Sejarah adalah masa lalu, akan tetapi tidak semua masa lalu itu adalah sejarah. Sejarah masa lalu yang diceritakan atau ditulis ulang merupakan sebuah produk sejarah atau yang dikenal dengan historiografi, masa lalu yang coba direkonstruksi kembali oleh ahlinya. Historiografi ini tidak dapat dilepaskan dari subjektifitas sang penulis (sejarawan), maka untuk meminimalkan subjektifitas ini maka ada yang namanya metodologi sejarah. Setiap sejarawan yang telah menempuh studi pada bidang ilmu sejarah pastilah sudah faham dengan metodologi ini.
Menanggapi tentang pengesahan Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara, yang menetapkan Barus sebagai titik nol dari peradaban tersebut, sungguh mendapat tanggapan keras dari sebagian besar sejarawan di Indonesia. Khusus bagi sejarawan di Aceh sangat menentang keras penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA., bahwa titik nol itu bukan di Barus, jika penetapan tersebut diletakkan di atas dasar data dan fakta historis yang akurat dan tidak terbantahkan maka tentu para sejarawan dan orang Aceh harus angkat topi. Akan tetapi justeru penetapan ini tidak ada dasar data dan fakta yang kuat dan terkesan terlalu tergesa-gesa yang membuat kecurigaan apakah ada faktor politis ideologis dibalik penetapan ini.
Sebagaimana juga beliau mengemukakan pendapatnya berdasarkan penelitian yang pernah beliau lakukan di Peurlak, Kabupaten Aceh Timur, justeru mengungkapkan fakta bahwa Kerajaan Peurlak pada masa sekitar abad III Hijriah, atau sekitar abad IX Masehi, telah menjadi kerajaan Islam. Kesimpulan beliau ini didasarkan kepada angka tahun yang terdapat pada sebagian besar nissan kuburan keluarga Raja Peurlak, termasuk juga nissan dari sang raja yang terukir tahun 225 s/d 248 H. Jelas ini lebih tua dari pada nissan kuburan yang terdapat di Barus.
Senada dengan pernyataan tersebut Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. CBE., yang telah lama melakukan fokus peneilitian tentang peradaban Islam di Aceh, juga membantah dan menyayangkan tentang penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara. Bahkan sedikit lebih keras dari Rektor UIN Ar-Raniry, beliau mengungkapkan bahwa di Barus tidak ada bukti-bukti otentik tentang peradaban Islam selain kuburan kuno yang terdapat di Papan Tinggi, Barus. Berbeda dengan Aceh yang memang merupakan pusat intelektual Islam yang pertama di Asia Tenggara. Sebagaimana beliau mengungkapkan bahwa kitab fiqih pertama yang dituliskan kedalam bahasa melayu, dengan tulisan arab melayu, di Asia Tenggara ini adalah Kitab Sirath Al-Mustaqim karyanya Ulama Aceh, Ar-Raniry. Hingga sampai pada akhir abad XIX, Ulama-ulama Aceh beserta kitab-kitabnya menjadi rujukan bagi Ummat Islam di Asia Tenggara. Dengan fakta-fakta tentang peradaban yang sebegitu besarnya bagaimana mungkin Aceh tidak menjadi titik nol peradaban Islam di Nusantara? Bagaimana justeru Barus yang miskin dengan data dan fakta tentang peradaban Islam di masa lalu dianggap sebagai titik nol peradaban tersebut? Ini adalah invented history (sejarah yang diada-adakan).
Masih menurut beliau, justeru titik nol pusat peradaban Islam di Nusantara tersebut adalah kerajaan Samudera Pasai, atau di Kabupaten Aceh Utara sekarang. Jika dirujuk pada fakta-fakta yang ada, menunjukkan bahwa peradaban Islam di Samudera Pasai tersebut lebih dahulu jika dibandingkan dengan nissan kuburan yang terdapat di Papan Tinggi, Barus. Beliau memepertegas bahwa jika kita berbicara tentang titik nol peradaban Islam di Nusantara itu adalah Aceh, walau pada sebagian pada catatan-catatan sejarah telah menyebutkan nama Barus (dengan versi penyebutan/nama lain) jauh sebelum Islam ada, akan tetapi catatan ini tidaklah menyebutkan Islam akan tetapi yang tersebut di dalamnya adalah tentang kapur barus dan tentang kedatangan para pedagang asing ke Barus. Silahkan menetapkan Barus sebagai titik nol awal perdagangan di Nusantara, akan tetapi jangan menetapkan Barus sebagai titik nol peredaban Islam di Nusantara, tutup beliau.
Pendapat Dr. Husaini Ibrahim, MA., juga menguatkan kedua pendapat sebelumnya, bahwa titik nol peradaban Islam di Nusantara adalah Aceh. Akan tetapi secara pribadi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan beliau bersama tim sejarawan dari Sumatera Utara dan Malaysia menyimpulkan bahwa peradaban Islam pertama tersebut adalah di Lamuri, Kabupaten Aceh Besar. Beliau juga menolak keras tentang penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara.
Beliau juga mengemukakan bahwa pada saat setelah penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam tersebut, telah digelar seminar di Universitas Negeri Medan (Unimed) dan beliau hadir di sana sebagai salah satu undangan. Pada saat seminar tersebut beliau beserta beberapa sejarawan yang berasal dari Sumatera Utara, seperti Usman Pelly, menentang hal tersebut, walau ada juga sebagian kecil dari sejarawan yang mendukung. Beliau menyayangkan kenapa seminar tersebut baru diadakan setelah diadakannya penetapan, seharusnya diseminarkan terlebih dahulu baru kemudian disahkan. Ini diluar kenormalan tutup beliau.
Dari perdebatan tersebut seluruh narasumber bersepakat bahwa titik nol peradaban Islam di Nusantara itu adalah Aceh, walau masih bisa diperdebatkan tepatnya di mana. Apakah di Peurlak, Samudera Pasai, ataukah Lamuri. Akan tetapi pemerintah harus tetap diluruskan dan segera merevisi kebijakan penetapan tersebut karena ini bisa menipu khalayak ramai, bahkan dikhawatirkan penetapan yang penuh kontroversial ini masuk kedalam kurikulum pendidikan nasional, dan ini adalah fatal karena bagaimana mungkin kita mendidik generasi muda kita dengan SEJARAH palsu yang tidak dibangun diatas dasar data dan fakta historis dan dibuat oleh bangsa sendiri???
Iqra’….. mari kita kembali membaca karena kita bukanlah Bangsa yang tuna aksara.
Isma’….. dengarlah, karena kita bukanlah Bangsa yang tuna rungu.
Dan Qul….. katakanlah, karena kita bukanlah Bangsa yang tuna wicara.
🙂