Dalam pergolakan revolusi tahun 1945-1949 di Bali, banyak sekali muncul pejuang-pejuang kelas satu yang berkualitas dunia. Hal tersebut dapat dilihat dari segi semangat, keberanian dan jiwa juang yang gagah berani di dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Meski hanya menggunakan senjata bambu runcing, mereka tidak gentar menghadapi musuh yang bersenjata modern.

Salah seorang pejuang tersebut ialah A.A.Gde Anom Mudita dari Bangli. Karena kecakapannya dalam perang gerilya, komandan perang gerilya I Gusti Ngurah Rai mengangkat A.A. Gde Anom Mudita sebagai koordinator Wilayah Pertempuran Bali Timur yang meliputi wilayah Bangli, Gianyar, Klungkung dan Karangasem. Untuk mendukung perjuangan gerilya itu, A.A.Gde Anom Mudita mampu memobilisasi rakyat. Bahkan tanah seluas sekitar 100 hektar milik keluarga dihibahkan kepada masyarakat untuk mendukung perjuangan.

Sebagai bukti sepak terjang pergerakan Kapten TNI A.A Gde Anom Mudita, hingga saat ini di Desa Penglipuran juga masih terdapat bunker yang sebelumnya dipergunakan warga setempat untuk menghindari serangan penjajah. Bunker tersebut tampak menyerupai gorong-gorong saluran irigasi yang terletak di hutan bambu Desa Penglipuran. Menurut tokoh masyarakat setempat, saat para tentara penjajah menuju ke Desa penglipuran, warga sudah membunyikan kentongan. Bersamaan dengan tanda tersebut, Kapten Mudita memerintahkan seluruh warga mulai dari anak-anak, lansia, dan wanita untuk bersembunyi di gorong-gorong itu, dan menutupi bagian atas dengan ranting serta dedaunan.

Melihat semangat juang yang begitu gigih, nilai-nilai kepahlawanan dari sosok A.A Gde Anom Mudita yang terkenal dengan pekikan ‘Merdeka Seratus Persen’ patut dijadikan sebagai barometer seberapa kuat keyakinan kita terhadap nilai-nilai kejuangan dari suatu proses kehidupan berbangsa dan bernegara. (WN)