Pemberdayaan Nilai Etika, Estetika, dan Ekonomi sebagai Upaya Pelestarian Kesenian Tradisional Kuda Renggong

Pemberdayaan Nilai Etika, Estetika, dan Ekonomi sebagai Upaya Pelestarian Kesenian Tradisional Kuda Renggong

  • Post author:
  • Post category:Artikel / WBTB

kuda renggong 4

 

oleh

Irvan Setiawan

Makalah dalam kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung pada hari Selasa, tanggal 28 April 2015 di Aula Srimanganti, Kabupaten Sumedang

 

A. Pendahuluan
Kebudayaan merupakan kerangka acuan atau pedoman bagi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan antarsesama warga masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan akan mempunyai pengaruh besar terhadap pengetahuan, pembentukan sikap, kepercayaan, dan perilaku setiap individu. Pada masa sekarang, ketika kontak kebudayaan semakin meningkat dan intensif, banyak sekali terjadi pergeseran dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam perubahan pengetahuan, pandangan, sikap dan tingkah laku mengenai budaya tradisional.
Pergeseran atau perubahan kebudayaan yang terlihat pada saat ini salah satunya ada pada bidang tradisional. Pengaruh unsur budaya global yang menampilkan banyak hal berbeda sekali dengan kesenian tradisional ternyata banyak diminati masyarakat. Sebuah kecenderungan atau kenyataan yang memang tidak dapat terhindarkan. Apalagi dengan berangsur-angsur sejalan dengan semakin maraknya berbagai tawaran seni melalui media, terutama media televisi. Kesenian yang semula menjadi milik masyarakat semakin terpinggirkan. Bahkan tidak sedikit kesenian, khususnya yang berkembang di masyarakat saat ini secara perlahan, namun pasti memasuki masa kepunahan atau sama sekali sudah punah karena dilupakan oleh komunitasnya.
Saat ini banyak terlihat unsur-unsur dalam sebuah kesenian tradisional – yang masih bertahan – banyak mengalami perubahan di berbagai sisi sementara nilai estetika dan nilai budi pekerti yang terkandung di dalamnya banyak dikesampingkan. Unsur hiburan mendominasi pergeseran atau perubahan pada kesenian tradisional. Mereka hanya menganggap bahwa sebuah hiburan kesenian (tradisional) dianggap sukses apabila banyak ditonton masyarakat. Apalagi bila mendatangkan banyak keuntungan dalam satu kali pergelaran. Sungguh disayangkan apabila kesenian tradisional kehilangan jati dirinya dan “berselingkuh” dengan kesenian modern untuk kemudian “menanggalkan” baju kebesaran yang pernah membesarkan mereka dahulunya. Kolaborasi atau apapun bentuknya memang sah-sah saja diterapkan pada kesenian tradisional namun tidak boleh seenaknya saja berganti rupa dengan alasan melestarikan kesenian tradisional.
Kabupaten Sumedang merupakan salah satu gudang kesenian tradisional di Jawa Barat. Pemerintah Daerahpun selama ini sudah cukup tanggap akan hal back to the nature. Kembali ke “alam”, yang pernah membesarkan mereka hingga pada tingkat kerajaan (Sumedang Larang). Sebuah langkah positif dan patut mendapat acungan jempol. Kegiatan untuk menggalakkan kembali kesenian tradisional di antaranya dengan membuat sebuah Kampung Adat Rancakalong, Festival kesenian tradisional setiap tahunnya, serta banyak lagi dengan harapan agar masyarakat mengerti dan mencintai warisan budaya leluhur mereka.
Kuda Renggong yang menjadi maskot Sumedang tentu saja mendapat perlakuan serupa. Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.
Perkembangan yang begitu pesat untuk sebuah kesenian tradisional seperti kuda renggong jika dicermati secara mendalam tampak adanya keapikan penataan value arrangement yang menyangkut tiga sektor, yaitu etika, estetika, dan ekonomi. Nilai etika mengacu pada nilai kerjasama, kekompakan, ketertiban, dan ketekunan. Nilai estetika terlihat dari wujud kesenian kuda renggong yang sangat khas dan memancarkan aroma seni sangat kental. Nilai ekonomi merupakan nilai ketiga namun menjadi faktor yang menentukan kelangsungan nilai etika dan estetika. Beranjak dari ketiga nilai tersebut, akan dideskripsikan tiga buah nilai tersebut sebagai upaya pelestarian kesenian kuda renggong.

