Catatan Kesembilan: Kejurun Blang Toweren

Sebuah tempat bersuhu dingin namun terasa hangat dengan kerama-tamahan masyarakatnya, Desa Toweren yang terletak di tepian danau Lut Tawar, Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. Masyarakatnya begitu tertib bermajelis, ada hal yang sangat menarik darinya, tentang bagaimana pentingnya keberadaan salah satu sosok yang merupakan bagian dari majelis di Desq Toweren, yaitu Kejurun Blang.

Kejurun Blang adalah seorang spesialis di bidang penataan pertanian yang mempunyai posisi sebagai pemimpin dan pengatur kegiatan di bidang usaha persawahan, untuk meningkatkan produksi panen serta memakmurkan petani. Biasanya orang yang didaulat sebagai Kejurun Blang adalah orang yang memiliki pengetahuan dalam bidang pertanian secara turun-temurun. Figur ini didasarkan pada kriteria yang berpengalaman dalam bidang masyarakat, menguasai hukum adat pertanian, dan memahami keadaan yang dipengaruhi oleh hidrologis wilayah. Perannya mencakup masalah irigasi yang akan mengalirkan air ke lahan-lahan para petani, memimpin pelaksanaan gotong royong, memastikan terlaksananya berbagai kesepakatan adat, dan terlibat langsung dalam penyelesaian sengketa, dan mendorong ketahanan pangan lokal.

Kejurun Blang di Toweren pada saat ini adalah Bapak Yusufsyah. Beliau sudah memegang mandat ini sejak dari tahun 1983 yang artinya sudah selama 35 tahun. Diluar kebiasaan di Desa Toweren, pak Yusuf terpilih menjadi Kejerun Blang murni dikarenakan kemampuan beliau dalam bidang adat dan pertanian, bukan dikarenakan faktor keturunan. Isterinya bernama Rohani yang selalu setia mendampingi beliau. Pak Yusuf tinggal di Toweren Toa.

Kejurun Blang secara tradisi pada setiap awal musim tanam, merupakan orang pertama yang harus menanam padi. Bersawah atau resam berume pada masyarakat Desa Toweren harus melalui lima tahapan. Tahap pertama adalah munyuk seme yaitu menyemai bibit; tahap kedua adalah mujereget yaitu dicabut dari ladangnya; tahap ketiga adalah menomang yaitu memotong padi untuk ditanam kemudian dipindahkan kelahan; tahap keempat adalah melamut yaitu pembersihan rumput atau gulma di sawah; dan tahap kelima adalah munuling yaitu masa panen. Pada tiga tahapan resam berume, munyuk seme, dan menomang tidak boleh didahului oleh siapapun. Setelah Kejerun Blang melakukan ketiga tahap itu barulah warga desa bisa mulai melakukan aktivitas yang sama pada lahan persawahan masing-masing.

Pada hari Jumat warga desa dilarang beraktivitas di sawah dari pagi hari sampai siang hari selesai waktu shalat Jumat. Setelah shalat Jumat, barulah warga boleh beraktivitas di lahan persawahan. Selain itu, ada juga istilah yang dinamakan rabu nas, yaitu rabu khusus atau pun rabu terakhir dalam hitungan bulan Hijriah atau kalender Islam yang melarang warga desa untuk beraktivitas di sawah atau kebun sepanjang hari.

Ada satu peraturan khusus lainnya di kampung Toweren yang harus ditaati oleh seluruh warga Toweren yaitu ketika ada seorang warga kampung yang meninggal dunia, maka seluruh warga desa harus berhenti dari segala aktivitas apapun pada waktu itu juga. Kejurun Blang akan memberikan pengumuman tersebut melalui mesjid desa, selanjutnya seluruh desa akan langsung mengetahui informasi itu karena akan ada pengurus mersah atau mushola yang menggunakan toa untuk mengabarkannya ke empat desa. Hal ini dimaksudkan agar warga desa turut merasa berduka dan kehilangan sebagaimana yang dirasakan oleh keluarga yang ditimpa musibah kemalangan.

Kampung Toweren juga memiliki tradisi yang dipimpin oleh Kejurun Blang yaitu tradisi tulak bele (tolak bala). Biasanya hal ini dilakukan ketika sudah ditemui banyaknya keadaan atau kejadian buruk di kampung seperti gagal panen, munculnya hama dan penyakit tanaman yang menimpa lahan pertanian warga. Pada pagi hari sampai sore hari, satu kampung akan berdoa bersama yang dilaksanakan di lapangan atau tengah kampung. Malamnya, dengan waktu yang ditentukan oleh Kejurun Blang, akan ditunjuk 2 orang perwakilan dari setiap desa untuk melakukan tradisi ini. Amanat ini tidak boleh ditolak oleh siapapun yang telah ditunjuk langsung oleh Kejurun Blang. Kejurun Blang juga memiliki hak khusus untuk membawa serta anak kandungnya melakukan ritual ini, sebagai bentuk keberlanjutan kaderisasi keturunan Kejurun Blang.

Pada kegiatan malam hari masyarakat membuat air pesejuk yang ditempatkan di dalam tong besar, kemudian dibacakan doa dan dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk adat dan dianggap juga sebagai obat. Setelah itu sekitaran malam Kejurun Blang dan warga menyiapkan makan yang berupa paha kanan ayam yang telah dimasak, apam empat warna, yakni merah, kuning, hitam, dan putih, padi digongseng (berteh) dan membawa lidi yang berjumlah ganjil. Di asumsikan desa ini berbentuk petak, sehingga memiliki empat sudut, tetapi biasanya Kejurun Blang sendirilah yang akan menentukan tempatnya.

Pada saat melakukan tradisi tulak bele ini, seluruh warga tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah ataupun meninggalkan kampung atau memasuki kampung. Karena dikhawatirkan akan keserebun atau “tidak sengaja terlihat” yang bisa membahayakan warga desa. Selanjutnya, air sisa penyejuk diperebutkan oleh warga untuk diminum sebagai obat karena dipercaya akan menyembuhkan berbagai penyakit. Biasanya air sisa ini jauh lebih dingin.

Kejurun Blang juga berwenang memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat bersawah atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam pelaksanaan pertanian sawah secara adat. Pelanggaran larangan ketentuan adat yang telah ditetapkan oleh Kejurun Blang, secara kepercayaan adat yang telah diyakini kebenarannya, bila ketentuan tersebut dilanggar hasil panen nantinya akan mengalami kerugian atau mudaratnya banyak, seperti munculnya hama tikus dan padi tertidur. Selain itu bagi siapa saja yang telah melanggar adat ini maka ia akan mendapatkan sanksi social dari warga kampung.

Dari semua hal diatas, dapat dikatakan bahwa peran Kejurun Blang sangat penting karena memiliki relevansi yang sangat kuat dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Hal itu disebabkan sebagian besar masyarakat Toweren menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

*Catatan Kesembilan Oleh: Claudia Retina Munthe, Ahmad Fikri Haz, Rizky Ramadhan, dan Nikmatun Najwa.

*Foto: Koleksi BPNB Aceh