Siti Roehana Koedoes (1884-1972): Ibu Pers, Pendidikan, dan Pelopor Emansipasi Perempuan Melayu

0
3191

Oleh: Hendri Purnomo (BPNB Tanjungpinang)

Jika di Jawa punya Kartini sebagai pendekar wanita yang paling kondang, kaum perempuan di Sumatra juga punya idola yang tidak kalah harum namanya: Siti Roehana Koedoes. Kartini tidak sendiri lagi. Dari ranah Melayu, Roehana mengiringi perjuangan yang dirintis Kartini. Sejarah telah mencatat, Kartini melegenda berkat jasa baktinya memperjuangkan kaum perempuan, demikian pula Roehana. Kedua srikandi Indonesia itu menempuh jalan pendidikan demi mengentaskan perempuan dari pembodohan dan penindasan.

Sama yang dialami Kartini, cita-cita Roehana menemui jalan terjal karena desakan adat yang tak jarang menganggap rendah dalam memposisikan perempuan. Gugatan sentiasa merintangi misi Roehana, baik kecaman yang datang dari kalangan agamawan maupun pemuka masyarakat, terutama mereka yang berpikiran sempit dan anti kemajuan. “Tak ada pengorbanan suci yang sia-sia,” demikian Roehana meneguhkan hati.

Siti Roehana lahir pada 20 Desember 1884, di Kotogadang, Sumatra Barat. Roehana berasal dari keluarga terpandang, dari salah satu jalur matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato. Ayah Roehana, Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, bekerja sebagai seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan yang termasuk berkelas pada masa itu. Ayah Roehana pernah mendapat penghargaan dari Kerajaan Belanda.

Semenjak kecil, Roehana sudah sering berpindah-pindah rumah, mengikuti tempat tugas ayahnya. Mulai dari Alahan Panjang, Padang Panjang, Simpang Tonang Talu (Pasaman), Jambi, kembali ke Padang Panjang, balik lagi ke Jambi, dan kemudian ke Medan. Ketika ibunya meninggal, Roehana kembali ke Kotogadang untuk mengasuh adik-adiknya.

Berkat bimbingan sang ayah, Roehana dengan cepat menguasai ilmu-ilmu baru. Sang ayah mendidik Roehana dengan memberi surat kabar dan memesan buku, bahkan sampai dari Singapura, dengan aksara Latin, Arab, maupun Melayu, untuk dibaca Roehana. Roehana tidak pernah merasakan sekolah formal, karena harus hidup nomaden mengikuti sang ayah dan harus menjaga adik-adiknya. Jadilah Rasjad berperan sebagai ayah sekaligus guru bagi putri-putrinya, termasuk Roehana.

Ketika mengikuti ayahnya bertugas di Alahan Panjang, pengetahuan yang didapat Roehana bertambah lengkap. Keluarga Roehana bertetangga baik dengan seorang jaksa, Lebi Rajo nan Soetan, dan istrinya, Adiesah. Kebetulan keluarga kecil ini belum dikaruniai momongan. Keluarga Lebi Rajo kemudian berandil cukup besar dalam proses kreatif Roehana. Roehana kerap diajari membaca, menulis, serta merajut benang wol yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Bermacam surat kabar dan buku yang terdapat di rumah Adiesah dilahap Roehana. Sementara di rumahnya sendiri, Roehana juga membaca buku milik ayahnya seperti buku sastra, politik, atau hukum. Beginilah cara Roehana mengenyam pendidikan.

Proses pembelajaran yang menyenangkan di Alahan Panjang cuma dua tahun dirasakan Roehana. Rasjad dipindahtugaskan ke Simpang Tonang Talu gara-gara sikapnya yang kritis terhadap atasan. Di tempat tugas ayahnya sekaligus tempat tinggal keluarganya yang baru inilah Roehana memulai jejaknya sebagai seorang guru muda. Ini bermula dari kebiasaan unik Roehana—yang bakal menjadi trade mark gaya Roehana kecil menarik murid—yakni membaca surat kabar ataupun buku dengan suara lantang di depan orang banyak di tempat umum maupun di teras rumahnya. Ditambah gaya baca Roehana yang memikat pendengar hingga mereka dibuat tertawa terpingkal. Kiprah sang penyuluh segera dimulai.

Awalnya hanya dari kebiasaan Roehana membaca buku-buku dan koran dengan suara yang nyaring lagi lantang, namun siapa sangka kegemaran ini justru yang membuat lingkungan sekitarnya sadar bahwa Roehana sangat berbakat untuk menjadi guru. Mulanya tak puas mendengar, berangsur para tetangganya mulai tertarik belajar membaca dan menulis agar bisa membaca sendiri cerita yang diperdengarkan Roehana.

