Oleh: M. Ali Surakhman*
13 tahun lepas, Uli Kozok, doktor filologi asal Jerman, mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia. Lewat temuan sebuah naskah Malayu Kuno di Tanjung Tanah di Mendapo Seleman (terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci, 2002), ia membantah sejumlah pendapat yang telah menjadi pengetahuan umum selama ini.
Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di Nusantara yang dimulai abad ke-14.
“Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau’ Islam.
Berdasar uji radio karbon di Wellington, Inggris, naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat), antara 1345 hingga 1377. Naskah itu dibuat dalam masa Kerajaan Dharmasraya yang ketika itu berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu, Kozok menyimpulkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan sampai sekarang.
“Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam. Ada pula yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia. Nah, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh,” ujar Kozok dilansir Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya, pengujung Desember 2007.
Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno.
Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di Jawa, yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.
Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.
“Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu lebih awal ada di Sumatera daripada di Jawa”, katanya.
Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang itu dikirimkan kepada Raja-Raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.
Pendapat keempat, dengan ditemukannya “Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah”, membuka “jalan” baru bagi terkuaknya tabir sejarah mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan bahwa Kerajaan Malayu beribukota Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah Kerinci yang dipimpin Raja.
“Meski begitu saya yakin kekuasaan Suruaso dan Dharmasraya terhadap Kerinci hanya secara ‘de jure’ (hukum-red) dan bukan ‘de facto’ (kekuasaan), sebab Kerinci waktu itu tetap memiliki kedaulatannya sendiri, hubungannya lebih kepada perekonomian karena Kerinci penghasil emas dan pertanian”, ungkap Kozok.
Ringkasnya, merujuk pendapat Uli Kozok dalam bukunya, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang Tertua (Yayasan Naskah Nusantara dan Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2006) atau edisi bahasa Inggris “The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript” (Cambridge: St Catharine’s College and the University Press: 2004), yaitu diuraikan kemungkinan bahwa naskah Tanjung Tanah merupakan naskah Melayu yang tertua karena empat hal berikut ini:
Pertama, di dalam teks naskah Undang-Undang Tanjung Tanah tidak terdapat kata serapan dari bahasa Arab sehingga dapat disimpulkan bahwa naskah tersebut berasal dari zaman pra-Islam. Penanggalan ini tentu sangat relatif apalagi mengingat betapa sedikit kita ketahui tentang masuknya agama Islam ke pedalaman Jambi.
Namun demikian, sebuah naskah yang terdiri dari teks Undang-undang dan tidak mengandung kata serapan Arab dapat dipastikan melebihi umur 300 tahun karena bahkan naskah yang dari abad ke-16 sudah padat dengan kata serapan dari bahasa Arab. Malahan, menurut pendapat Johns, “tidak ada karya sastra yang lebih tua dari abad kelima belas, dan tidak ada satu pun naskah yang tidak mengandung kata serapan dari bahasa Arab, dan yang tidak ditulis dengan huruf Jawi” (Johns, 1963).
Kedua, Maharaja Dharmasraya dua kali disebut dalam naskah Tanjung Tanah sementara kerajaan Dharmasraya hanya disebut pada sumber-sumber sejarah dari abad ke-13 dan ke-14. Hal tersebut merupakan petunjuk kuat bahwa naskah itu ditulis sebelum abad ke-15.
Ketiga, sebagian besar naskah ditulis dalam bahasa Melayu namun terdapat juga kata pengantar serta penutup yang berbahasa Sansekerta, yang memuja Maharaja Dharmasraya. Hal itu sangat berbeda dengan konvensi yang mana biasa terdapat pada teks yang berasal dari zaman Islam.
Keempat, pada naskah Tanjung Tanah, selain teks beraksara pasca-Palawa, terdapat satu lagi teks yang beraksara surat incung. Jenis aksara yang digunakan di sini jelas lebih tua daripada semua naskah Kerinci yang selama ini diketahui.
Kelima, naskah Tanjung Tanah tertanggal dengan menggunakan tahun Saka namun tahunnya tidak terbaca. Penggunaan tahun Saka dan bukan tahun Hijrah jelas menunjukkan bahwa naskah berasal dari zaman pra-Islam.
Petrus Voorhoeve
Antara tahun 1999 dan 2004 Uli Kozok beberapa kali mengunjungi Kerinci untuk melanjutkan penelitian mengenai paleografi aksara surat di Sumatra sesudah menyelesaikan bagian pertama dari penelitian tersebut dengan menerbitkan buku yang membahas surat Batak.
Tepat pada Juli 2002, Uli Kozok menemukan naskah daluang di tangan salah seorang penduduk di Tanjung Tanah, Mendapo Seleman (terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci), dan masih disimpan sampai sekarang oleh pemiliknya serta tidak diganggu oleh perang, revolusi, kobaran api, atau gempa bumi, persis seperti diceritakan oleh Petrus Voorhoeve, pegawai bahasa Zaman Kolonial Belanda pada 1941, yang pertama kali menjumpai naskah tersebut.
Oleh Voorhoeve, naskah Tanjung Tanah dicatat sebagai salah satu daftar naskah kuno Kerinci berkategorikan tambo Kerinci dan disimpan di perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Taal, Land, en Volkenkunde (KILV) di Leiden, Belanda.
Hanya saja foto naskah yang terdapat di perpustakaan tersebut kurang baik. Voorhoeve pun menuliskan laporan tentang naskah yang disebutnya sebagian beraksara rencong, dan halaman lainnya beraksara Jawa Kuno. Namun laporan Voorhoeve tidak sampai pada kesimpulan, sebagaimana penemuan Uli Kozok (lihat Perus Voorhoeve, Tambo Kerinci, In Stukken uit Kerintji / verzameld door P. Voorhoeve. Leiden: KITLV Library, (1941).
Secara bahan, merujuk hasil penelitian Tokyo Restoration & Conservation Center, Oktober 2004, yaitu menunjukan bahannya adalah daluang (Broussonetia papyrifera (L.) L’Hér. ex Vent). Daluang, juga disebut dluwang atau daluwang, merupakan salah satu bahan yang telah digunakan sejak dahulu sebagai kain (tapa) atau sebagai bahan tulis.
Pemeriksaan mikroskop juga membuktikan bahwa naskah Undang-Undang Tanjung Tanah tidak diolesi dengan kanji, dan pada seratnya masih terdapat pektin serta hemiselulose. Biasanya serat kayu yang utuh selalu dibalut oleh serat larut pektin dan hemiselulose.
Pada proses pemurnian kulit kayu daluang untuk digunakan menjadi bahan tulis, kadar kedua hidrat arang biasanya menyusut sehingga tinggal serat murni. Adanya kadar pektin serta hemiselulose dalam sampel naskah Tanjung Tanah menjadi indikator bahwa proses pembuatan naskah termasuk sederhana.
Di samping itu, permukaan daluang Tanjung Tanah juga termasuk kasar dibandingkan dengan naskah daluang lainnya yang diperiksa sebagai bahan pembandingnya (lihat Teygeler, René, (1995), Dluwang, van bast tot boek, Den Haag: Koninklijke Bibliotheek).
*Penulis adalah Pemerhati Budaya Kerinci, Jambi