Mesabat-sabatan biu atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Perang Pisang adalah sebuah tradisi turun temurun yang dilaksanakan di Desa Tenganan Dauh Tukad, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Kata mesabat-sabatan biu terdiri dari kata “mesabatan” yang bermakna saling lempar dan “biu” berarti pisang sehingga sering pula diartikan dengan Perang Pisang.

Tradisi ini dilaksanakan pada sasih katiga (bulan ketiga pada perhitungan kalender Tenganan) yakni Usaba Katiga yang dimaksudkan adalah untuk menguji calon ketua dan wakil ketua kelompok pemuda di Desa Tenganan Dauh Tukad sebelum dikukuhkan. Sebelum tradisi ini berlangsung terlebih dahulu dilaksanakan proses ngelawang yakni para pemuda desa berkeliling desa dengan membawa sok bodag sebagai tempat menaruh sumbangan dari warga desa. Setelah itu dilanjutkan dengan proses ngalang yakni memetik buah pisang dan kelapa oleh para pemuda desa yang nantinya akan dipergunakan sebagai sarana pada tradisi mesabat-sabatan biu tersebut.

Pihak Kelompok Pemuda Desa dengan Bawaan Mereka Berupa Buah Kelapa dan Pisang

Tradisi mesabat-sabatan biu ini dilaksanakan di Pura Bale Agung antar dua kelompok pemuda desa. Di satu pihak adalah kelompok calon ketua dan wakil ketua pemuda sedangkan di pihak lain adalah lawannya yakni pemuda desa lainnya. Memang kelihatannya perang ini tidak seimbang karena jumlah dua orang melawan hampir 16 (enambelas) orang pemuda namun itulah yang menjadi sebuah ujian bagi calon pemimpin pemuda di desa ini. Yang menjadikan tradisi ini unik dan khas adalah pada saat pelaksanaannya pihak pemuda desa akan berperang sembari memikul buah kelapa dan pisang dalam jumlah yang lumayan banyak. Begitu pula bagi pihak calon pemimpin pemuda juga akan memikul bawaan berupa sok bodag yang mereka bawa pada saat ngelawang. Bawaan dari kedua belah pihak tidak boleh sampai terjatuh hingga usai perang karena apabila jatuh mereka akan dikenakan sanksi.

Adapun tatacara pelaksanaannya yakni pihak calon ketua dan wakil ketua harus berlari menuju gerbang Pura Bale Agung sambil memikul bawaan sementara kelompok pemuda bertugas untuk menghadang mereka dengan melempari pisang juga dengan tetap memikul kelapa dan pisang pada bahu mereka. Pihak calon pemimpin pemuda sambil bertahan harus terus berlari walaupun tergopoh-gopoh mereka tidak boleh berhenti apalagi sampai terjatuh hingga mencapai gerbang Pura Bale Agung. Upacara ini berakhir setelah kedua calon ketua dan wakil ketua bisa mencapai gerbang Pura Bale Agung karena mereka akan dinyatakan lulus meskipun kondisi mereka penuh lebam. Tradisi ini tetap dipertahankan dengan tujuan untuk mencari pemimpin yang kuat mental dan fisik dalam menghadapi segala persoalan nantinya terjadi di Desa Adat ini. (WN)