Mengenal Didong Gayo

0
29978

Oleh: Agung Suryo Setyantoro (Peneliti Pertama pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh)

 *merupakan artikel pada Buletin HABA Edisi 71 yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh

Pengantar

Gayo merupakan salah satu wilayah kebudayaan yang berada di Provinsi Aceh. Sebagai suatu wilayah kebudayaan tentu memiliki warisan budaya yang sampai saat ini masih berkembang di dalamnya. Ketika kita mendekati masyarakatnya, di Gayo perwujudan ekspresi berkesenian masyarakatnya begitu besar. Kesenian yang sifatnya massal maupun perorangan begitu mudah dijumpai.

Orang Gayo kiranya tidaklah demikian kaya dengan variasi perwujudan artistik berupa hasil kebudayaan material, meskipun mereka mengenal seni arsitektur, ukir, relief, hias, perhiasan. Tampaknya mereka lebih banyak memiliki dan menyenangi berupa kesusastraan seperti puisi, teka-teki, perumpamaan, nyanyian, deklamasi (recitation), legenda dan sebagainya. Oleh karena itu rupanya unsur-unsur kesenian dari luar seperti sa’er, drama, nyanyian, lebih cepat masuknya.[1]

Salah satu kesenian yang paling populer di masyarakat Gayo adalah Didong. Kesenian Didong merupakan salah satu jenis seni sastra yang berkembang dalam masyarakat Gayo di Aceh Tengah, disamping beberapa bentuk seni sastra yang lainnya seperti Sa’er (syair/puisi Islami), Kekitiken (teka-teki), Kekeberen (prosa lisan), Melengkan (pidato adat), Sebuku (puisi bertema sedih), dan Guru didong.

Pertunjukan didong sebagai salah satu bagian dari tradisi masyarakat Gayo yang masih berkembang hingga saat ini menjadi sebuah kajian yang menarik ketika didalamnya dapat menjelaskan berbagai makna yang mampu merepresentasikan gambaran masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Gayo. Makna-makna yang terkandung dalam pertunjukan didong dapat ditemukan dalam berbagai bentuk syair yang didendangkan oleh ceh yang menjadi garda depan setiap kelop didong dan juga dari berbagai simbol-simbol yang ada dalam pertunjukan didong.

 

Sejarah Didong

Melihat kepada sejarahnya, didong yang berkembang di Gayo memiliki berbagai versi cerita kemunculannya. Sejarah asal-usul kesenian didong secara pasti belum ada keterangan yang mampu mengungkapkannya. Ada yang berpendapat bahwa umur kesenian ini sama tuanya dengan adanya orang Gayo itu sendiri. Ada juga yang mengatakan bahwa kata didong itu mendekati pengertian kata “dendang” dalam bahasa Indonesia. Arti “dendang” sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah nyanyian ungkapan rasa senang, gembira sambil bekerja atau diiringi bunyi-bunyian.[2]

Salah satu versi yang diyakini masyarakat Gayo di Aceh Tengah, didong berasal dari seni tari dan sastra, dilengkapi dengan beberapa jenis instrumen tradisional, yang dilakukan oleh Sengeda, anak Raja Linge XIII ketika membangunkan Gajah Putih yang merupakan penjelmaan adiknya dari pembaringannya ketika hendak menuju pusat Kerajaan Aceh di Bandar Aceh. Pengikut Sengeda yang mengikuti perjalanan Gajah Putih dari Negeri Linge ke ujung Aceh itu mengalunkan lagu dengan kata “enti dong, enti dong, enti dong” yang artinya jangan berhenti jalan terus. [3]

Sejarah didong mengalami masa jaya dan masa stagnasi, dari periode ke periode. Seiring waktu,  didong mengalami perubahan dan penambahan kreasi yang masuk kedalam kesenian ini, meski sebelumnya atau aslinya tidak ada. Contohnya, penggunaan bantal untuk tepukan. Awalnya didong hanya mengandalkan kekuatan tepukan tangan, tanpa alat bantu. Tapi kemudian tepukan bantal yang kini dipakai dalam didong, dimulai oleh Ceh To’et tahun 1964 di Bintang, dalam sebuah didong jalu. Toet, seniman yang cukup popular dan menasional kaya akan lirik didong dan inovatif. Toet-lah yang memulai penggunaan bantal untuk tepukan pada didong.[4]

