Catatan Keenam: Masyarakat Gayo dan Alam (Dua Elemen yang Tak Terpisahkan)

Pagi ini cuaca sangat dingin, namun kami tetap bertekad menapaki pinggiran Danau Lut Tawar yang mengelilingi Desa Toweren sambil melihat aktivitas masyarakatnya. Benar saja, semangat kami tersebut mengalahkan udara dingin bersuhu 14° C yang menusuk tulang. Kami pamit kepada ine (sebutan Untuk ibu) setelah sarapan untuk berkeliling kampung, ine mengiyakan disertai senyum ramah yang mengantar perjalanan kami bersama ama (sebutan untuk bapak/ayah pada masyarakat Gayo). Rumah ama dengan Danau Lut Tawar tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 400 meter. Selama diperjalanan ama banyak bercerita tentang adat istiadat yang berlaku di Gayo, khususnya di Toweren. Menarik, sehingga membuat rasa penasaran kami semakin bertambah, ingin tahu banyak hal tentang Gayo.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, akhirnya kami tiba di Danau Lut Tawar. Ternyata danau ini jauh lebih indah saat dipandang dari jarak dekat. Gunung-gunung yang masih diselimuti kabut berdiri kokoh mengelilingi danau, seolah menegaskan bahwa adat dan istiadat di Dataran Tinggi Gayo sangat kokoh pula seperti gunung yang menjulang tinggi. Kami duduk dan bercengkrama di balai tepian danau, melebur dalam perbincangan hangat, ditemani sepiring gorengan dan kopi Gayo yang tersaji panas, semakin menambah hangatnya suasana pagi itu.

Sembari berbincang-bincang kami memperhatikan aktivitas masyarakat di sekitaran danau. Ada yang sedang mempersiapkan perahu untuk mencari ikan. Ada juga yang sedang beraktivitas menanam cabai di sebidang tanah dan kami menyempatkan diri menyapa beliau, seorang lelaki yang masih tergolong sangat muda. Beliau memulai aktivitas berkebun sekitar pukul 07.00 pagi. Sudah kebiasaan bagi masyarakat di sana memulai aktivitas berkebun diwaktu yang sama.

Tak terasa jarum jam yang ada di tangan sudah menunjuk keangka 9, waktunya untuk bergegas pulang melaksanakan aktivitas pribadi. Saat menuju rumah induk semang, kami bertemu dengan ama Yusuf Sah. Beliau adalah tetua kampung sekaligus Kejerun Blang, sebutan untuk seseorang yang didengar saran-sarannya atas segala aktivitas yang berkaitan dengan perkebunan. Bukan tanpa alasan, seseorang yang menyandang status Kejerun Blang memiliki ilmu tentang perkebunan, baik itu waktu yang tepat untuk menanam benih, kapan waktu yang tidak boleh berkebun, dan sebagainya. Masyarakat dilarang melakukan aktivitas di ladang pada Jumat pagi, sebelum dilaksanakannya shalat Jumat, karena  merupakan hari besar islam. Kemudian masyarakat juga dilarang berkebun jika ada warga kampung yang meninggal dunia.

Setelah beberapa hari kami menetap di Toweren, semakin takjub saja melihat alam yang memberikan kehidupan bagi masyarakat Gayo, begitu banyak sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Maka tidak heran jika manusia yang hidup ribuan tahun lalu mamilih Dataran Tinggi Gayo sebagai tempat tinggal. Ini dibuktikan melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara (Balar Sumut) sejak tahun 2009 s/d 2016 di Loyang Mendale, yang mengungkapkan bahwa telah ada jejak-jejak kehidupan/peradaban sejak 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa kedigdayaan sumber daya alam Gayo sudah ada sejak 8000 tahun yang lalu, bahkan jauh sebelum itu.

Jika melihat kondisi saat ini, sumber daya alam di Dataran Tinggi Gayo masih akan tersedia untuk menghidupi masyarakat yang mendiaminya. Bisa jadi disebabkan sifat masyarakat Gayo yang memegang teguh adat istiadat dan menjaga alam untuk dapat diwariskan ke generasi selanjutnya. Dan semoga kita berharap kekayaan alam Gayo dapat bertahan bahkan melebihi 8000 tahun yang akan datang.

Kekayaan alam tersebut bukan hanya terdapat di darat, namun juga di Danau Lut Tawar. Di danau terdebut terdapat ikan endemik yaitu ikan depik yang hanya tersedia di Danau Lut Tawar, dengan beragam cerita rakyat tentang asal usul ikan tersebut. Meski kekayaan Danau Lut Tawar sangat melimpah, tidak serta merta menjadikan masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Mayoritas masyarakat Gayo berprofesi sebagai petani kopi. Menurut penjelasan pak Haris, yang merupakan Manager Operasional pada Koperasi Pengolahan Kopi Baburrayan, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Hampir 70% masyarakat Gayo berprofesi sebagai petani kopi, bahkan petani yang menjadi anggota koperasi ini mencapai 5500 anggota dan terus meningkat jumlahnya.

Alam begitu banyak memberi penghidupan bagi masyarakat Gayo, sudah sepatutnya kita mensyukuri atas kekayaan alam yang dititipkan Tuhan kepada kita. Alam tak meminta banyak hal, dia hanya perlu dijaga kelestariannya sesuai kaedah konservasi. Karena pada dasarnya ketika kita menjaga dan merawat alam, itu sama halnya kita menjaga diri kita sendiri dan generasi yang akan datang. Dan harus kita sadari bersama bahwa alam akan memperlakukan kita sesuai dengan bagaimana kita memperlakukannya. Jika kita terlalu berlebihan mengeksploitasi alam maka dia akan hancur, dan ketika hancur maka kitalah yang akan mengalami kerugian.

*Catatan Keenam Oleh: Muhammad Dila Putra, Khairullah Dalimunte, Meyfriza Syahfira Nasution, Putri Septri, dan Diana Putri.

*Foto: Koleksi BPNB Aceh