Oleh: Cut Zahrina, Dahlia, Fariani, Muhammda Affan, Nasrulhamdani, Sudirman dan Titit Lestari
*merupakan salah satu hasil penelitian “Pemetaan Mesjid-Mesjid Bersejarah di Aceh dan Sumatera Utara” di BPNB Aceh
Mesjid Gunong Kleng terletak di Desa Gunong Kleng Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. Dari pusat kota kecamatan Mesjid ini berjarak sekitar 8 km. Mesjid ini dibangun pada abad XX, belum diketahui secara pasti tahun pembangunannya, mesjid dibangun atas prakarsa swadaya masyarakat secara gotong royong. Mesjid Gunong Kleng merupakan salah satu bangunan Mesjid tradisional yang berkontruksi kayu dan berdenah bujur sangkar.
Atap mesjid terbuat dari bahan seng. Sementara dinding pembatas atap tingkat pertama dan kedua serta listplank terbuat dari bahan kayu berukir kerawang dengan motif hias bunga, bentuk angka delapan, jajaran genjang, dan bunga gantung. Bentuk lengkungan yang terdapat pada listplank menimbulkan kesan nyaman, mengimbangi pola-pola tegak yang tertuang dalam bentuk denah Mesjid dan atapnya. Pada puncak atap bangunan induk terdapat mustaka. Mustaka terbuat dari bahan beton yang semakin meruncing ke bagian atas, dan sebagian ditutup dengan plat kuningan berbentuk pot/vas. Bagian paling bawah mustaka dibatasi oleh plat baja setebal satu centimeter. Atap bagian tengah beranda dilengkapi dengan kubah yang terdapat di atas tumpang dua, menghadirkan perpaduan yang unik antara bentuk limasan pada atap tumpang dan berbentuk lengkungan pada kubah.
Keunikan Mesjid Gunong Kleng terletak pada bagian minaret/menara yang posisinya terletak di sisi kanan atas mihrab. Pada awalnya menara Mesjid berfungsi praktis sebagai sarana untuk menyerukan azan sehingga dapat menjangkau radius yang jauh. Pada awal pembangunan menara sebagai kelengkapan Mesjid timbul pada masa kebangkitan Renaissance Timur yaitu zaman Khalifah Bani Abbasiyyah (750 – 1258 M). Bangunan Mesjid kuno yang menggunakan pola tempo dulu, mulai diperkaya dengan bangunan menara yang merupakan bahagian terpenting dari bangunan sebuah Mesjid. Sebelumnya azan disampaikan oleh Bilal dari bagian atas atap. Namun setelah munculnya menara, panggilan shalat lebih mudah dikumandangkan karena bentuk bangunan yang tinggi sehingga memungkinkan penyampaian suara lebih efektif.
Pada masa itu di Mesir berkembang seni bentuk menara yang indah, langsing, dan menjulang. Lain halnya dengan bentuk menara yang terdapat pada Mesjid Gunong Kleng, pola bangunannya menjulang dan dominan. Unsur ini justru memperlihatkan kesan yang menyatu dan menampilkan keindahan tersendiri sehingga dapat mendukung keberadaan bangunan secara total. Kekhasan Mesjid Gunong Kleng diperkuat oleh hadirnya bentuk limasan yang dipadu dengan kubah. Menara ini berdenah bujur sangkar dengan sisi-sisi terbuka yang hanya dibatasi oleh kayu berukir kerawang dan listplank yang menonjolkan bentuk lengkung dan dimeriahkan oleh bunga-bunga jantung. Pada bagian atas atap limasan denah menara berubah menjadi enam sisi sebelum diakhiri dengan penutup kubah di bagian paling puncak.
Bagian bawah kubah juga dilengkapi dengan listplank berpola lengkung dan berhiasan motif bunga jantung. Menara ini merupakan bagian yang sangat menonjol pada keseluruhan penampilan Mesjid Gunong Kleng. Namun setelah adanya kemajuan teknologi maka fungsi menara lebih terfokus sebagai point of interest (aksen). Muadzin tidak lagi harus mengumandangkan azan dari menara setelah dikenalnya alat pengeras suara yang dapat di pasang di menara. Namun keberadaan menara sebagai pelengkap bangunan Mesjid masih dipandang penting terutama sebagai aksen khas dari bangunan peribadatan umat Islam.
Sumber sejarah Mesjid Gunong Kleng sangat terbatas. Namun dari segi arsitektural bangunan memiliki potensi yang cukup besar sehingga perlu tetap dilestarikan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang. Mesjid Gunong Kleng merupakan salah satu yang dapat mewakili peerkembangan arsitektur Mesjid tradisional dari masa ke masa, terutama pada pemakaian bentuk-bentuk atap seperti atap tumpang dan kubah. Perkembangan arsitektur menutup sifat inovatif maupun akulturatif. Sifat akulturatif ini tercermin pada Mesjid Gunong Kleng yang dibangun dengan arsitektur tradisional yang kental serta dilengkapi dengan motif hias lokal yang tetap mengacu pada ajaran Islam.