SENI PERTUNJUKAN MOKEASA DI ENDE

0
2116

Mokeasa adalah sebuah drama dengan para pemeran yang terdiri dari 3 orang pria dan 4 orang wanita. Adapun pemerannya adalah Jara (suami Koni), Koni (istri Jara), Asa (anak putri tunggal keluarga Jara dan Koni), Mite (teman bermain Asa), Ndaro (teman bermain Asa), Wangga (Bapak / orang tua warga desa), Nggawa (Bapak / orang tua warga desa).

Di dusun Kojanara tinggal sebuah keluarga (Jara, Koni, dan Asa). Keluarga itu hidup rukun penuh damai, suami istri selalu bermusyawarah dalam menangani sesuatu persoalan. Suami biasa membantu pekerjaan istrinya begitupun sebaliknya. Jara dan Koni berkeinginan supaya keturunan mereka (anak-anak) beberapa orang. Ternyata keinginan mereka tidak terpenuhi. Mereka hanya mempunyai seorang anak tunggal yang bernama Asa. Mereka (Jara dan Koni) dengan penuh kasih sayang membesarkan dan mendidik anak mereka Asa. Ketika anak mereka Asa bertumbuh menjadi gadis remaja, kedua orang tuanya selalu menasehati anaknya agar hati-hati dalam pergaulan, selalu jaga nama baik keluarga. Asa pun selalu setia dan patuh pada nasehat kedua orang tuanya.

Pada suatu malam terang bulan, Asa diajak teman-temannya (Mite dan Ndaro) bermain Inggo (kejar-kejaran) / Ogo di halaman rumah. Sementara asyik bermain, Asa minta diri untuk membuang hajat kecil. Mite dan Ndaro pun mengiyakan, lalu mereka berhenti bermain menunggu pulangnya Asa. Setelah menunggu lama, Asa tidak juga pulang. Teman-temannya berteriak memanggil-manggil Asa, tetapi tak dibalasnya. Ternyata Asa sudah menghilang. Orang-orang desa (Wangga, Nggawa) pun mencari Asa, sambil memukul gong Kaleng, berteriak-teriak membaca mantera. Namun Asa pun tidak ditemukan. Setelah kira-kira empat puluh hari warga desa sudah putus asa dan kedua orang tuanya bersikap pasrah terhadap Ndua Nggae (Penyelenggaraan Tuhan).

 Selang beberapa hari kemudian, Asa tadi menjelma menjadi sebuah pohon enau dan orang di kampung itu menyebutnya Mo artinya “sudah cape mencari”. Kedua orang tuanya datang memandang pohon itu sambil menangis dan berkata Ke yang berarti “ratap tangis”. Maka pohon itu dinamai Moke. Untuk mengenang anak kesayangan mereka (Asa) maka tempat itu kemudian dinamakan Mokeasa.

Sumber : WBTB BPNB Bali, NTB, NTT  2010