Sepanjang sejarah didong, kesenian ini ikut mewarnai sejarah kehidupan orang Gayo sendiri. Awalnya didong digelar dibawah rumah-rumah panggung warga warga Gayo yang di periode awal memang tinggi. Didong memang selalu menampilkan dua kelop dalam sebuah penampilan. Kedua kelop ini saling mengadu ketangkasan kata. Seperti berbalas pantun dalam budaya Melayu. Hanya saja, didong menggunakan bahasa asli Gayo dalam didong jalu. Meski saling menyerang dengan kata-kata, di periode awal didong, kata-kata yang digunakan menyerang lawan dalam perang kata-kata, menggunakan bahasa istilah yang dalam dan kaya makna. Tapi kemudian, dalam didong jalu, perang kata-kata vulgar dan tanpa istilah peribahasa kemudian juga berkembang seiring komersialisasi didong. Kalau kata-katanya tidak kasar dan saling menghina dan menghujat, penonton merasa kurang seru. Mulailah didong saling menghujat dan membuka aib.

Didong juga kemudian dipakai sarana menggalang dana untuk berbagai keperluan umum. Seperti membangun Mersah (Menasah), sekolah, jembatan dan sejumlah kepentingan umum. Dua grup didong bertanding, kepada penonton dikenakan tiket. Uang penjualan tiket dipakai untuk membangun sarana umum.

Sebuah kelop didong bisa mengalami stagnasi atau kevakuman dalam berkarya. Hal ini disebabkan daya tarik kelop didong sudah tidak ada lagi. Daya tarik kelop didong biasanya pada suara ceh dan kepintarannya mengungkapkan sesuatu melalui lirik didong yang dibawakan. Biasanya, jika dalam satu kelop didong ada ceh kucak dengan suara yang merdu dan fasih melantunkan bait-bait didong, maka grup didong ini akan banyak diundang untuk tampil dalam banyak kesempatan

Pada satu periode di masa lalu masyarakat Gayo diikat secara ketat oleh norma-norma adat. Pada waktu itu orang Gayo masih terkotak-kotak dalam klen-klen (belah). Belah itu adalah kesatuan sosial yang merasa berasal dari satu nenek moyang yang masih kenal mengenal dan selalu ada kontak diantara para anggotanya. Pada setiap belah biasanya ada satu grup (kelop) kesenian didong. Pada waktu-waktu tertentu diadakan pertandingan didong antara dua kelop yang berasal dari belah yang berbeda. Keadaan semacam itu masih berlangsung sampai dengan berakhirnya kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda di Gayo.

Pada masa itu didong ditandai oleh apa yang disebut bentuk didong berwajib. Didong semacam ini dapat diartikan bahwa ia tampil harus dengan tema wajib. Pada waktu itu pertandingan didong berlangsung dengan nyanyian berteka-teki. Dalam pertandingan semacam itu satu kelop mendendangkan soal teka-teki kemudian kelop lawan dari belah lain harus mencari jawabannya dengan cara berdendang pula. Demikian seterusnya secara bergantian memberi dan menjawab soal antara dua kelop selama semalam suntuk. [5]

Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pemain didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.[6]

Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang.

Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, masjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong dengan saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.

Beberapa waktu lalu didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.

 

Didong Gayo

Didong juga bisa dinyatakan sebagai salah satu varian dari “nyanyian rakyat” (folksong).  Dengan rumusan sederhana, kesenian didong dapat dinyatakan sebagai konfigurasi ekspresi seni sastra, seni suara, dan seni tari.

