Sasando yang seharusnya bernama Sasandu (bunyi yang dihasilkan dari getar) lahir dari inspirasi penemunya dan hasil interaksi dengan alam. Dari cerita legenda orang Rote, terdapat berbagai versi mengenai sejarah lahirnya alat musik ini.

Cerita 1, konon awalnya adalah ketika seorang pemuda bernama Sangguana (1950-an) terdampar di pulau Ndana saat melaut, ia dibawa oleh penduduk menghadap Raja di Istana. Selama tinggal di istana inilah bakat seni yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang sehingga sang Putripun terpikat. Ia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah bentuk maupun suaranya. Diilhami oleh mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang diberi nama Sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan dan Sngguana menjawab “Sari Sandu”. Alat musik itupun ia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hitu yang artinya Sekali Dipetik Tujuh Dawai Bergetar (cerita tentang Sangguana ini dimunculkan oleh Yusuf Nggebu Alm, dimuat di Harian Kompas online tahunn 2002).

Cerita 2, Sasando ditemukan oleh dua orang penggembala bernama Lumbilang dan Balialang (diceritakan oleh Jeremias Pah). Ketika meladang bersama domba-domba, mereka membawa sehelai daun lontar, saat kehausan di siang hari mereka melipat daun lontar tersebut untuk menimba air. Untuk melipat, bagian tengah daun berwarna kuning muda harus di buang dan ketika hendak melepas, tali tersebut dikencangkannya. Tanpa disangka, ketika ditarik keras menimbulkan bunyi nada yang berbeda-beda. Tetapi, karena sering terputus keduanya lantas mencungkili lidi-lidi tersebut. Akhirnya, mereka menemukan bahwa apabila dikaitkan rapat akan membunyikan nada tinggi dan sebaliknya semakin merenggang, dawai akan menghasilkan nada yang rendah (Sasando Rote, 17 Januari 2008).

Cerita 3, Sasando diciptakan oleh dua orang sahabat yaitu Lunggi dan Balok Ama Sina yang merupakan seorang penggembala domba sekaligus penyadap tuak. Ketika mereka sedang membuat haik dari daun lontar diantara jari-jari dari lembaran daun lontar terdapat semacam benang/fifik yang apabila dikencangkan akan menimbulkan bunyi. Dari pengalaman inilah menimbulkan inspirasi kedua sahabat ini untuk membuat suatu alat musik petik yang dapat meniru suara atau bunyi-bunyian yang ada pada gong, dengan cara mencungkil tulang-tulang daun lontar yang kemudian disenda dengan batangan kayu. Karena suara yang dihasilkan kurang bagus, maka kemudian diganti dengan batangan bamboo yang dicungkil kulitnya serta disenda dengan batangan kayu (Djoni L.K. Theedens; Sasando dan Orang Rote, Timex 8 September 2009).

Cerita 4, Samuel Ndun alias sembe Feok (1897-1990) seorang manahelo (ahli silsilah dan syair) di Rote bagian Barat, bahwa penemu Sasandu adalah seorang yang bernama Pupuk Soroba. Inspirasi  pembuatan Sasandu diperoleh Pupuk Soroba saat menyaksikan seekor laba-laba yang besar sedang asyik memainkan jaring (sarangnya) sehingga terdengar alunan bunyi yang indah. Berdasarkan pengalamannya itu Ia ingin menciptakan suatu alat yang dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Untuk merealisir idenya itu, mula-mula Pupuk Soroba mencungkil lidi-lidi daun lontar yang mentah, lalu disenda, kemudian dipetik. Pikiran Soroba makin berkembang, terakhir ruas bamboo dipasang pada haik yang terbuat dari dun lontar, serta senar atau dawai mula-mula dibuat dari serat akan pohon beringin, sesudah itu dibuat dari usus musang yang kering, dan ternyata menghasilkan resonansi bunyi yang lebih besar (Paul A. Haning; Sasando, Alat Musik Tradisional Masyarakat Rote Ndao, Penerbit CV. Kairos).

Oleh karena Sasandu didapat dengan menirukan cara kerja laba-laba, maka berdasarkan kepercayaan (mitos) di Rote bila seseorang ingin pandai bermain/memetik Sasandu maka Ia harus menangkap seekor laba-laba lalu menghancurkannya sesudahnya dicampur dengan minyak kelapa lalu diolah/diremas-remas pada jari-jemari. Oleh karena alat musik yang telah dipasang dalam haik itu beresonansi, maka disebut/dinamakan Sandu atau Sanu yang berarti bergetar atau meronta-ronta. Kemudian alat ini disebut lagi Sasandu, adalah kata ulang dari Sandu-sandu atau Sanu-sanu yang berarti bergetar berulang-ulang.

Sasando, dalam bidang organologi (ilmu tentang alat-alat musik) tergolong Sitar Tabung Bambu. Menurut para peneliti musik, sitar tabung bamboo adalah alat musik asli Asia Tenggara (misalnya Filipina dan Indonesia) yang juga ditemukan di  Madagaskar dengan sebutan Valiha/Ali yang berasal-usul dari Asia Tenggara melalui perpindahan penduduk ( Stanley Sadiebed. The New Grove Dictyonary of Musical Instruments)

Perkembangan Sasandu berjalan terus seiring berjalannya waktu, terjadi modifikasi bentuk dan peningkatan kualitas bunyi yang diproduksi dengan penggantian dawai. Fifik berganti tulangan daun lontar, kulit bamboo berganti senar kawat, senar tunggal berganti dawai rangkap, akustik berkembang ke elektronik, Sasando Gong berkembang ke Sasando biola menjadi Sasandu sebagai alat musik tradisional dengan sentuhan teknologi moderen. Kemampuan dan semangat memodifikasi sasando ini mencerminkan karakter serta etos kerja orang Rote yang tinggi dan kedinamisannya dalam bermusik. (WN)

 

Sumber: Dokumen Pencatatan WBTB BPNB Bali