Peristiwa Cumbok

0
20206

OLEH CUT ZAHRINA, S .AG

“Suara itu bergetar “saya tidak mau membicarakannya,” kata Profesor Teuku Ibrahim Alfian, ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ayah dan ibu Ibrahim memang selamat dari Perang Cumbok yang meletus di Aceh tahun 1946. Tapi nenek, kakek, paman, juga banyak sepupunya jadi korban massa yang marah pada keluarga uleebalang atau bangsawan. “Saya tidak tahu di mana kubur mereka sampai kini,” kata Farhan Hamid, anggota DPR dari Fraksi Reformasi. Farhan adalah anak ketiga dari Teungku Abdul Hamid-akrab dipanggil Ayah Hamid-ulama, juga sahabat Teungku Daud Beureueh. Seperti disebut James T. Siegel, antropolog dari University of California, dalam bukunya The Rope of God (1962), Perang Cumbok tidak bisa lepas dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi kepentingan Belanda”. Namun yang sangat disayangkan masyarakat Aceh, baik uleebalang dan ulama tidak menyadari akan kepentingan Belanda tersebut.” (Majalah Tempo “Cumbok Sepotong Sejarah Gelap”)

Peristiwa Cumbok terjadi pada awal tahun 1946, berpusat di Pidie. Pertikaian ini memuncak karena adanya kesalahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan uleebalang atau bangsawan terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pertikaian yang terjadi antara dua kubu yang berbeda yaitu kubu uleebalang dan ulama, masing-masing kubu memiliki pemimpin dan panglima. Dari kubu uleebalang dipimpin oleh Teuku Keumangan dengan Panglimanya Teuku Daud Cumbok (uleebalang kenegerian Cumbok) dan kubu ulama dipimpin oleh Daud Beureueh dengan Panglimanya Husin Al-Mujahid. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi masyarakat Aceh. Hingga sekarang, Peristiwa Cumbok tetap dikenang dan menjadi catatan hitam sejarah dalam perkembangan perjuangan danrevolusi sosial di Aceh.

Apa itu Cumbok ?

Cumbok adalah nama sebuah landschap (kenegerian yang kemudian menjadi kecamatan) termasuk dalam kewedanan atau onderafdeeling Lam Meulo yang tergabung dalam kabupaten atau afdeeling Pidie. Kecamatan Cumbok pada zaman Hindia Belanda dinamakan Landschap van Cumbok. Sedang kepala  daearahnya disebut Zelbestuurder van Cumbok. dal;am bahasa daerah Aceh disebut denga Uleebalang Cumbok. Ia memakai gelar Teuku Seri Muda Pahlawan Bintara Cumbok. Sebelum proklamasi kemerdekaan, Uleebalang Cumbok adalah Teuku Muhammad Daud terkenal dengan Teuku Cumbok. Saat itu, onderafdeeling (kewedanan) Lam Meulo masuk ke dalam Afdeeling (kabupaten) Aceh Utara bersama dengan kewedanan Sigli, Meureudu, Bireuen, Lhokseumawe, Lhoksukon dan Takengon.

Tercetusnya Peristiwa Cumbok

Dahulu, di wilayah Aceh -kecuali Aceh Besar-terdapat 102 daeraj keuleebalangan yang merupakan raja-raja kecil yang kekuasaannya bersifat absolut di daerahnya masing-masing. Lambat laun para uleebalang mulai kehilangan kesetiaannya kepada sultan hingga akhirnya mereka memisahkan diri dari sultan. Mereka kemudian dinobatkan sebagai raja-raja kecil di daerahnya dan memihak kepada Belanda dan mengadakan perjanjian secara sendiri-sendiri. peristiwa tersebut dikenal dengan korte veerklaring atau perjanjian singkat.

Dari keterangan tersebut para uleebalang dianggap melakukan kecurangan karena sebelumnya mereka bahu-membahu dengan ulama melawan Belanda, uleebalang terutama di daerah Pidie sudah berubah dan mereka berpihak serta setia kepada Belanda, sedangkan ulama tidak pernah menerima kekuasaan Belanda. Sebelum Jepang mendarat di Aceh pada bulan Maret 1942, pemberontakan terhadap Belanda umumnya dipimpin oleh para ulama yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Faktor inilah yang terus memperuncing hubungan antara uleebalang dan ulama sehingga mereka mengambil keputusan untuk menghancurkan uleebalang dan menghapuskan sistem pemerintahan feodal serta kekuasaan Belanda di Aceh.

