SEJARAH PERCETAKAN DAN PENERBITAN DI RIAU ABAD KE 19 – 20

0
3939

Sepanjang sejarah percetakan dan penerbitan di Indonesia, tercatat tiga buah percetakan yang memakai huruf Arab-Melayu (Jawi), yaitu pertama Percetakan Bouvernemant di Batavia (Jakarta), kedua percetakan huruf pegon di Surakarta (Solo) pada abad ke-19 dan percetakan Al Yunusiah di Padang Panjang pada tahun 1920-an.
Keterangan itu sangat berharga, karena mencoba mencatat suatu kegiatan budaya di Indonesia. Beberapa kitab lama yang dihasilkan di Riau, ternyata juga memakai huruf Jawi seperti yang dipakai di Batavia, Solo, dan Padang Panjang. Terutama yang telah dilakukan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Kerajaan Riau-Lingga melalui tokoh-tokoh budayanya.
Percetakan Kerajaan Siak Sri Indrapura hingga sekarang dapat diketahui melalui sebuah kitab yang dicetak pada tahun 1901 yaitu bab al Cawa’id atau Pintu Segala Pegangan. Sedangkan percetakan yang terdapat di Kerajaan Riau-Lingga mencetak bermacam-macam jenis kitab seperti tentang ilmu pengetahuan, agama, sastra dan kepentingan dinas kerajaan, sehingga dapat diduga tidak akan begitu jauh berbeda dengan percetakan di Surakarta (Solo). Dugaan ini diperkokoh atas dasar tipe huruf yang dipakai. Baik percetakan pemerintah Hindia Belanda di Batavia, percetakan di Surakarta, di Pulau Penyengat, di Siak Sri Indrapura atau di Padang Panjang sama-sama memakai huruf Arab-Melayu yang tidak jauh berbeda.
Dalam Kerajaan Riau-Lingga semenjak abad ke-19 sampai sekitar sepuluh tahun pertama abad ke-20, ada beberapa kegiatan percetakan. Percetakan yang pertama didirikan kerajaan ini adalah yang dikenal dengan nama Rumah Cap Kerajaan yang di Singapura terkenal dengan nama Straits Printing Office. Percetakan ini didirikan di Daik-Lingga ketika itu menjadi pusat pemerintahan di Kerajaan Riau-Lingga. Tidak dapat diketahui kapan tepatnya percetakan itu didirikan. Tapi sebuah sumber memperkirakan sekitar tahun 1885 atau dalam rentang 1850-1890.
Percetakan Rumah Cap Kerajaan ini memakai huruf Arab-Melayu (Jawi) dengan tehnik Litografi (cetak batu) dalam setiap cetakannya. Beberapa kitab hasil pengarang Riau pada waktu itu, terutama karya Raja Ali Haji dan berbagai kepentingan cetak kerajaan telah dicetak oleh percetakan Rumah Cap Kerajaan ini. Beberapa hasilnya antara lain:
1. Muqaddima fi Intizam al Wazaif al Muluk Khususan Ila Maulana Wa Sahibina Yang Dipertuan Muda Raja Ali Al Mudabbir Lil Biladi Al Riauyah Wa Sairi Dairatihi, Karya Raja Ali Haji, yang dicetak pada bulan Rajab tahun 1304 (sekitar 1886 M)
2. Tsamarat al Muhimmah, Karya Raja Ali Haji, yang dicetak tahun 1304 (1886 M)
3. Undang-undang Lima Pasal (materi kerajaan)
4. Qanun Kerajaan Riau-Lingga (materi kerajaan)
5. Salah satu karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Beberapa tahun kemudian di Pulau Penyengat Inderasakti sebagai tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda Riau makin pesat pertumbuhannya. Salah satunya adalah sebagai kegiatan agama dan budaya kerajaan Riau yang sebelumnya di Pulau Lingga bergeser ke Pulau Penyengat.
Dalam perkembangannya budaya dan syiar Islam, Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi, yaitu Yang Dipertuan Muda Riau X (1858-1899) berhasil mendirikan sebuah percetakan di Pulau Penyengat pada tahun 1894. Percetakan itu pada awalnya memberi tanda dengan dua nama terhadap hasil cetakannya. Jika yang dicetak itu bukan untuk kepentingan langsung urusan dinas kerajaan Riau-Lingga, maka materi itu diberi cap dengan Mathba’at al Ahmadiah. Sebaliknya jika materi yang dicetak merupakan bahan-bahan kepentingan kerajaan, maka hasil cetakan diberi cap dengan Mathba’at al Riauwiyah. Dari kondisi itu, maka tampak suatu tanda adanya pengertian pada masa itu untuk membedakan antara percetakan dengan penerbit, dimana keduanya memakai percetakan yang sama.