Ternyata umpan Roehana mujarab menjaring minat belajar orang kampung. Timbullah gagasan mendirikan sekolah di rumah, teras disulap menjadi tempat belajar sederhana, sedangkan ayah Roehana membantu pengadaan alat tulis yang dibagikan secara gratis. Cukup beralas tikar dan duduk bersila, pelajaran membaca dan menulis dimulai dengan Roehana sebagai guru. Ayah Roehana pun bersedia mengajar materi budi-pekerti dan agama.

Kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung di rumah Roehana semakin riuh, dari anak-anak hingga para ibu muda terlibat proses pendidikan yang menggembirakan. Roehana mulai memperkaya materi pengajaran. Tak hanya membaca dan menulis saja, tapi juga pelajaran agama dengan menyertakan belajar membaca dan menulis Arab agar tidak sekadar menghafal, sebagaimana pelajaran agama di surau-surau. Nenek Roehana, Tuo Sarimin, turut andil dengan memberikan pelajaran keterampilan menyulam, sementara Tuo Sini, adik neneknya yang selain pintar mendongeng juga mengajar anyam-menganyam.
Pada 1911, Roehana membuka sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di kota kelahirannya, Kotogadang, Sumatra Barat. KAS berkembang pesat dan menghasilkan barang-barang kerajinan berkualitas tinggi. KAS adalah sekolah perempuan pertama di Sumatra yang digagas langsung oleh perempuan. Roehana menjadi wanita Sumatra pertama yang dengan sadar memulai usaha memajukan kaum perempuan. Hebatnya, sekolah KAS yang dirintis Roehana masih bertahan hingga saat ini.

Selain sebagai pendidik, Roehana juga pantas disebut Ibu Pers Indonesia berkat perannya sebagai pelopor penerbitan koran perempuan pertama di Indonesia di mana perempuan mengambil peranan langsung dalam teknis penerbitannya. Bisa jadi Roehana adalah wartawati pertama yang pernah ada di Nusantara. Rohana merupakan cikal bakal lahirnya wartawan-wartawan profesional di Sumatra Barat. Roehana tak hanya sekadar berperan sebagai “pemanis” dalam koran-koran yang dikelolanya. Lebih dari itu, dia memainkan lakon sentral sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe, koran perempuan yang terbit di Padang sejak 10 Juli 1912, juga koran-koran bergenre emanisipasi wanita lainnya. Meskipun menjabat sebagai pemimpin redaksi, Roehana tak segan turun langsung ke bawah untuk meliput berita.

Roehana juga terlibat aktif dalam perintisan perhimpunan perempuan di Sumatra. Melihat tumbuh subur berdirinya organisasi perempuan di tanah Minang, Roehana lalu berinisiatif untuk mewadahinya dan menjadi motor pendeklarasian perhimpunan Sarikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) sebagai wadah pemersatu berbagai organisasi perempuan Sumatra. SKIS resmi dibentuk di Padang pada 1911. Gebrakan Roehana ini sungguh menakjubkan. Pejuang perempuan sekelas Kartini pun belum sempat mewujudkan ambisi ini. Lebih dari itu, Roehana mendirikan persatuan organisasi perempuan ini jauh sebelum Kongres Perempuan Indonesia digagas, yang kelak baru terlaksana pada 22-25 Desember 1928.

Perempuan di negeri nun jauh di sana bisa memperoleh gelar sarjana, bekerja di kantor, menjadi guru, serta boleh menyatakan pendapatnya untuk turut menentukan masa depan bangsa. Kondisi kaum perempuan di dalam negeri sangat berbeda, masih dibatasi dengan aturan adat. Keadaan ini mengundang rasa prihatin dan memunculkan hasrat Roehana untuk memajukan kaum perempuan, yakni melalui jalur pendidikan dan pers.

Kegemilangan yang ditoreh Roehana tersiar ke berbagai penjuru. Hingga datang undangan bagi Roehana untuk ke Eropa untuk ikut dalam Internationale Tentoonstelling yang akan dihelat di Brussel, Belgia, pada 1913. Internationale Tentoonstelling adalah ajang pameran kerajinan tahunan yang diikuti oleh peserta dari banyak negara. Ini adalah kesempatan emas Roehana untuk memamerkan sulam terawang karya perempuan Kotogadang sehingga akan dikenal lebih luas. Namun, gara-gara fitnah dari pihak-pihak yang dengki, Roehana batal ke Eropa, padahal kabar rencana keberangkatan Roehana telah disiarkan luas.

Gagal ke Eropa, spirit Roehana tak surut. Justru aksi jegal yang dialaminya dijadikan pelecut untuk semakin maju. Roehana bertekad untuk terus membimbing bangsanya menuju pencerahan. Kali ini pena jadi pilihan senjatanya. Kegemarannya membaca membuatnya terpantik untuk turut menulis. Ini suatu keputusan berani mengingat kala itu tak banyak perempuan yang berkecimpung di semesta media. Roehana adalah salah seorang srikandi pertama yang memulai tradisi pers di Sumatra Barat, pelopor jurnalisme perempuan Minangkabau.

