Bungong Jeumpa

0
120624

Oleh ESSI HERMALIZA, M. Pd

Ketika mendengar “Bungong Jeumpa” setiap orang akan  mengingat Aceh. Kemegahan Lagu Bungong Jeumpa seolah telah tersebar hingga ke pelosok negeri, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di mancanegara. Berikut sepenggal lirik lagu yang sangat populer itu, namun kadang keliru dilafalkan:

Bungong Jeumpa Bungong Jeumpa

Meugah di Aceh

Bungong teuleubeh teuleubeh

Indah lagoina

Puteh kuneng meujampu mirah

Bungong si-ula si-ula

Lam sinar buleun  lam sinar buleun
angen peu ayon
Luroh meususon  meususon yang mala mala

mangat that meubee meunyo tatem com

Leupah that harom si bungong Jeumpa

 

Bungong Jeumpa adalah bunga kebanggaan masyarakat Aceh. Di luar Aceh, bunga ini dikenal dengan sebutan Bunga Kantil. Dahulu Jeumpa tumbuh liar di Bumi Serambi Mekkah karena Jeumpa memang tumbuhan endemik yang tumbuh subur dengan sendirinya tanpa ditanam terlebih dahulu. Pohon-pohonnya yang tinggi dan besar mampu menyangga dahan dan ranting dengan bunga yang cukup banyak sehingga mengeluarkan keharuman yang khas di Aceh.

Ironinya, saat ini pertumbuhan Jeumpa semakin langka, semakin sulit ditemukan. Tak salah jika banyak generasi muda bertanya, “yang mana bunga Jeumpa itu?”; “seperti apa bunga Jeumpa itu?”

Faktanya, jeumpa lebih dari sekedar bunga yang indah karena keberadaannya telah mempengaruhi banyak hal dalam kebudayaan Aceh, mulai dari upacara tradisi hingga  ukiran pada bangunan, jeumpa turut memberi nilai estetika.

Jeumpa  Sebagai Pelengkap Tradisi

 Orang Aceh sering menggunakan Jeumpa untuk berbagai kepentingan. Warnanya yang menarik; kuning, hijau, dan kemerahan menjadi alasan selain karena disyaratkan berdasarkan aromanya yang khas dan tidak dimiliki bunga lain. Dalam tradisi masyarakat Aceh, Jeumpa dijadikan simbol keindahan. Kita sering mendapatkan Jeumpa dijadikan bagian dari kelengkapan upacara tradisi karena keharumannya. Dalam upacara perkawinan, kuncup Jeumpa dijadikan hiasan kepala dara baro (pengantin). Seiring perubahan masa di mana Jempa semakin sulit ditemukan, maka posisi Jempa digantikan oleh kuncup melati.

Selain itu Jeumpa juga dijadikan campuran pada air di dalam mundam dalam upacara manoe pucok, tradisi memandikan mempelai perempuan menjelang hari ijab-kabul pernikahannya. Kelopak-kelopak Jeumpa dilepaskan dari tangkainya dicampurkan dengan aneka bunga berwarna-warni lainnya ke dalam mundam. Khususnya di Aceh Selatan, Jeumpa dijadikan bahan campuran wewangian untuk prosesi mandi balimau menjelang Ramadhan dan Hari Raya Ied baik Idul Fitri maupun Idul Adha, Bagi masyarakat Aneuk Jamee, mandi balimau dianggap sangat penting untuk menyambut hari-hari istimewa itu. Tradisi ini telah ada sejak masyarakat belum mengenal shampoo. Mandi Balimau diartikan sebagai prosesi mandi wajib untik membersihkan diri dari hadas besar dan kecil untuk melaksanakan ibadah. Dalam hal itu, mereka keramas dengan menggunakan campuran limau kaco (jeruk limau kasturi seukuran ujung jempol) ditambahkan dengan kelopak Jeumpa yang telah mekar.

Lain dari itu, Jeumpa dijadikan campuran wewangian air untuk ziarah makam. Dalam tradisi masyarakat Aceh, ziarah makam diikuti dengan menyiram makam sebanyak tiga kali dari ujung kepala ke ujung kaki dengan menggunakan air yang telah dicampurkan dengan bunga-bunga yang harum, salah satunya adalah Jeumpa, ditambahkan mawar, melati, seulanga, dan bunga lainnya yang tersedia.

Menurut beberapa sumber ilmiah, di Aceh juga pernah ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Jeumpa lokasinya berada di wilayah administratif Kabupaten Bireun sekarang. Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah kerajaan abad ke-8 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai ke timur dari Pante Krueng Peusangan. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur besar, yang dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk”.

 Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah. Datanglah pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad ke VIII Masehi dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya diberi nama Kerajaan Jeumpa.

 Dari sinilah Islam masuk ke Aceh melalui jalur perdagangan. penyebaran syiar Islam dimulai dan disebar di Nusantara.

Jeumpa  Sebagai Ragam Hias

Kebanggaan terhadap Bungong Jeumpa ditunjukkan melalui ragam hias. Di Aceh Besar, pengrajin songket menggunakan bentuk jeumpa yang telah mekar sebagai salah satu motif yang diterapkan dalam tenunan songket.

Jeumpa juga menginspirasi para utoh (orang yang mengerjakan rumah tradisional Aceh) dalam mengerjakan detail interior dan eksterior Rumoh Aceh. Umumnya pada bagian bawah atap diberikan hiasan berupa ukiran dengan ragam hias khas Aceh, salah satunya berbentuk motif Bungong Jeumpa yang hampir mekar. Pada bagian bawah dinding luar, juga sering kali digunakan motif tersebut guna untuk memperindah rumah. Berbagai motif hasil kreasi para utoh memberi nilai tersendiri pada rumah yang dibangunnya. Sekarang hiasan seperti itu juga digunakan pada rumah modern dengan penyesuaian bentuk yang tepat untuk rumah atau gedungnya.

 Selain ornamen rumah dan gedung, jeumpa juga menjadi bagian dari bangunan monumental. Tidak jarang pemerintah membuat tugu-tugu dengan motif Jeumpa. Contohnya pintu gerbang kawasan kampus di Darussalam Kota Banda Aceh, pada bagian atas digunakan ornamen berbentuk kuncup juempa tiga tingkat yang akan merekah. Ornamen tersebut merupakan simbol atas keberadaan Darussalam sebagai pusat pendidikan di Aceh. Di sana berdiri dua Perguruan Tinggi Negeri kebanggaan rakyat Aceh; Universitas Syiah Kuala dan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

 Jeumpa yang harum merupakan sebuah filosofi atas penghargaan masyarakat. Mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di dua universitas tersebut diibaratkan sebagai benih Jeumpa yang nantinya diharapkan dapat mengharumkan nama Aceh ke tingkat nasional maupun mancanegara.

 Demikian Jeumpa memberi pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Keharumannya selamanya akan terkenang. Secara filosofis ia menjelma dalam kehidupan untuk mengharumkan akhlak ureung Aceh agar menjadi figur manusia yang pantas dikenang.