Arti harafiah dari kosakata didong tidak begitu jelas. Melalatoa menyebutkan bahwa barangkali didong ada kaitan pengertiannya dengan beberapa kosakata lainnya dalam bahasa gayo, seperti denang atau donang yang maknanya sama dengan “dendang” dalam bahasa Indonesia. Namun didong memuat pengertian yang lebih luas, artinya bukan hanya sekedar berdendang.[7] Mungkin didong bisa dianalisi untuk dinyatakan sebagai suatu bentuk teater, yang biasa disebut sebagai “teater-mula”, atau bisa dikatakan sebagai “teater kehidupan”. Total pergelaran didong berlandaskan suatu sistem ide yang berakar dari tradisi masyarakatnya. Sistem ide itu berupa suatu nilai, norma, dan aturan-aturan yang keseluruhannya menjadi acuan yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya. Barangkali sistem ide ini masih dapat dirinci, sehingga menjadi apa yang disebut “skenario” yang tidak tertulis. Skenario ini diacu oleh para aktor atau pemain-pemain didong untuk bermain improvisasi atau berlaga, baik oleh aktor yang ada di atas pentas maupun aktor di luar pentas. Aktor di luar pentas ini adalah penonton. Perlu dijelaskan bahwa para penonton itu masih dapat digolongkan menjadi dua kelompok, karena mereka adalah para suporter dari dua pihak yang bertanding. Masing-masing kelompok (kelop dan penonton) berasal dari orang-orang dengan latar belakang asal-usul yang sama, biasanya mewakili sebuah klen atau belah di kampung. Penonton ini menjadi pengawal setia bagi kelop unggulan atau pujaannya selama pertandingan yang berlangsung semalam suntuk.[8]

Para aktor itu “berdialog” dengan ragam improvisasi atau akting sepanjang malam gelaran didong itu. Mereka berdialog dengan lantunan lirik-lirik puisi melalui melodi-melodi ciptaan sendiri. Pergelaran didong ini biasa diadakan di tempat atau ruang khusus sebagai pentas, misalnya tempo dulu di ruang luas rumah panggung (umah sara); di atas panggung buatan pada ruang terbuka, misal di halaman, lapangan dan lain-lain. Pentas ini tentunya dilengkapi dengan sarana penerangan, mulai dari yang sederhana seperti api unggun, petromak atau lampu listrik pada masa-masa terakhir ini. Keseluruhan pemain dilengkapi dengan bantal kecil (kampas) sebagai alas tepukan-tepukan tangan yang menjadi ritme bagi melodi dalam kesenian ini. Anggota satu kelop terkadang memakai baju seragam yang biasa disebut sebagai baju-kelop, sedangkan aktor utamanya biasanya memakai atribut tambahan berupa syal yang dililitkan di leher dan ada yang memakai kopiah. Perlengkapan lain adalah canang yang ditabuh juri sebagai isyarat dimulai atau berkahirnya satu ronde pertandingan.

Di antara sejumlah unsur seni bertutur yang terangkum dalam seni Didong adalah: Kekitiken/Ure-ure (seni berteka-teki). Yaitu seni dalam berteka-teki yang biasanya dilakukan oleh anak-anak menjelang tidur. Dari segi bahasa dan kalimat yang digunakan dalam teka-teki ini lebih mementingkan tata bunyi dan irama dengan pola persajakan a-b a-b. Seni berteka-teki ini merupakan bentuk puisi Gayo yang telah cukup tua.

Kekeberen (prosa lisan). Kekeberen adalah salah satu bentuk prosa yang disampaikan secara lisan yang mendapat tempat luas dalam masyarakat Gayo di masa silam. Seperti halnya dengan Didong, prosa ini biasanya dituturkan pada malam hari menjelang tidur. Si pencerita mungkin seorang nenek kepada cucunya atau oleh orang senior lainnya. Di antara tema-tema itu adalah tentang cinta, patuh kepada orang tua, akal bulus, ketauladanan dan lain sebagainya.

Melengkan (seni pidato adat). Yaitu pidato-pidato adat dalam berbagai kesempatan upacara, masyarakat Gayo melahirkan rasa seninya dalam bentuk kata-kata puitis. Pidato adat ini dilakukan secara berbalas-balasan dan oleh pendengarnya dapat dirasakan kalah atau menang.

Sebuku (seni meratap). Pengungkapan perasaan yang terjalin dalam puisi-puisi tertentu yang umumnya hanya dilakukan oleh kaum wanita. Isi dari puisi sebuku biasanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat sedih (elegi).[9]

Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok (Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah, keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya terdiri dari anggota masyarakat yang memahami didong ini secara mendalam.

