Menurut terminologi bahasa Mandailing, itak merupakan sebutan untuk penganan atau kue tradisional berbahan dasar tepung, adapun poul adalah kepal. Jika ditranslasikan ke dalam bahasa Indonesia, maka itak poul poul berarti penganan/kue yang dikepal. Penamaan penganan khas Mandailing (salah satu etnis di Provinsi Sumatera Utara) ini merujuk kepada cara pembuatannya yang menggunakan tangan, dengan cara dikepal, tidak menggunakan cetakan kue sebagaimana lazimnya. Jadi, maksud dari penganan/kue yang dikepal bukanlah penganan/kue yang ada di kepalan tangan, akan tetapi itak poul poul merupakan nama penganan khas dari Mandailing.

Selain memiliki bentuk yang khas, menyerupai bekas jari-jemari kepalan tangan orang dewasa, kekhasan penganan ini juga terletak pada nilai-nilai historis dan filosofis yang terkandung didalamnya.

Dalam tradisi masyarakat Mandailing, penganan ini akan selalu dihadirkan pada saat momen-momen yang dianggap penting oleh masyarakat. Seperti pada saat menjamu tetamu yang datang bersilaturrahim, pada saat menjalankan ritus memasuki rumah baru, saat kelahiran anak, juga pada saat ritual adat pesta perkawinan penganan ini akan menjadi salah satu oleh-oleh/hantaran yang wajib dibawa keluarga mempelai laki-laki pada saat mangalap boru (menjemput pengantin wanita).

Diluar momen-momen penting tersebut penganan ini dahulunya juga biasa dijajakan di pasar-pasar tradisional, juga di beberapa kedai kopi tradisional itak poul poul ini akan selalu terhidang sebagai penganan pendamping secangkir kopi.

Akan tetapi seiring perputaran waktu dan perubahan pada masyarakat Mandailing, penganan ini mulai hilang dan semakin susah untuk ditemukan di pasaran. Pun pada tradisi-tradisi yang biasanya menyajikan penganan ini, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, semakin jarang kita temukan. Hanya pada beberapa masyarakat saja yang masih menunaikan tradisi ini.

Perubahan ini bisa jadi disebabkan oleh berubahnya masyarakat Mandailing pada pola-pola kehidupan yang instan, tidak nyaman atapun tidak suka lagi terhadap sesuatu yang sulit dan berbelit-belit. Kemungkinan juga disebabkan oleh tren jenis-jenis makanan instan yang diproduksi secara massal oleh perusahaan-perusahaan besar, semisal mie instan ataupun roti/biskuit yang menggantikan itak poul poul sebagai pendamping pada saat minum kopi.

Bahan dasar pembuatan itak poul poul sangatlah sederhana, hanya terdiri dari tepung beras, gula aren/merah, kelapa parut, dan garam. Akan tetapi ada makna yang terkandung dalam empat bahan dasar tersebut dan memiliki nilai-nilai filosofis.

Sebagaimana tepung beras yang berwarna putih harus mencerminkan hati yang bersih dari orang yang membuat maupun yang menghantarkan penganan ini pada saat momen-momen penting. Gula aren dengan rasanya yang manis, mengandung makna wajibnya bagi siapa saja untuk menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang harmonis.

Parutan kelapa yang melambangkan simbol kemanfaatan pada masyarakat Mandailing. Buah kelapa yang dihasilkan dari pohon yang tak mengenal musim berbuah. Sepanjang tahun ia akan tetap menghasilkan buah yang bermanfaat bagi siapa saja. Bukan saja buahnya, dari ujung akar sampai ke ujung daunnya sebatang pohon kelapa dapat memberikan manfaat. Begitupun semestinya dengan seorang manusia yang hidup di tengah-tengah komunitasnya.

Kemudian rasa asin yang terkandung didalam garam. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat kita pasti akan berhadapan dengan hal-hal ataupun kejadian-kejadian yang tidak kita inginkan, akan tetapi harus tetap kita hadapi dan rasakan bersama. Sebagaimana asinnya garam yang justru itulah bumbu utama yang menyempurnakan rasa pada setiap masakan, begitupun dengan sesuatu hal atau kejadian yang tidak kita inginkan tersebut, justru itulah yang membuat kehidupan kita lebih bermakna.

Selain bahan dasarnya, cara pembuatan itak poul poul dengan menggunakan kepalan tangan pun memiliki makna filosofis. Kepalan tangan merupakan simbol persatuan dan kekuatan. Bagi masyarakat Mandailing persatuan itu amatlah penting, sebagaimana juga yang tercermin pada sistem kekerabatan dalian na tolu. Pada saat bersatu akan terwujud sebuah kekuatan.

Eksistensi itak poul poul ini harus tetap terjaga dan dilestarikan, bukan karena faktor nilai ekonomisnya. Itak poul poul bisa menjadi salah satu media dalam memperkenalkan budaya Mandailing, juga sebagai sarana dalam menyampaikan pesan dan nilai-nilai filosofis kepada generasi muda. Hanya dengan mengemasnya dalam bentuk kekinian kita pasti bisa mewujudkan hal tersebut.

Penganan khas yang syarat makna filosofis ini telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun 2018 ini. Setelah melewati sejumlah proses persidangan oleh tim ahli pada Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya.

Artikel: Miftah Nasution

Sumber Foto: Internet