MUSEUM RUMOH ACEH

0
14306

Rumoh Aceh yang juga berfungsi sebagai museum didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A Swart pada tanggal 31 Juli 1915. bangunan Rumoh Aceh berasal dari pavilium Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (de Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus-15 November 1914. Dan kemudian di bawa kembali ke Aceh pada tanggal 31 Juli 1915 yang diletakkan  di sebelah timur Blang Padang Banda Aceh.  Museum Rumoh Aceh ini berada di bawah tanggungan  sipil dan menjadi milik pemerintah Aceh. Pada tahun 1969 atas ide T.Hamzah Bendahara, museum Rumoh Aceh dipindahkan dari Blang Padang ke jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2.

Museum Rumoh Aceh dibangun menyerupai rumah tempat tinggal tradisional masyarakat Aceh, berbentuk rumah panggung. Lantai bangunan ini dirancang setinggi 9 kaki atau  lebih dari permukaan tanah. Bersandar pada tiang-tiang penyangga dari kayu dengan ruang kolong di bawahnya. Luas lantai bangunan ini lebih dari 200 m2 dengan tinggi atap pada bagian rabung lebih kurang 8 m. Keistimewaan “Rumah Aceh” dan sejenisnya terletak pada segi kekokohan bangunannya; walaupun bagian-bagian rumah hanya dipersatukan dengan ikatan tali ijuk, pasak serta baji sebagai pangganti paku dan sekrup.

IMG_0898
Tampak muka Rumoh Aceh

Tiang-tiang rumah ini terbuat dari jenis kayu keras pilihan yang rata-rata berdiameter lebih kurang 20 cm, dan berjumlah 44 buah tegak berjajar dalam posisi 4 x 11 memanjang dari Timur ke Barat. Penempatan tangga dengan jumlah anak tangga genap masing-masing 14 buah, di ujung Timur bawah “seuramoe keue” dan di ujung Barat bawah “seuramoe likot”, berkesan tidak biasa.

Dalam masyarakat Aceh tidak dikenal adanya istilah rumah adat. Fungsi masing-masing ruangan ini ditata agar sedapat mungkin menggambarkan fungsi pokok-pokok ruangan pada rumah tempat tinggal tradisional masyarakat Aceh.Untuk memasuki Rumoh Aceh, pertama-tama harus melewati “reunyeun” (tangga). Dengan menaiki “reunyeun” dan melalui pintu depan sampailah di “seuramoe ukeue” (serambi depan).Seramoe keue” (serambi depan) adalah ruang tamu yang terbentang sepanjang rumah. Ruang ini dipakai untuk menerima tamu, menjalankan kegiatan agama dan sebagai tempat musyawarah keluarga.

IMG_0739
Seuramoe Ukee atau serambi depan pada Rumoh Aceh

Bagian ujung Barat ruangan ini ditutup dengan tikar, dan pada upacara yang sifatnya khidmat, pada bagian ini dihamparkan permadani tempat dimana untuk setiap tamu disediakan “tika duek” (tikar duduk) masing-masing, berbentuk persegi empat yang dianyam dan dihiasi dengan indah.Beberapa potong kayu berukir dengan hiasan tradisional Aceh tergantung pada dinding bagian utara yang rendah. Lukisan para Pahlawan Bangsa; Sultan Iskandar Muda, Tengku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Teuku Nyak Arif dan Teuku Umar Johan Pahlawan, yang diramaikan oleh pajangan alat musik “Rapa-i” (sejenis drum) dalam ukuran besar kecil bersusun berjajar di dinding yang tinggi, yang disertai dengan hiasan permadani, tanduk rusa penyangkut topi, tombak dan kepala rusa, serta lukisan-lukisan.  Ruangan ini biasanya berisi barang-barang peralatan yang menujukan jenis pekerjaan atau kegemaran si pemilik rumah. Tak jarang di ruangan ini pula terdapat sangkar burung “leuek” (balam) atau “meureubok” (perkutut).

Bagian kedua dari Rumah Aceh adalah “rambat” atau ruang tengah, yaitu suatu ruang penghubung yang terdapat diantara dua kamar tidur. “Rambat” digunakan khusus untuk sesama penghuni rumah, untuk para sanak keluarga atau apabila orang lelaki, hanyalah untuk mereka yang telah akrab dengan seluruh keluarga secara terbatas. Ini disebabkan oleh karena ruang ini hanya dapat menuju ke serambi belakang (seuramoe likot), dimana para wanita tinggal dan melakukan kesibukan sehari-hari.

Pada rambat Rumoh Aceh terdapat lemari-lemari yang berisi peralatan makan dari keramik asing dan tembikar (kendi-kendi Gayo), berbagai jenis topi dan senjata, peralatan upacara dari tembaga, “panyot gantung” (lampu gantung) dan “panyot dong” (lampu berkaki) yang terbuat dari kuningan, peralatan ibadah, kitab dan Al-Quran serta lukisan-lukisan. “Seuramoe likot” atau serambi belakang pada hakekatnya dipakai sebagai ruang keluarga dan juga dipakai sebagai ruang dapur. Sudah menjadi kebiasaan bahwa dapur selalu ditempatkan pada bagian ujung Timur ruangan ini; agar tidak mengganggu kegiatan ibadat shalat. Sebagai ruang keluarga, “seuramoe likot” merupakan tempat berkumpul anggota keluarga, mengasuh anak dan melakukan kegiatan sehari-hari para wanita; seperti jahit menjahit, menganyam tikar dan sebagainya.