Para peserta dari masing-masing kelop berjumlah sekitar 30 aktor. Mereka terbagi atas dua kategori utama, yaitu ceh dan penunung atau penyur (pengiring). Seorang yang bisa disebut ceh harus memenuhi syarat. Modal utamanya adalah suara merdu (ling temas). Suara merdu saja tidak cukup, ia pun harus punya kemampuan menciptakan lirik atau puisi (kekata) sendiri, yang akan ditembangkan dengan model melodi ciptaan sendiri tadi. Ia harus punya pengetahuan yang luas perihal latar belakang adat istiadat (edet) masyarakatnya dengan segala perkembangan atau perubahan yang terjadi dan juga pengetahuan tentang lingkungan lain yang lebih luas. Pengetahuan luas ini harus berimbang dengan kekayaan perbendaharaan kata, ungkapan, simbol-simbol pikiran, sehingga lahirlah lirik-lirik indah dengan bobot pesan yang dalam, tajam, aktual, tapi juga ajek. Karya dengan bobotnya yang ajek itu berarti sebuah lirik menyimpan pandangan yang menjadi bahan renungan bahkan menjadi acuan dalam kehidupan masyarakatnya.

Dalam sistem pertandingan didong itu sendiri, seorang ceh juga dituntut memiliki kemampuan mencipta lirik-lirik yang diciptakan secara spontan (munapak), suatu hasil improvisasi dan kreativitas di tengah arena pertandingan yang tengah berlangsung. Lirik-lirik spontan dan mendadak adalah kemampuan luar biasa yang terlahir oleh sistem pertandingan didong itu, yang tidak sembarangan orang (ceh) memilikinya. Di sinilah hasil ekspresi pikir dan rasa terjelma. Kemampuan ini akan dinilai oleh penonton dan terlebih lagi oleh para juri yang akan memberi kata keputusan “menang atau kalah” pada akhir pertandingan di pagi hari.[10]

Dalam setiap kelop biasanya punya dua sampai tiga “pasang” ceh yang tampil berduet atau kadang-kadang trio. Jarang sekali ceh bersenandung sendiri (solo) kecuali dalam menyenandungkan melodi untuk lirik sebuah ratapan (sebuku). Salah satu dari ceh itu adalah ceh utama atau aktor utama (ceh kul, kul=besar), sedangkan pasangannya atau partner dalam berduet atau trio itu disebut apit.  Pasangan (duet atau trio) lainnya biasa disebut ceh due (due=dua) atau aktor pembantu yang dalam pertandingan berperan membantu ceh kul dalam menghadapi serangan atau menyerang lawan tanding. Ceh kul memiliki suara termerdu dibanding ceh lain dalam sebuah kelop, pencipta melodi dan lirik terbaik, menjadi pemikir, penyusun strategi untuk merebut simpati penonton, serta menjaga semangat “juang” para pengiringnya. Sebuah kelop berjaya atau kalah dalam setiap malam pertandingan lebih banyak ditentukan oleh kebolehan ceh kul.

Seorang ceh didong di tanoh Gayo, selain mampu menciptakan lirik didong (puisi), juga harus memiliki suara yang bagus, dan mampu membawakan lirik-lirik tadi (menjadi vokalis didong). Namun, dewasa ini banyak ceh yang tidak memenuhi syarat. Lebih banyak ceh-ceh-han. Umumnya ceh sekarang, hanya mampu membawakan lirikan didong. Itu pun karya ceh lain, yang sudah kerap dibawakan dalam didong, atau lagu. Belum lagi, suara-nya yang pas-pasan. Ceh yang ada sekarang cenderung memaksakan diri, asal disebut ceh. Banyak ceh tidak lagi mampu mencipta, terlebih lagi dengan kandungan nilai-nilai, dan filsafat sastra Gayo yang tinggi. Salah seorang ceh didong, Latif, menyebutkan, “Enti mu lelang empus si nge lapang”, yang artinya, jangan membersihkan rerumputan (yang ada di) kebun yang sudah lapang. Sebaliknya, harus mampu menciptakan karya sendiri, tidak plagiat, dan tidak mengklaim karya orang lain jadi milik sendiri.[11]

