Catatan Kelima: Sambutan Hangat Dari Penghuni Asli Lut Tawar yang Dingin
“Sesal tiada henti bila enggan mencintai negeri. Berjiwa luhur medaki hati sampailah pada cinta yang suci. Sopan pagar yang suci sandarkan dia pada kebudayaan dan bakti. Bersenandung tanpa henti menguatkan jiwa yang kian sunyi. Sepi tak akan hilang bila enggan berbagi rasa. Itulah yang disebut dengan negeri gayo satu untuk semua, semua untuk bersatu. Begitu kuat perjuangannya sebegitu kuat persatuannya. Tak ada yang membeda-bedakan antara sesama.” Begitulah penggalan syair yang disampaikan ine (panggilan masyarakat Gayo untuk ibu) saat menyambut kami di Desa Toweren, salah satu desa yang di kelilingi oleh rangkaian pegunungan di sebelah timur Lut Tawar.
Kekuatan terbesar yang bisa mengalahkan perbedaan. Bermacam-macam kebudayaan di Gayo yang unik dan berbeda dari kebanyakan seni tari, musik, seni rupa, dan religi kelompok lainnya membuat kami tertarik untuk belajar dan mengetahui lebih jauh tentang kelompok masyarakat adat satu ini. Salah satu yang menarik perhatian kami adalah adanya makhluk kecil yang diyakini merupakan penghuni asli mata air Lut Tawar. Keberadaannya amat dinanti bukan hanya oleh para pengunjung atau wisatawan yang datang ke tanah Gayo, namun juga oleh masyarakat Tanoh Gayo itu sendiri. Penasaran, kan?!
Makhluk yang dianggap oleh masyarakat Gayo sebagai makhluk yang suci (karena hanya hidup di perairan yang jernih dan merupakan sumber mata air) ini adalah ikan depik (Rasbora tawarensis). Ikan khas Gayo yang dipercaya memiliki nilai budaya tinggi yang merupakan ikan asli penghuni Lut Tawar, Aceh Tengah. Ikan ini dapat dipastikan tidak akan kita temukan di daerah lain. Ikan depik ini hanya hidup di mata air yang ditutupi oleh timbunan bebatuan khusus di Lut Tawar, danau vulkanik yang berada tepat di jantung wilayah Aceh Tengah. Ikan depik hanya akan ada pada satu musim di bulan Juni, Juli, dan September (perkiraan dari penjelasan masyarakat setempat) yang menjadikan ikan ini buruan paling ditunggu oleh masyarakat setempat.
Magisnya, kehadiran ikan endemik (organisme yang hanya dapat ditemui di daerah tertentu) ini akan ditandai dengan beberapa kejadian alam yang luar biasa, seperti hujan gerimis, angin kencang, dan disertai gelombang Lut Tawar yang kian mengencang dari hari biasanya. Mendengarnya saja sudah membuat kami bergidik takjub! Penjelasan dari ama (panggilan untuk ayah) lebih membuat kami menahan nafas karena jika di musim lain ditemukan ikan depik, maka dapat dipastikan ikan-ikan tersebut bukanlah ikan depik “asli”, karna ikan depik asli hanya datang di satu musim (biasanya satu hingga dua tahun). Amazing!
Sambil menyeruput kopi ketiga kami pada hari itu, ama kembali meneruskan ceritanya tentang ikan yang harga satu kalengnya (sekitar 200-500 gram) bisa mencapai Rp.30.000,- tersebut. Harga tersebut berlaku jika jumlah ikan yang ada masih banyak. Jika tidak, harga perkalengnya dapat mencapai Rp.50.000! harga yang teramat tinggi untuk ikan dengan ukuran yang bisa dikatakan sangat kecil itu. Ikan ini juga biasanya dapat dijadikan ikan asin agar dapat dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama sejak penangkapannya.
Karena seluruh cerita ama yang kami dengarkan teramat khidmat, kopi kali itu pun kami habiskan tanpa tahu bahwa ia tak lagi hangat. Nikmat!
*Catatan Kelima Oleh: Yulia Iwani Fauzina, Maman Abdullah, M. Alil Ikhsan, Rizka Rama Seri, dan Mika Defike S.
*Sumber Foto: Internet