan kebudayaan Dayak saat ini. Materi hasil penelitian dan makalah yang disampaikan di antaranya adalah; James T. Collins (Keynote Speaker) menyampaikan materi tentang “Diversitas, Dokumentasi, dan Pelestarian Bahasa Daerah di Kalimantan Barat”; Yansen T. Pandan (Bupati Kab. Malinau, Kaltara) tentang “Paradigma Pembangunan ‘Percaya kepada Rakyat’ Melalui Gerakan Desa Membangun/GERDEMA; Yabit Alas (Pengarah Pusat Bahasa) tentang “Revitalisasi Bahasa Bisaya, Bahasa di Perbatasan Negara Brunai Darussalam, dan Limbang Sarawak, Malaysia”; Yekti Maunati (Research Center of Regional Resources- Indonesian Institute of Sciences/LIPI) dengan judul “The Question of Dayak Cultural Identity: Who Represent the Dayak”; Michael Jeno, M.M. (Komisi XI-DPR RI, Fraksi Partai PDI) dengan judul makalah “Masyarakat Dayak di Abad Postmodern: Transformasi Budaya Manajemen Taman Hutan Menjadi Manajemen Taman Madani Jejaring”; serta makalah-makalah lain yang berkaitan dengan kebudayaan Dayak dari berbagai sudut pandang.
Sidang kongres berlangsung dalam bentuk pembagian per sesi sidang. Dalam tiap sesi dihadirkan 3 – 4 presentasi makalah, kemudian dibuka tanggapan/kritik dari para audien. Sesuai dengan tema yang disampaikan terdapat banyak respon dalam bentuk kritik, pertanyaan, maupun saran-saran dari segenap peserta atau partisipan. Sesi yang paling hangat adalah saat disampaikannya tema yang berkaitan dengan isu konflik atau perselisihan antar suku/agama di Kalimantan. Isu konflik ditanggapi secara beragam oleh para peserta yang kebanyakan berasal dari pulau Kalimantan (Kalbar, Kaltim, Kalteng, Kaltara, dan Kalsel).
Respon peserta tentang isu konflik kemudian berkembang dengan gejolak isu suku dan agama yang sedikit hangat akhir-akhir ini. Ada beberapa peserta sedikit reaktif dengan isu-isu yang berbau rasisme dan agama tersebut, peserta mempertanyakan tentang ofensifitas oleh beberapa golongan yang mengatasnamakan agama terhadap masyarakat dayak akhir-akhir ini. Namun, keadaan sidang yang memanas dengan isu tersebut dapat diredam dengan bijak oleh narasumber lewat jawaban-jawaban yang tepat dan tidak provokatif.
Ketua pelaksana kegiatan, Bambang Bider, dalam pidato laporannya mengatakan, bahwa tujuan dari pelaksanaan Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak itu sendiri adalah untuk menyediakan ruang bagi para intelektual, baik dari Dayak maupun umum untuk memeriksa dengan ketelitian tentang identitas, martabat, integritas, dan kedaulatan dayak dari berbagai perspektif. Selain dibuka ruang untuk penyampaian perspektif tentang eksistensi masyarakat Dayak tersebut, juga dibuka ruang untuk diskusi dan debat dalam berbagai sudut pandang yang berkaitan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan intelektualitas masyarakat Dayak secara keseluruhan, sehingga akan mampu menghadapi tantangan jaman dengan dinamisme kebudayaan Dayak di antara kebudayaan global yang berkembang.