Aktor lain terdiri atas puluhan pengiring (penunung) yang duduk melingkar bersama para ceh tadi. Mereka mengiringi permainan dengan kreasi dan variasi tepuk tangan (tepok) dan variasi gerak tubuh yang serasi, berfungsi sebagai ritme bagi melodi yang tengah mengantar lirik pesan, kritik, petuah, dalam beragam tampilan emosi. Diantara pengiring itu ada satu atau dua yang berperan memberi arah, mengatur variasi gerak yang diperlukan lewat komando suara tepukan atau isyarat bagian tubuh lainnya. Dalam satu malam pertandingan, satu kelop menembangkan tidak kurang dari tiga puluhan melodi (sintak) pengantar lirik yang bermuatan rasa indah, humor, duka, luka geram, sinis, syahdu dan sebagainya. Suasana itu dipoles dengan suasana warna gerak yang serasi oleh para pengiring, sehingga penghantaran dan penyajiannya menjadi hidup dan pas, sekaligus mengusir kantuk para penonton selama semalam suntuk itu.

Penonton sendiri, yang berada di luar pentas, sepatutnya dinyatakan sebagai “aktor”. Betapa tidak, salah satu kelop yang berlaga itu adalah para seniman yang akan menimbulkan rasa bahagia atau rasa terpuruk pada diri penonton karena latar belakang kelompok (belah/klen, komunitas) yang sama. Pertandingan didong adalah pertarungan mempertaruhkan “harga diri” atau “rasa malu” kelompok. Kekalahan atau kemenangan sebuah kelop adalah kekalahan atau kemenangan sebuah kampung atau komunitasnya. Suporter terkadang menaburkan rokok ke tengah arena karena simpati kepada ceh yang menembangkan lagu indah dengan liriknya yang mengena. Pernah pula seorang penonton masuk ke arena mengekspresikan kegembiraan dan dukungannya kepada kelop pujaannya yang tengah bermain.

Diseputaran pentas ada unsur juri dan para penonton. Biasanya para juri adalah orang yang mengerti adat atau mantan ceh yang telah banyak makan asam garamnya kesenian didong. Tempat duduk penonton pria dan wanita biasanya terpisah ditandai batas tertentu.

Pertarungan kedua kelop dinilai oleh tiga orang juri dan satu orang pengamat. Kriteria dari penilaian pertandingan didong Gayo dibagi dalam tiga parameter. Parameter-parameter tersebut seperti kekata (lirik), sintak (lagu) dan penampilan serta improvisasi. Poin-poin yang menjadi amatan juri untuk parameter kekata (lirik), yaitu harus berbobot interaktif, simultan, tajam, mengena, bijak & simpatik, lemah lembut & tidak kasar. Sementara untuk parameter sitak (lagu) yang menjadi syarat adalah irama tradisional Gayo, merdu, memukau, suara indah, spesifik, gempar, serak basah (parau/payo), sedangkan untuk parameter terakhir yang dinilai adalah penampilan dan improvisasi, disini para pemain didong harus kompak/kelop gerakan ritmis, beden-beden, kertek jemari, tingkah tepok, tepok rucang dan kostum.

Pertandingan didong jalu biasa dimulai sekitar pukul 21.00 dan berakhir sekitar pukul 05.00 beberapa saat sebelum tiba waktu salat subuh. Selama itu masing-masing kelop tampil dalam tempo 30 menit untuk setiap ronde dan terus bergilir bergantian hingga subuh tiba. Ronde awal atau ronde pertama bagi masing-masing kelop biasanya tampil dengan lirik-lirik menyampaikan salam (persalaman) kepada semua pihak yang hadir (si kut patut, si layak laku), yaitu kepada orang-orang terpandang dan terhormat, kepada para penonton tua muda, dan juga kepada lawan tanding. Masing-masing kelop memperkenalkan diri dengan lirik-lirik santun dan rendah hati.

Tidak jarang pada ronde pertama, terutama pada akhir ronde itu, lirik yang di senandungkan sudah mulai menyentil lawan secara halus. Pernyataan itu ditujukan terutama kepada lawan tanding beserta simpatisannya. Dalam bait-bait yang menyentil itu tersirat suatu pernyataan tentang siapa lawan yang dihadapi pada malam itu, apakah kelas kakap, atau sekedar “ayam sayur”. Dengan demikian akan jelas pula pengaturan strategi menghadapi lawan dalam gelar tanding malam itu.