Pada bulan September berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 telah sampai ke Aceh melalui perantara kawat yang dikirim oleh A.K Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang. Pada saat itu seluruh rakyat terutama pemuda menyambutnya dengan kegembiraan yang meluap-luap. Namun ketika itu digambarkan ada sebagian dari kelompok uleebalang yang masih ragu-ragu dan mencemoohkan proklamasi kemerdekaan Indonesia serta mereka melakukan tindakan-tindakan yang menghambat usaha-usaha menegakkan kemerdekaan. Keragu-raguan, cemoohan serta tindakan uleebalang tersebut menambah keyakinan pihak ulama bahwa kaum uleebalang itu benar-benar bermaksud hendak mengembalikan kekuasaan Belanda ke Aceh. Atas praduga tersebut maka kaum ulama tidak ragu-ragu lagi untuk menghancurkan mereka.

Pada pertengahan bulan November 1945 persiapan kedua belah pihak telah rampung, hanya menunggu saat yang baik untuk bertindak. Saat yang mereka nantikan tiba dengan timbulnya suatu peristiwa di Kota Sigli yaitu penyerahan senjata oleh tentara Jepang. Peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya pertumpahan darah antara pihak ulama dan uleebalang pada tanggal 4 Desember 1945. Namun akhirnya pertempuran ini dapat didamaikan oleh Pemerintah Daerah Aceh pada tanggal 6 Desember 1945. Walaupun demikian pertempuran tidak dapat dihindari, sehingga peristiwa  ini dikenal dengan peritiwa Cumbok, para uleebalang maupun pihak ulama menganggap peristiwa ini sebagai peristiwa penting hidup dan mati.

Insider dalam bukunya Aceh Sepintas Lalu menggambarkan bagaimana kekuatan dari kedua kelompok yang sedang bertikai yaitu uleebalang dan ulama. Pihak  pertama yaitu uleebalang terdiri dari “raja-raja” serta familinya, di samping itu juga terdapat sebahagian besar orang-orang yang telah lanjut usia, mereka adalah badi setia kepada “rajanya” secara turun temurun. Pihak kedua yaitu ulama terdiri dari alim ulama, pemuda dan mereka yang tidak puas terhadap “raja-rajanya”. Rasa tidak puas tersebut dipicu oleh pendirian yang principieel di samping mereka bercita-cita hendak menghapuskan Zelfbestuurder di Aceh. Pihak kedua ini memiliki pengikut yang lebih banyak daripada pihak pertama.

Pertikaian antara kedua kubu tersebut terjadi lagi pada tanggal 12 Januari 1946 dengan dilakukannya serangan umum terhadap Kota Lam Meulo yang merupakan benteng pertahanan Cumbok terkuat. Dari barat yaitu dari jurusan Glee Gapui, serangan yang dilancarkan oleh Barisan Rakyat dari Garot dan Seulimeum di bawah pimpinan Hasan Ali dibantu juga oleh Hasan Saleh, Hasballah Daud dan T. Ubit. Inti kekuatan barisan rakyat ini adalah sebuah meriam Howitzer yang didatangkan dari Kutaraja. Dari Selatan yaitu dari Titeu serangan dilakukan oleh barisan rakyat dari Tangse dan padang Tiji di bawah pimpinan Ayah Daud Tangse dan Muhd. juned Affandi. Sementaradari timur yaitu jurusan Pulo Drien Bireun di bawah pimpinan Nyak Hasan bersama dengan T.H Zainul Abidin, H. Tahir, Muhd Tahir Geurugo’, said Umar dan Tgk. Hasan Matang Geulumpang Dua. Dari utara yaitu dari jurusan Mali, menyusur jalan kereta api yaitu jalan raya Beureuneun Lam Muelo.

Pada tanggal 12 Januari 1946 meletuslah perang secara besar-besaran antara kedua belah pihak. Perang tersebut menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tidak terhingga. Akibat dari pertempuran tersebut rumah Teuku Daud Cumbok yang menjadi markas uleebalang dan benteng pertahanan penuh dengan lubang-lubang bekas hantaman peluru meriam. setelah barisan rakyat menduduki Lam Meulo yang mereka cari adalah Panglima Cumbok yaitu Teuku Daud Cumbok yang ternyata sudah melarikan diri. Segera keluar perintah untuk mencarinya. Pada 16 Januari  1946 Teuku Daud Cumbok dan stafnya ditangkap di kaki Gunung Seulawah oleh barisan rakyat Seulimeum yang dipimpin oleh Tgk. Ahmad Abdullah. Pembunuhan dan penangkapan terhadap uleebalang tidak mengakhiri pertikaian tersebut. Dalam buku riwayat hidupnya, Syamaun Gaharu yang juga tokoh API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan mantan Panglima Kodam I Aceh menyebutkan tindakan rakyat Aceh memburu kaum uleebalang sangat kejam. “Banyak warga mati tanpa dikubur, tiada dimandikan, tiada dishalatkan”. Sayangnya, tidak ada data pasti jumlah korban dalam revolusi sosial itu. Ada yang memperkirakan mencapai tiga ribu orang. Sejak itu citra ulama melambung. Daud Beureueh kian populer sebagai pemimpin revolusi.