Soempah Pemoeda

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

 

Demikian tiga sumpah yang diikrarkan para pemuda saat penutupan Kongres Pemuda II, pada tanggal 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesische Clubgebouw (Gedung Museum Sumpah Pemuda sekarang, di Jl. Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat). Kongres yang digelar selama dua hari, sejak tanggal 27 s.d. 28 Oktober 1928, di dua tempat berbeda yakni: di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Gedung Pemuda Katolik), Waterlooplein (Lapangan Banteng) pada tanggal 27 Oktober; dan di Gedung Oost Java Bioscoop (Jl. Medan Merdeka Utara No. 14, sekarang) pada tanggal 28 Oktober.

Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda (awal munculnya ide dan konsep Indonesia) merupakan lanjutan dari Kongres Pemuda I yang telah terlaksana dua tahun sebelumnya, pada tanggal 30 April s.d. 02 Mei 1926 di Batavia (Jakarta).

Sudah banyak hasil-hasil tulisan yang menceritakan tentang momentum bersejarah ini, yang didasarkan pada sumber-sumber sejarah yang ada. Namun, walau demikian, tetap saja ada sisi-sisi sejarah yang terluput, sengaja atau tidak disengaja. Dan hal ini adalah lazim terjadi.

Pada kesempatan kali ini, pada peringatan ke-91 tahun Sumpah Pemuda, ada satu sisi sejarah yang ingin kita ungkapkan Sahabat Budaya. Selain sebagai sebuah bentuk keikutsertaan dalam memperingati momentum penting, juga sebagai penambah wawasan dan khasanah sejarah kebangsaan kita.

Tahukah Sahabat Budaya, siapa yang mengusulkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia yang sekaligus dijadikan sebagai Bahasa Pemersatu? Untuk pertama kalinya? Beliau adalah Sanusi Pane, pemuda (masa itu) kelahiran Muara Sipongi (suatu daerah di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara) tanggal 14 November 1905. Beliau merupakan saudara dari Armijn Pane yang merupakan pelopor Angkatan Pujangga Baru dalam dunia sastra Indonesia, dan Lafran Pane pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang juga telah ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional pada tanggal 06 November 2017 yang lalu berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017.

Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya, Pane bersaudara (Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Lafran Pane) merupakan anak dari Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru sekaligus sastrawan besar pada masanya, lulusan Kweekschool Padangsidempuan. Belajar bahasa dan mengenal sastra lewat buku-buku karangan Willem Iskander (pendiri Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tano Bato—cikal-bakal Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidempuan).

Sanusi Pane yang merupakan perwakilan dari Jong Soematranen Bond, pertama kali mengusulkan agar Bahasa Melayu dapat ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia, bahasa pemersatu dalam keseharian dan pergerakan kebangsaan, pada saat Kongres Pemuda I pada tahun 1926. Namun, dikarenakan perdebatan yang terjadi di dalam kongres tersebut, usul beliau tidak terakomodir. Baru pada Kongres Pemuda II, tanggal 27 s.d. 28 Oktober 1928, usulan beliau diakomodir dan ditetapkanlah Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia, bahasa pemersatu Bangsa yang terdiri dari ribuan suku-bangsa serta bahasa.

Dan, menariknya Sahabat Budaya, pada ikrar ketiga yang berbunyi: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”, kata yang digunakan adalah “menjunjung”, bukan “mengaku” sebagaimana yang terdapat pada ikrar pertama dan kedua. Kenapa Sahabat Budaya? Karena kita meletakkan Bahasa Indonesia hanya sebagai bahasa pemersatu tanpa menghilangkan Bahasa Ibu/daerah. Menyampaikan ide-ide serta cita-cita kebangsaan pada masa itu hingga saat ini dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Sebuah bentuk implementasi slogan Bineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun kita tetap satu dan saling memahami melalui cara Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia!

Selamat memperingati Ke-91 Tahun Hari Sumpah Pemuda!

Miftah Nasution