B. Pembahasan
1. Nilai Etika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah: 1 ilmu tt apa yg baik dan apa yg buruk dan tt hak serta kewajiban moral; 2 kumpulan asas atau nilai yg berkenaan dng akhlak; 3 asas perilaku yg menjadi pedoman. Berdasarkan pengertian tersebut, kuda renggong merupakan kesenian yang pada beberapa bagian mengambil sudut etika yang mengajarkan kepada manusia mengenai sebuah kebenaran yang hakiki. Kebenaran yang salah satunya dibalut dalam sebuah tradisi dengan mengacu pada agama tertentu (Islam) yang mewajibkan laki-laki untuk dikhitan. Fungsi kuda renggong dalam sudut nilai etika dalam hal ini digambarkan sebagai pelengkap dari tradisi khitanan pada masyarakat Sumedang.
Fungsi pelengkap yang mungkin pada sebagian orang dirasa tidak perlu untuk menghadirkan kesenian kuda renggong dalam tradisi khitanan pada masyarakat Sumedang pada masa kekinian memang sah-sah saja apabila mempertimbangkan status ekonomi orangtua sang anak. Namun, pendapat tersebut akan berbalik arah apabila sang anak berkeras untuk menghadirkan seni kuda renggong sebagai bentuk “pamrih” atas rasa sakit yang diderita sang anak saat dikhitan. Dan, pada sebagian orangtua tentu ada yang merasa tidak tega untuk menolak keinginan sang anak yang sedang menjalani proses inisiasi (pendewasaan) tersebut.
Terlepas dari keterpaksaan orangtua dalam menghadirkan kuda renggong dalam tradisi khitanan, terselip di dalamnya sebuah nilai etika yang seakan menjadi kewajiban untuk “berlaku baik” kepada sang anak. Istilah “berlaku baik” akan mengedepan apabila ada rasa keterpaksaan yang didasarkan atas kebiasaan yang membudaya pada masyarakat sekitar yang mewajibkan kehadiran seni kuda renggong saat melaksanakan tradisi khitanan.

Bentuk prosesi seni kuda renggong dalam tradisi khitanan memang seakan memancarkan sebuah permainan yang menyenangkan dan meriah khususnya bagi sang anak. Sisi permainan yang menjadi faktor pemicu menjadikan sang anak begitu ingin ada seni kuda renggong saat ia dikhitan. Keinginan yang dapat dianggap wajar apabila pemikiran diarahkan pada salah satu sifat manusia sebagai mahluk bermain (homo ludens).
Peningkatan status kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan setelah sang anak diarak dengan menggunakan seni kuda renggong. Ia akan merasa bangga di saat berada di punggung kuda yang berjalan melalui rute tertentu serta dilihat oleh teman-teman sepermainannya.
Alih-alih peningkatan status, prosesi arak-arakan kuda renggong juga dapat dilihat dari sudut etika saat penyambutan tamu agung. Beberapa sesi acara saat kunjungan tamu “agung” di Kabupaten Sumedang kerap memakai seni kuda renggong. Sang tamu agung dipersilahkan menunggangi kuda renggong yang bergerak melewati rute yang telah ditentukan untuk menuju lokasi acara.

Nilai etika dan status sang tamu saat pelaksanaan arak-arakan secara tidak langsung akan terangkat di saat ia melewati kerumunan masyarakat yang seakan menyambut kedatangannya. Memang bukan menjadi sebuah tradisi wajib bagi sang tamu dalam setiap kunjungan di wilayah Kabupaten Sumedang untuk menggunakan kuda renggong, namun hal ini sudah menjadi kebiasaan (bukan tradisi) – belum diketahui sejak kapan – yang digunakan untuk menghormati tamu agung.
Kepiawaian kuda renggong dalam memperagakan berbagai gerak tidak terlepas dari kepiawaian sang pelatih. Ada nilai etika dalam proses pelatihan kuda renggong. Pedoman pelatih adalah pelatihan yang baik akan menghasilkan lulusan yang baik. Definisi “baik” dalam hal ini tergantung dari karakter kuda itu sendiri. Bagi kuda yang berkarakter halus, pelatih akan menggunakan cara halus dan berperasaan sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal. Sementara kuda yang berkarakter keras dan pemberontak tentunya akan diperlakukan sesuai dengan karakter kuda tersebut.
Dengan demikian, terlaksananya pementasan seni kuda renggong baik dalam proses pelatihan, tradisi berkhitan, dan penyambutan adalah beberapa contoh sebuah nilai etika yang dibentuk oleh sekumpulan perilaku yaitu : kerja sama, kekompakan, ketertiban, dan ketekunan. Nilai kerjasama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan gerakan-gerakan tarian.