Ronde kedua dan berikutnya mulai dengan langkah-langkah penaklukan lawan lewat tembang puisi pilihan yang sesuai dengan kondisi atau kualitas serangan lawan. Puncak dari pertandingan seni didong ini biasanya mulai tengah malam sekitar pukul 24.00 atau pukul satu dinihari. Seterusnya para penonton dan bahkan kelop yang bertanding sudah mulai merasakan kelop mana akan unggul atau lemah (bayuh).

Anti klimaksnya tiba pada ronde paling akhir atau penutup yang disebut ronde gabung. Pada ronde ini keseluruhan anggota kedua kelop bergabung menjadi satu masing-masing kelop membawakan satu atau dua lagu. Isinya merupakan pernyataan penyesalan, permintaan maaf kepada lawan tandingnya, karena sejak awal telah bersikap tak senonoh atau tidak pada tempatnya, dengan mendendangkan kata-kata yang melukai hati lawannya. Melodi yang muncul dalam ronde gabung umumnya bernada sendu atau melankolis.[12]

Tidak jarang pula group atau kelop yang merasa kalah dari keseluruhan pertandingan, baik dari segi kecerdasan syair-syair maupun dari kelembutan suara dan kekompakan anggota dalam ber-didong, sang ceh dengan sportif mengakui kekalahannya. Bagi kelop yang menurut penilaian juri dan pengamatan penonton lebih unggul, dengan santun juga rendah hati menerimanya.

Penutup

Didong merupakan salah satu kesenian yang pada saat ini masih terjaga kelestariannya pada masyarakat Gayo. Kesenian ini biasa dipertunjukkan dalam acara pernikahan, upacara penyambutan tamu-tamu baik kedinasan maupun non-kedinasan, dan juga dalam pentas-pentas seni dan budaya di Dataran Tinggi Gayo. Selain murni sebagai media hiburan, kesenian didong juga memiliki fungsi beragam. Didong bisa digunakan sebagai media dakwah, media sosialisasi program pemerintah hingga program sosial pendukung pembangunan.

Didong Gayo sebagai representasi berkesenian masyarakat Gayo merupakan ekpresi kebudayaan yang memberikan gambaran kehidupan masyarakatnya. Kesenian ini mencerminkan sejarah budaya masyarakat pendukungnya. Dilihat dari proses perjalanan kesenian ini, didong memberikan harapan adanya keberlangsungan kebudayaan Gayo tentunya dengan adanya inovasi-inovasi.

Endnote:

[1] MJ. Melalatoa, 1980. “Pelukisan Singkat Unsur-Unsur Keseian Gayo”,  dalam M. Affan Hasan dkk, Kesenian Gayo dan Perkembangannya. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 40.

[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002.  Kamus Besar bahasa Indonesia, Edisi Ketiga . Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 251.

[3] Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan, 2005.  Syariat dan Adat Istiadat Jilid 3. Takengon: Yayasan Maqaammahmuda. Hlm. 232.

[4] Win Ruhdi Bathin, “Didong Dimulai Sejak Jaman Reje Linge XIII” dalam

http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/21/didong-dimulai-sejak-jaman-reje-linge-xiii/ (akses: 4 April 2010).

[5] MJ. Melalatoa, 1981/1982. Didong, Kesenian Tradisional Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 34.

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Didong (akses: 2  Februari 2010)

[7] M. Junus Melalatoa, 2001. Didong Pentas Kreativitas Gayo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm.. 9.

[8] Ibid., hlm.10.

[9] Salman Yoga S., “Didong Media Transformasi Masyarakat Gayo” dalam http://www.lovegayo.com/?p=399 (akses : 11 Nopember 2010)

[10] M. Junus Melalatoa, op.cit., hlm. 11-13.

[11] Yusradi Usman al-Gayoni, “Misi Kemanusiaan Didong” dalam www.gayolinge.com (akses: 11 Desember 2009)

[12] M. Junus Melalatoa, op.cit., hlm.. 16 – 22.