Garis pemisah antara dua macam kegiatan itu ternyata tidak diikuti sepenuhnya, lebih-lebih dalam masa-masa terakhir kegiatan percetakan itu. Disamping itu penggunaan huruf dan angka lain yang juga digunakan secara terbatas. Beberapa hasil cetak yang diberi cap Mathba’at al Ahmadiah antara lain:
1. Risalat al Fawait al Wafiat fi Syarh Ma’ana al Tahiyat, karya Sayid Syarif Abdullah Ibni Muhammad Saleh al Zawawi. Diterjemahkan ke bahasa Melayu oleh para anggota Rusydiah Klab, dicetak di Pulau Penyengat Inderasakti tahun 1312 H (1895 M). Kitab ini merupakan kitab bilingual (menyertakan teks asli dalam bahasa Arab disamping terjemahan bahasa Melayu.
2. Kaifiat al Zikr ala Tariqah al Naqsabandiyah, dicetak tahun 1313 H (1896 M).
3. Sinar Gemala Mestika Alam, syair terjemahan (adaptasi) mengenai Maulud nabi oleh Raja Ali Haji.
4. Syair Perjalanan Sultan Lingga ke Johor, karangan Raja Hitam Khalid bin Hasan. Karya ini merupakan semacam promosi buat kenaikan tingkat dalam Rusydiah Klab dari anggota muda menjadi anggota senior.
Selanjutnya Mathba’at al Riauwiyah telah mencetak antara lain:
1. Pohon Perhimpunan, oleh Raja Ali Kelana bin Yang Dipertuan Muda Muhammad Yusuf Al Ahmadi, tahun 1315 H (1899 M). Kitab ini berisi laporan perjalanan seorang yang berpangkat Kelana kepada Yang Dipertuan Muda dalam melakukan perjalanan inspeksi di Pulau Tujuh dimana dengan cermat telah dicatat mengenai masalah tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, penduduk dan hasil bumi di darat dan laut.
2. Furuk al Makmur, sebuah kitab undang-undang di Riau, dicetak tahun 1313 H (1896 M). Kitab ini merupakan kitab undang-undang yang dipakai di Riau disamping Tsamarat al Muhimmah, Muqaddima Fi Intizam dan Undang-undang Kepolisian Kerajaan Riau.
3. Taman Penghiburan, sebuah catatan yang diterbitkan oleh Rusydiah Klab di Pulau Penyengat, dicetak tahun 1313 (1895 M). Didalam catatan ini berisi acara menyemarakkan Hari Raya Idul Fitri dan tertera nama-nama anggota Rusydiah Klab secara lengkap.
Semua kitab yang dicetak memakai huruf Arab-Melayu. Tetapi pada sampul kitab yang bernama Rumah Obat di Pulau Penyengat karya R.H. Ahmad Ibnu Hasan (dikenal dengan nama Raja Haji Ahmad Tabib) yang dicetak tahun 1311 H (1894 M) memakai huruf latin meskipun isinya tetap dengan huruf Arab-Melayu. Gejala ini memberi tanda, bahwa huruf latin makin kuat posisinya, meskipun kaun cendikiawan Riau tetap melihat betapa pemakaian huruf Arab-Melayu haruslah tetap dipertahankan sebagai salah satu bentuk hasil budaya Melayu terutama dalam kaitannya bagi kajian-kajian terhadap agama Islam.
Rusydiah Klab adalah suatu nama yang dipakai oleh kaumcendikiawan kerajaan Riau-Lingga untuk nama persatuan atau perkumpulan mereka. Setelah kaum cendikiawan Riau ini berkembang sedemikian rupa maka mereka mempunyai posisi yang amat penting sekali dalam percetakan yang berada di Pulau Penyengat. Fungsi penerbitan boleh dikatakan telah mulai dapat dilakukan oleh Rusydiah Klab disamping kegiatan mereka yang lain sebagai penulis, penterjemah, bahkan sebagai pejabat dan penguasa kerajaan Riau-Lingga. Pada tahun 1911 Sultan Kerajaan Riau Lingga dimakzulkan dengan alasan melanggar Politiek Contract tahun 1905. Dua tahun sesudah itu, yaitu pada tahun 1913 secara resmi Kerajaan Riau-Lingga dibubarkan.
Berawal dari perjanjian pertama antara pihak Belanda dengan kerajaan Riau-Lingga tahun 1784 (semasa pihak Belanda diwalili oleh VOC) sampai setelah pihak Belanda benar-benar menjadi penguasa dan penjajah. Mereka memandang kerajaan Riau-Lingga senantiasa berusaha menyingkirkan kekuasaan Belanda dari kawasan itu dengan berbagai cara sehingga kerajaan ini dimata Belanda selalu memungkiri janjinya yang tertera dalam setiap Politiek Contract. Pelanggaran inilah yang ditegaskan kembali oleh Belanda terhadap kerajaan Riau-Lingga dalam hubungan dengan kesempatan yang dinyatakan dalam Politiek Contract tahun 1905.
