Penulis : Sudirman, S.S
Irini Dewi Wanti, S.S., M.SP
Iskandar Eko Priyotomo, S.S., M.Hum
Judul : Gerakan Perlawanan Rakyat terhadap Kolonial Belanda
di Aceh Tenggara Tahun 1904
Penerbit : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh (2008)
Halaman : 92 halaman
Berbicara mengenai gerakan perlawanan rakyat terhadap kolonial Belanda di Aceh Tenggara, maka kita akan berbicara mengenai merkea yang berada di Tanah Alas pada masa kolonialisme Belanda tahun 1904. Tanah Alas yang dimaksu d merupakan salah satu wilayah Kabupaten Aceh Tenggara di Provinsi Aceh yang didiami oleh Suku Alas. Daerah in berbatasan dengan Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Karo dan Langkat.
Pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam, Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua orang kejurun, yaitu Kejuruan Batu Mbulen dan Kejuruan Bambel. Kedua kejuruan itu dikukuhkan dengan penetapan Sultan Aceh. pada zaman penjajahan dalam Afdeling Gayo dan Alas. Afdeling tersebut terdiri atas empat onderafdeling, yaitu Takengon, Serbejadi, Gayo Lues dan Tanah Alas. Pada masa sekarang afdeling Takengon masuk dalam Kabupaten Aceh Tengah. Serbejadi dalam Kabupaten Aceh Timur, Gayo Lues dalam Kabupaten Gayo Lues, Tanah Alas dalam Kabupaten Aceh Tenggara.
Kebijakan Belanda Menyerang Tanah Alas
Pembentukan Pasukan Marsose
Pasukan Marsose yanng menurut istilah Belanda “Korps Marechaussee” didirikan oleh Benlanda pada 2 April 1890 atas usulan seorang Kepala Jaksa di Kutaraja keerika itu yang bernama Mohammad Syarif atau Arif. Orang Aceh dan Gayo menyebutnya “marsose, mersose atau masuse”. Pasukan Marsose adalah semacam pasukan istimewa atau pasukan berani mati, pasukan penggempur, pasukan penyerbu atau pasukan kontra gerilya yang dibentuk khusus unutk melawan pasukan Aceh. Pasukan Marsose dibentuk setelah Perang Aceh berlangsung selama 17 tahun.
Dilihat dari pembentukan dan susunan pasukan Marsose, jelas sekali selain intuk kepentingan militer, pasukan ini juga dibentuk dengan unsur politik pecah belah (devide et empera) untuk memecah belah rakyat Indonesia. Seluruh pasukan tersebut adalah orang-orang pribumi terutama dari Ambon, Jawa, Madura, Manado dan juga Nusa Tenggara, hanya komandannya saja orang Belanda. Dengan demikian Belanda sengaja melatih rakyat pribumi untuk menghancurkan perlawanan rakyat Aceh.
Persiapan Penyerangan
Van Heutsz sebagai Gubernur militer dan sipil di Aceh pada bulan Februari tahun 1904 memerintahkan Letnan Kolonel BCE Van Daalen memimpin pasukan Marsose untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas di tengah-tengah pegunungan Aceh. serangan pertama dilancarkan di Gayo Laut, kedua ke Gayo Linge, ketiga ke Gayo Lues dan serangan keempat ke Tanah Alas. Daerah Gayo dan Alas merupakan daerah dan benteng terakhir perlwanan rakyat Aceh yang diserang Belanda dalam perang terbuka. Serangan Belanda ke sana pada tahun 1904 dilancarkan setelah perang Aceh berlangsung selama 31 tahun semenjak pernyataan perang Aceh pada tanggal 26 Maret 1873.
Pada tanggal 9 Februari setelah tiba di Lhokseumawe, pasukan Marsose yang dipimpin Van Daalen berangkat dengan kereta api menuju Bireun. Dari Bireun dengan berjala kaki menuju daerah Alas melalui Takengon dan Gayo Lues. Jumlah selurh pasukan Belanda yang menyerang Gayo dan Alas adalah 348 orang bersenjata lengkap yang terdiri dari pasukan induk Marsose pimpinan Van Daalen dan pasukan mobil dari Kuala Simpang. Selain itu dibantu juga oleh sekitar 1000 orang barisan pemikul barang-barang terdiri dari orang-orang hukuman, pekerja sewaan ditambah dengan ambulan kesehatan dan lainnya.
Pada saat melakukan seranga, Belanda berada dalam posisi yang diuntungkan mengingat kondisi Gayo dan Alas saat itu. Salah satu faktor yang menguntungkan Belanda ialah bahwa selama peperangan yang telah berjalan selama 31 tahun, rakyat dan pejuang-pejuang Gayo dan Alas telah cukup lelah. Pejuang-pejuang Gayo dan Alas seperti yang telah dikemukakan telah ikut serta dalam medan pertempuran di seluruh pesisir Aceh sehingga banyak pemimpin pejuang yang tewas. Banyak juiga senjata dan bahan-bahan perlengkapan perang yang telah hilang atau rusak dan hancur.
Dalam rangkaian kronologis Perang Gayo-Alas tercatat tiga panglima Gayo dan Alas yang terkenal gagah berani, yaitu Panglima Ma Husin dan Panglima Teungku Tapa dan Panglima Teungku Bedussamad (abd. Samad). Sudah selayaknya ketiga tokoh dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh itu dikenang dan dihormati jasa-jasanya.