IMG_0783
Salah satu lemari berisi tembikar

Bagian timur “seuramoe likot” yang berfungsi sebagai dapur, sudah tentu berisi segala perlengkapan dapur, mencakup peralatan masak-memasak dan bahan-bahan makanan. Peralatan masak memasak didominir oleh peralatan yang terbuat dari tembikar, di samping beberapa diantaranya ada yang terbuat dari kuningan atau tembaga. Perlengkapan bumbu-bumbu dan resep masakan atau bahan makanan disimpan dalam botol-botol bertutup rapat, yang ditata rapi di atas semacam rak menempel ke dinding. Ada “salang” yang terbuat dari “on iboih” (sejenis daun lontar) yang dihias bersusun tiga atau lima; sebagai sebagai tempat untuk menyangkutkan periuk atau belanga yang berisi bahan makanan atau makanan masak tergantung kuat ke langit-langit sebuah “sandeng”, semacam rak yang terbuat dari bambu, tempat dimana diletakkan peralatan dapur dalam berbagai bentuk dan keperluan. Masih di ruangan ini, dekat dapur berdiri tegak sebuah lemari berisi piring, cangkir, cawan dan mangkok keramik yang dipakai sebagai peralatan makan sehari-hari. Ada pula sebuah rak sederhana di samping pintu “rambat”, tempat menyimpan tikar-tikar yang siap dibentangkan bila sewaktu-waktu diperlukan.

IMG_0852
Bagian Seuramoe Likot dengan peralatan dapur di dalamnya

Pada bagian Barat “seuramoe likot” ditempatkan sebuah “parataih” (ranjang) sebagai tempat berbaring melepas lelah, atau juga dipergunakan untuk menidurkan anak-anak kecil. Di samping “parataih” juga digantungkan sebuah “ayon” (ayunan) untuk menidurkan anak balita. Di atas lantai dibentangkan tikar yang terbuat dari rotan yang di atasnya diletakkan beberapa “tika duek” (tikar duduk) persegi empat berisi anyaman indah warna-warni, tempat dimana para tamu wanita duduk. Ada tikar yang belum selesai dianyam. Menganyam tikar biasa dilakukan  sambil mengasuh anak-anak. Di pojok kiri dan kanan ujung Barat “seuramoe likot” terdapat karung besar dan kecil yang berisi padi, dan ada pula alat peralatan penangkap ikan dan peralatan pertanian, ada “keude” sejenis keranjang dari rotan yang biasanya dipakai untuk menyimpan benang atau kain sutera yang sudah selesai ditenun dan barang-barang lainnya.

“Rumoh Inong” (kamar tidur utama) adalah bagian yang paling penting dan sangat suci dalam rumah tempat tinggal masyarakat Aceh. Ruangan inilah yang sesungguhnya dapat dikatakan kamar yang disebut “juree”, yaitu bagian yang terletak di sisi Barat dan  Timur “rambat”. Di ruangan inilah pasangan suami isteri tidur, dan dikamar ini pula upacara-upacara adat dilaksanakan, baik “sunat rasul” (khitan), perkawinan maupun kematian. Kamar ini pantang dimasuki orang kecuali orang tua dan anak-anak. Lantai kamar ini seluruhnya ditutup dengan tikar. Langit-langit kamar “mempleue” (mempelai) di sisi Timur, ditutup dengan kain berwarna merah bercampur kuning bersulam kasab, dan kamar tidur di sisi Barat ditutup dengan kain berwarna merah hati yang disebut “tire dilangit”.

Dinding-dinding kedua kamar ini juga ditutup dengan kain “tire lingka” (tirai lingkar) berwarna-warni dengan bentuk pola yang disebut “cureng” (lajur-lajur), “ceuradi” dan “mirahpati”. Tempat tidur, sebagaimana lazimnya ditutup dengan “kleumbu” (kelambu). Sebaliknya di kamar “mempleue” digelar suatu alas duduk yang diberi kasur dan disebut “tilam duek” berukuran besar dimaksudkan untuk pria. Di atas tilam-tilam yang ada di kamar ini disusunlah sejumlah bantal yang disebut “bantay susuon” (bantal bersusun), yang berbentuk seperti guling yang pada kedua ujungnya diberi hiasan yang indah yang disebut “tampok”. Pakaian dan perhiasan disimpan di dalam “peuto” (peti) yang terdapat didalam “juree”.

IMG_0745

Ragam hias yang terdapat pada “Rumoh Aceh”, merupakan pola-pola umum ukiran kayu tradisional Aceh yang terdiri dari pola-pola simetris, belah ketupat dan kaligrafi pada bagian “tulak angen” (tolak angin). Untuk bagian yang terhimpit antar dua belah atap ini, ukirannya dibuat dengan menggunakan pahat penghulu yang dapat menggurat dan menembus kayu dan menghasilkan pola-pola hiasan berupa relung-relung bagaikan renda, ciri yang khas dan umum pada ragam hias rumah Aceh. Bagian-bagian lain seperti dinding juga didominir oleh pola-pola “ceureupa”, pola simetris, garis-garis bersilang, belah ketupat, sulur bunga dan daun. “bungong canek awan” (awan berarak), “bungong sagoe” (bungong sudut), “bungong ayu-ayu” (bunga ayu-ayu), “puta taloe” (pilin tali) dan motif-motif lainnya, sebagaiman tercermin dalam ungkapan bersanjak:”Uke binteh culek sipot, ban leuek meulot ngon ceumpala. Ladum uke puta taloe, geurok ban peutoe bangon keureunda“.