2. Nilai Estetika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, estetika adalah: 1 ilmu (ajaran atau falsafat) tt seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya; 2 kepekaan thd seni dan keindahan. Antara keindahan dan seni merupakan sebuah kesatuan yang saling mengikat. Kehausan manusia untuk memperoleh keindahan mau tidak mau akan mengarahkan kreatifitas manusia dalam mengolah jiwa dan raga untuk berkreasi menciptakan sebuah tema yang diwujudkan dalam sebuah karya seni.
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional kuda renggong yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Cikurubuk, Kabupaten Sumedang. Nilai estetika yang mendominasi seni kuda renggong dapat dilihat mulai dari pemilihan kuda, pola gerak, dan busana. Dalam proses pemilihan kuda, akan dilihat beberapa bagian dari anatomi kuda menjadi pusat perhatian untuk memilih kuda, diantaranya kaki, wajah, dan badan. Tiga bagian tersebut akan dilihat puseur (ciri-ciri) yang akan menentukan apakah kuda tersebut membawa keberuntungan/kesialan, berkarakter halus/keras, dan berbakat/tidak berbakat.

kuda renggong 3 kuda renggong 1 kuda renggong 2

Nilai estetika juga dapat dilihat dari pola gerak kuda renggong. Ada beberapa gerakan yang wajib dilakukan oleh kuda renggong, di antaranya Adean (lari melintang), hayam beger (gerak lari kepinggir), torolong (gerak langkah pendek tapi cepat), derep,/jogrog (melangkah cepat), dan congklang (gerak kaki kedepan cepat). Kerapihan dan keteraturan gerak akan terlihat indah dan menarik dimata penonton. Dan, hal tersebut tentu menimbulkan perasaan bangga dari sang pelatih karena kuda yang dilatihnya dapat tampil maksimal.

Busana sebagai unsur pelengkap dalam seni kuda renggong pada masa kini dikemas serius dan apik untuk menambah nilai estetika pada saat pementasan. Gemerlap dari untaian aksesoris dengan warna kontras sengaja diterapkan baik pada busana kuda renggong maupun pengiringnya.

3. Nilai Ekonomi

Segi ekonomi dalam pertunjukan kuda renggong pada masa lalu bukan menjadi prioritas yang akan menentukan bagus tidaknya pertunjukan kuda renggong. Lain halnya dengan kondisi kekinian. Nilai ekonomi dapat dikatakan menjadi faktor penentu kelangsungan dan keseriusan dalam seni kuda renggong. Proses pelestarian budaya tergantung dari 2 faktor, yaitu pekerja seni dan penonton. Sinergi di antara keduanya akan menimbulkan efek berkepanjangan antara yang memberi dan menerima. Sang pemberi yang dalam hal ini adalah pekerja seni berusaha tampil maksimal agar penonton (penerima) lebih tertarik dan memberikan nilai tambah pada pekerja seni tersebut. Bentuk resiprositas yang saling menguntungkan tersebut mengakibatkan semakin tenarnya sang pekerja seni sehingga bukan tidak mungkin order pertunjukan atau pementasan akan mengalir deras. Tentunya hal tersebut akan menambah pundi-pundi rupiah pekerja seni kuda renggong.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan dan kelestarian sebuah kesenian tradisional pada saat ini harus didukung oleh kemandirian pekerja seni dan animo masyarakat terhadap kesenian tersebut. Sudah banyak contoh kegagalan akibat ketidakmandirian pekerja seni tradisional yang mengharap bantuan pemerintah dalam upaya pelestarian namun tidak didukung oleh kreativitas sehingga animo masyarakat tetap saja tidak tergerak untuk datang dan menyaksikan pementasan kesenian tradisional tersebut. Kreativitas dalam hal ini terbentuk dari kolaborasi beberapa unsur seni yang dimasukan ke dalam kesenian tradisional tertentu. Kolaborasi yang menjadi pilihan utama dengan memasukan unsur seni lain ke dalam kesenian kuda renggong semata-mata agar sebuah pertunjukan tradisional menjadi lebih menarik dan mampu meraup massa pendukung sebanyak-banyaknya. Satu contoh kecil yang diterapkan adalah dengan memasukan lagu-lagu yang sedang trend saat pementasan kuda renggong. Ada juga upaya kolaborasi warna dalam kostum kuda renggong dan pengiring dengan memasukan unsur warna baru sehingga pementasan seni kuda renggong menjadi semakin meriah dan gemerlap.

 

C. Penutup

Dapat dirasakan bahwa seni kuda renggong saat ini sudah menjadi salah satu maskot budaya Kabupaten Sumedang. Suguhan kesenian tradisional kuda renggong kerap dihadirkan dalam setiap pagelaran dan festival seni tradisional. Tidak hanya dalam wilayah Sumedang saja, seni kuda renggong bahkan sudah dikenal baik di tingkat kabupaten/kota hingga ke tingkat provinsi bahkan ke mancanegara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penataan dan sinergisitas antara nilai etika, estetika, dan nilai ekonomi yang baik akan sangat membantu proses pelestarian kesenian tradisional.