Semasa menjadi guru, Roehana mengajari para muridnya menulis maupun menyadur cerita dalam bentuk syair yang memuat kearifan. Selain itu, Roehana mempunyai kebiasaan menulis catatan harian atau semacam memoar yang berisi keluh-kesah, juga apapun yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Kegemaran membaca dan menulis inilah yang kemudian membuatnya berani mencoba mengirimkan hasil pemikirannya ke beberapa surat kabar.

Ketika Poetri Hindia terbit perdana pada 1908 di Batavia dan lantas dianggap sebagai koran perempuan pertama di Indonesia, Roehana ikut antusias menyambut kemajuan ini. Bisa jadi Roehana adalah wanita Indonesia yang secara sadar memerankan dirinya sebagai seorang jurnalis, yang bersedia meliput berita sekaligus menulis untuk kemudian dikirimkan ke media massa. Kebanyakan, para perempuan yang terlibat di dunia jurnalistik kala itu cuma sebatas sebagai “pemanis” semata, tanpa perlu susah-susah bersandar diri dalam melakoni tugas-tugas jurnalistik.

Roehana menemukan alasan kuat mengapa tertarik terjun ke dunia jurnalistik. Pertama, perasaaan bangga karena dengan menjadi wartawan dapat bertemu dengan para tokoh besar. Kedua, pekerjaan menulis seorang wartawan adalah ruang untuk memerdekakan pikiran, bahkan bisa untuk mengkritik atau mengkoreksi hal-hal yang dirasa tidak benar dan dianggap perlu diketahui oleh khalayak. Ketiga, kewajiban seorang wartawan untuk mengemban amanat rakyat terlebih lagi amanat rakyat yang hakiki berupa kemerdekaan hati nurani rakyat. Terakhir, dengan menjadi seorang wartawan, Roehana leluasa memperjuangkan nasib perempuan supaya tidak terus ditindas oleh aturan adat serta perlakuan diskriminatif. Roehana berkehendak memenangkan perjuangan perempuan.

Meski cenderung keras dalam urusan emansipasi perempuan, namun Roehana tak serta-merta jadi gelap mata. Roehana masih memegang teguh kodrat asali perempuan, yakni sebagai ujung tombak dalam mengurus rumah tangga dan keluarga. Untuk itu, Roehana selalu menghimbau agar kaum perempuan tak jemu menimba ilmu supaya kaum perempuan menjadi golongan yang tangguh, pandai mengelola keluarga tanpa selalu menggantungkan diri terhadap suami.

Pasangan Siti Roehana dan Abdoel Koedoes dikarunia anak lelaki semata wayang yang diberi nama Djasman. Ketika beranjak dewasa, Djasman mengikuti jejak sang ibu dengan mengabdikan diri sebagai guru. Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, usia Roehana sudah menginjak 61 tahun. Saat Belanda datang lagi dan melancarkan agresi militer pasca proklamasi kemerdekaan RI, Roehana turut membantu dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Roehana juga ikut mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan yang sedang berjuang mempertahankan Republik. Roehana juga mencetuskan ide untuk menyusupkan senjata dari Kotogadang ke Bukitinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Ketika Indonesia menerima pengakuan kedaulatan pada 1949, Roehana kembali ke Kotogadang karena sang suami, Abdoel Koedoes, mulai sakit-sakitan, hingga akhirnya wafat. Sepeninggal suaminya, Roehana kembali ke Medan, tinggal bersama Djasman. Umurnya yang sudah renta tak memungkinkan lagi untuk terus mengajar dan menulis surat kabar. Di masa senjanya, Roehana masih sempat menghabiskan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat. Membaca dan menjahit, serta mencatat diari adalah aktivitas keseharian Roehana.

Nenek pemberani ini sempat tinggal di Jakarta. Pada 1958, Djasman ditugaskan ke London, Inggris, selama 2 tahun. Tak mungkin bagi Roehana untuk ikut. Karena itu, dia memutuskan menetap di Jakarta, bersama keponakannya, sembari menunggu kepulangan Djasman. Ketika sang putra tercinta kembali ke tanah air, Roehana terus tinggal bersama Djasman kendati beberapa kali berpindah kota mengikuti daerah tugas. Djasman sempat ditugaskan ke Surabaya selama 2 tahun sebelum ke Jakarta lagi.
Pada 17 Agustus 1972, tepat ketika seluruh rakyat Republik Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-27, Siti Roehana Koedoes meninggal dunia di Jakarta pada usia 88 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta. Tak banyak perempuan Indonesia seperti Roehana, apalagi pada masa hidupnya yang sarat ketidakadilan yang dialami kaum perempuan. Siti Roehana Koedoes, seorang perempuan yang tak pernah mengecap pendidikan formal tapi sanggup melakukan hal-hal besar demi perubahan: mendirikan sekolah perempuan, membentuk organisasi perempuan, serta menerbitkan surat kabar perempuan. Bukan kebetulan, di ranah Sumatra, Roehana adalah sang pemulanya.