Permainan ‘Gebug Ende’ hingga kini menjadi trademarknya Kabupaten Karangasem.  Keunikan dari permainan ini yaitu melukiskan keanekaragaman latar belakang budaya yang mengesankan dan mencerminkan kekayaan khasanah budaya Indonesia, yang berlatar belakang heroisme.

Secara deskriptif, “Gebug Ende” dapat dijelaskan sebagai olahraga yang berfungsi melatih ketangkasan dan keberanian dalam pertempuran. Konon olahraga itu merupakan latihan perang pasukan inti kerajaan Karangasem tempo dulu. Olahraga yang diwarnai dengan keterampilan ngebug (memukul) dan nangkis (menangkis),  bukan saja dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga oleh anak-anak. Hanya saja peralatan seperti pecut (alat ngebug) dan ende (alat menangkis) untuk anak-anak ukurannya lebih kecil dan tidak berbahaya.

Adapun cara memainkan gebug ende adalah sebagai berikut: Permainan atau olahraga itu selalu dilakukan dalam bentuk bertanding tunggalan, satu lawan satu. Tiap pemain membawa sebuah pecut yang dibuat dari rotan dengan ukuran panjang 130 cm untuk anak-anak dan 145 cm untuk dewasa. Untuk memudahkan memegang, pada bagian pangkalnya dipasang antol yaitu ikatan tali sehingga pecut itu tidak gampang lepas. Pecut yang dipegang dengan sebelah tangan itu digunakan untuk menyerang lawan main. Sebelah tangan lainnya memegang ende yaitu alat penangkis berbentuk bulat dengan garis tengah 45 cm untuk anak-anak dan 65 cm untuk dewasa.

Ende sendiri dibuat dari anyaman bambu, bagian luarnya dilapisi kulit sapi. Pada bagian dalamnya dipasang pegangan dari kayu yang diberi rongga untuk memasukkan jari-jari tangan. Kadang-kadang untuk anak-anak, lapisan kulit sapi itu diganti dengan tapis yaitu pembungkus janur. Anyaman bambu dan lapisan kulit sapi itu kemudian diberi bingkai bambu sehingga alat itu tidak mudah ambruk. Dengan ende itulah para pemain menangkis serangan musuh.

Agar pertandingan berlangsung tertib, maka diangkat seorang atau dua orang wasit. Wasit yang berdiri di tengah-tengah pinggir para petarung itu dianjurkan membawa ende untuk menangkis kalau-kalau serangan pemain itu salah sasaran. Antara kedua pemain itu dipasang sebuah tongkat pemisah yang berfungsi sebagai pembatas serangan. Aturan-aturan yang harus ditaati para pemain adalah (1) pemain tidak boleh melewati atau menginjak tongkat pembatas, dan (2) bagian badan yang boleh diserang adalah paha ke atas. Jadi lutut ke bawah tidak boleh diserang.

Untuk memeriahkan pertandingan biasanya permainan itu diiringi tabuh bonangan. Tabuh itu berbunyi ketika petarung yang bermusuhan itu memasuki arena. Mereka berdua saling engkrek, menari dengan gerakan mengejek. Setelah jengah (bersemangat), keduanya saling serang. Tabuh yang mula-mula lamban itu berubah menjadi cepat dan menanjak keras sesuai dengan suasana dan gerakan pertarungan. Wasit yang selalu awas itu sekali-kali menghindar sambil menggerakkan ende-nya. Kadang-kadang ia melerai, lalu memberi tanda pertandingan berlanjut. Setelah tiba waktunya, tiba-tiba ia mengumumkan pemenangnya. Tentu saja sorak-sorai bergemuruh diiringi tabuh yang mengentak-entak. (WN)

 

Sumber: Dokumen Pencatatan WBTB BPNB Bali