Haloban: Minoritas di Pulau Banyak

0
4784
Haloban

Di Kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di Kecamatan Pulau Banyak Barat, terdapat satu kelompok suku yang fenomenal namun jarang sekali terekspos di media massa. Mereka adalah suku Haloban, suku kesembilan yang ada di Aceh. Meskipun tinggal di daerah kepulauan, suku Haloban bukan suku yang terasing. Mereka sudah bersentuhan dengan dunia luar sejak kerajaan di Haloban berdiri sejak akhir abad ke 18, hanya saja mereka adalah kelompok suku minoritas dengan jumlah populasi sekitar 1800 jiwa.

Suku Haloban lahir dari asimilasi 5 suku yang berbeda, yakni Minangkabau, Nias, Simeulue, Batak, dan Mandailing. Kelima suku ini sepakat mendirikan sebuah kerajaan yang berdaulat, dengan meminta seorang bangsawan dari Pagaruyung untuk dijadikan sebagai raja. Cerita asal-usul ini diabadikan dalam bentuk tradisi lisan, yang terus-menerus disampaikan hingga ke generasi saat ini.

Suku Haloban tinggal di dua desa di Kecamatan Pulau Banyak Barat, yakni Desa Haloban dan Desa Asantola. Nama Haloban sendiri diambil dari nama kayu, yakni kayu Alaban, yang memang banyak terdapat di sana. Orang-orang di masa lalu memang memiliki kebiasaan menamai pulau-pulau yang mereka temui dengan hal-hal apapun yang identik dengan pulau itu.

Orang-orang Haloban dalam kesehariannya menggunakan 2 bahasa, yakni bahasa Jamee atau bahasa pesisir sebagai bahasa pasar (lingua franca), dan bahasa Haloban ketika mereka berbicara dengan sesamanya. Tetapi pada umumnya, orang-orang Haloban juga menguasai bahasa daerah lain, seperti bahasa Aceh, bahasa Batak, dan bahasa Nias untuk memudahkan mereka ketika berdagang ke luar pulau.

Orang-orang Haloban sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dengan alat tangkap sederhana seperti pancing, jala,rawai dan sebagainya. Sebagian dari mereka juga melakoni beragam jenis pekerjaan formal, baik di pemerintahan, perusahaan swasta, dan organisasi non pemerintah. Sama seperti kita, orang-orang Haloban sudah tidak asing dengan yang namanya teknologi, internet of thing, dan revolusi industri 4.0. Mereka menguasai keahlian itu secara otodidak. Dalam konteks pendidikan, sudah tidak ada lagi generasi muda yang buta huruf. Sebagian besar dari mereka sudah mengenyam pendidikan dasar 12 tahun, dan hanya beberapa saja yang berhasil menempuh pendidikan hingga ke tingkat strata 1. Keterbatasan akses, biaya, dan kesempatan menjadi penghalang bagi mereka untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Tetapi semangat mereka untuk menjemput masa depan, sama besarnya dengan anak-anak muda yang tinggal di kota.

Artikel & Foto: Dharma Kelana Putra