“Ranup” pada Masyarakat Aceh

0
7885

Penulis : Agung Suryo Setyantoro

Judul     : Ranup pada Masyarakat Aceh

Penerbit : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh (2009)

Halaman : 141 halaman

 

Kalau ada pernyataan bahwa kebiasaan menyirih atau makan ranub sudah ada sejak zaman dahulu kala, maka pernyataan itu dianggap wajar. Hal ini karena adat menyirih dikenal hampir diseluruh Asia, bahkan dilakukan oleh hampir sepersepuluh penduduk dunia. Di daerah Aceh, mengunyah ranub (sirih) merupakan salah satu bagian dari tradisi yang sudah turun temurun dilakukan. Jika kita lihat di seberang masjid Raya Baiturrahman akan nampak ramai dari pagi hingga malam hari penjual ranub yang menjajakan ranub.

 Tradisi makan ranub dalam budaya Aceh merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 300 tahun yang lampau atau di zaman Neolitik, hingga saat ini. Apabila kita menengok masa lalu, orang tua kita mempunyai tradisi “makan ranub” atau “menyirih”. Konon tradisi makan ranub ini dibawa oleh rumpun bangsa Melayu sejak kira-kira 500 tahun sebelum Masehi ke beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Tradisi mengunyah daun ranub yang di dalamnya beiris biji pinang, gambir dan sedikit kapur. Kapur ranub diyakini mampu memperkuat cengkraman gusi terhadap gigi. Pendukung budaya ini banyak hidup di Asia Tenggara dan terdiri dari berbagai golongan meliputi masyarakat bawah, pembesar agama dan kalangan istana.

Ranub, atau dalam Bahasa Indonesia disebut sirih, merupakan sejenis tumbuhan merambat yang membiak melalui keratan batang dan anak yang tumbuh dari batangnya yang merambat di tanah. Bagi masyarakat Aceh, ranub memiliki nilai yang tinggi. Pada masa lalu ranub selalu dikaitkan dengan semangat pada zaman kepahlawanan Melayu. Sehelai ranub bertemu dengan urat yang dimakan bersama pinang, kapur dan gambir dikatakan dapat menaikkan semangat pahlawan yang akan berjuang. Penggunaan ranub di Aceh dapat ditelusuri dari kajian naskah kuno kitab “Mujarabat”. Dalam kitab Mujarabat yang telah dialihaksarakan, ranub dan pinang disebutkan secara bekali-kali sebagai bahan ramuan obat-obatan.

Pada masa kesultanan Aceh, ranub memainkan perana penting bukan hanya sebagai bahan konsumsi semata, tetapi juga dipergunakan dalam upacara-upacara kebesarab sultan. Dalam perkembangannya, ranub juga menempati peranan penting dalam sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh. jika ada acara-acara resmi seperti pernikahan, hajatan sunat, bahkan acara penguburan mayat sekalipun, ranub seolah menjadi makanan atau hantaran wajib. Berikut gambaran mengenai pentingnya ranub bagi masyarakat Aceh dalam sistem daur hidup:

  1. Pada saat menjelang persalinan, keluarga calon bayi akan mendatangi bidan yang nantinya akan menangani kelahiran sang bayi. Kedatangan ini disebut dengan peunulang yang artinya menyerahkan hidup dan mati sang ibu dan calon bayi kepada bidan. Peunulang dilaksanakan dengan membawa beberapa hantaran diantaranya ranub setepak (bahan-bahan ranub), pakaian sesalin dan uang ala kadarnya.
  2. Pada saat upacara antar mengaji. Sudah menjadi suatu keharusan dalam masyarakat Aceh bahwa setiap anak yang akan diantar mengaji pertama kali, anak tersebut akan dipeusijuk dan dibekali bawaan yang akan dipersembahkan kepada teungku yang mengajarkan diantaranya adalah ranub seuseupuh (ranub seikat) dan beberapa barang lain seperti buleukat kuneng (nasi ketan kuning), manok panggang (ayamg panggang) hingga enam hasta ija puteh (enam hasta kain putih).
  3. Pada upacara pernikahan. Tepatnya pada saat kedua belah pihak keluarga mempelai menyepakati tanggal dilaksanakan pernikahan, pihak calon pengantin laki-laki akan mendatangi rumah pihak calon pengantin perempuan dengan membawa ranub kong haba (sirih penguat kata) sebagai lambang penjanjian kawin (bertunangan)

Pemaknaan yang diberikan masyarakat Aceh terhadap ranub ternyata tidak tunggal. Ada banyak makna sosial dan kultural yang terkandung dari ranub. Pemaknaan yang beragam tersebut terjadi karena ranub dalam kehidupan masyarakat Aceh digunakan dalam banyak cara dan aktivitas, sehingga makna yang terkandung akan menjadi berlainan. Secara terperinci, berbagai makna ranub bagi masyarakat Aceh adalah sebagai berikut:

  1. Ranub sebagai simbol pemuliaan tamu. Hal ini sangat jelas terlihat baik dalam kesenian (Tari Ranub Lam Puan) maupun berbagai jamuan ranub yang ditunjukan kepada tamu, besan dan juga orang-orang yang dihormati. Pemulia wareh ranub lampuan, memuliakan tamu dengan ranub. Demikian makna utama dari penyajian ranub kepada tamu.
  2. Ranub sebagai simbol perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuk, meu-uroh dan upacara lainnya. Ranub melambangkan sifat dan watak para peserta musyawarah yang dijiwai oleh semangat setia kawan, setia sekata, hidup rukun dan damai, sapeu kheun ngon buet (satu kata dengan perbuatan).
  3. Ranub sebagai media komunikasi sosial. Dalam hal ini ranub sering diungkapkan dengan istilah ranub sigapu yang berati sebagai pembuka komunikasi. Makna ranub secara simbolik adalah sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaraan. Ranub adalah lambang formalitas dalam interaksi masyarakat Aceh. Setiap acara dimulai dengan menghadirkan ranub dan kelengkapannya.

Sebagai akhir dari tulisan ini, mengutip pandangan Geertz, bahwa ranub sebagai sebuah bagian dari kebudayaan yang masih dipraktekan masyarakat Aceh tidak hanya sebagai kompleks-kompleks pola tingkah laku konkret, misalnya, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, kumpulan-kumpulan kebiasaan, seperti yang pada umumnya sampai hari ini, melainkan sebagai seperangkat mekanisme kontrol yaitu rencana, resep, aturan, instruksi untuk mengatur tingkah laku.