Dengan dibubarkannya Kerajaan Riau-Lingga, percetakan di Pulau Penyengat juga terkena imbasnya. Para cendikiawan Riau-Lingga yang tergabung dalam Rusydiah Klab memperlihatkan ikhtiar untuk tetap melanjutkan kegiatan bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan agama, disamping sebagai upaya untuk mengimbangi Belanda dalam lapangan politik. Dengan segala upaya yang ada, akhirnya para cendikiawan tersebut berhasil mendirikan percetakan di Singapura dengan nama Mathba’at al Ahmadiah beberapa tahun setelah Kerajaan Riau-Lingga dibubarkan. Dalam registrasi pemerintah Inggris Mathba’at al Ahmadiah tercatat dengan nama Al Ahmadiah Press. Percetakan ini masih tetap berkembang sampai sekarang di Singapura.
Al Ahmadiah Press dapat didirikan di Singapura berkat sukses serikat dagang (koperasi) keluarga beberapa orang bangsawan Kerajaan Riau-Lingga yang bernama Al Syarkah Al Ahmadiah yang mengambil pusat kegiatan di Pulau Midai, salah satu tempat di Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan. Serikat dagang Al Syarkah Al Ahmadiah telah mampu membuka cabangnya di Singapura dan mencoba mengimbangi dominasi dagang orang-orang Cina dalam bidang perdagangan di Asia Tenggara. Melalui sukses yang dicapai serikat dagang inilah percetakan Al Ahmadiah Press dapat berdiri dan berjaya di Singapura. Beberapa hasil percetakan Al Ahmadiah Press pada periode awal kegiatannya antara lain:
1. Pengetahuan Bahasa Kamus Logat Melayu Riau dan Lingga dan Johor dan Pahang, karya Raja Ali Haji.
2. Suluh Pegawai, syair karya Raja Ali Haji.
3. Maqawat al Badi’ah, oleh Haji Muhammad Saleh Syekh Abdul Rauf Al Fansuri Aceh.
4. Siti Shianah Shahibal Fatut wal Amanah,syair karya Raja Ali Haji.
5. Khadamuddin, karya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman.
6. Seligi Tajam Bertimbal. Karya Raja Aisyah.
7. Adab al Fatat, karya Ali Affandi Fakri, diterjemahkan oleh Badriah Muhammad Thahir.
8. Simpulan Islam, karya Syekh Ibrahim Masri, diterjemahkan oleh Raja Haji Muhammad Sa’id bin Raja Haji Muhammad Thahir Riau.
9. Hafaz al Lisan fi Tilawah al Qur’an, karya Haji Muhammad Thahir Mingkabi.
10. Irsyad al Khaidh li Ilm al Faraidh, karya Syekh Muhammad Thahir Jalaluddin.
11. Ibu di Dalam Rumahnya, karya Umar bin Haji Hassan Riau.
12. Rencana Madah, karya Raja Ali bin Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi.
13. Bughyat al Ani fi Huruf al Ma’ani, karya Al Fakir Ali bin Muhammad Yusuf Al Ahmadi.
14. Kamus Arab-melayu, susunan sekumpulan pengarang.
15. Faridat al Faraid, karya Syekh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa bin Muhammad Al Fatani.
16. Maqazanah, karya Syekh Ismail al Khalidi Al Mingkabawi.
17. Syair Ibarat, karya Al Fadil Haji Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad Afif Al Banjari.
18. Talib al Ulum, karya Abi Al Autari Muhammad Wan Husin Ibni Zainuddin An Banjari.
19. Perhimpunan Doa, karya Al Jadid Haji Abdul Mubin bin Muhammad Tib Al Fatani.
Setelah tahun 1950-an, ketika Geopolitik Asia Tenggara melahirkan Persekutuan Tanah Melayu, Malaysia dan Singapura. Perubahan tali pemerintahan di Singapura dari Inggris kepada Persekutuan Tanah Melayu, kemudian bergeser kepada orang Cina dan India, ditambah adanya konfrontasi antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia telah menyebabkan Al Ahmadiah Press kehilangan mata rantai yang menghubungkan dengan para cendikiawan Melayu di daerah Riau.
Dalam keadaan seperti ini, Al Ahmadiah Press terpaksa menggeser arah kegiatannya. Percetakan ini mengarahkan perhatiannya kepada Malaysia, Sabah dan Brunei dengan sedapat mungkin tetap memberikan tumpuan kepada kebudayaan Melayu dan agama Islam. Beberapa kepentingan percetakan dari daerah itu telah dilayani oleh Singapura dengan mengandalkan Al Ahmadiah Press.
Sesudah masa konfrontasi Al Ahmadiah Press mencoba mengulas kembali hubungan yang pernah putus dengan Riau. Untuk membalas jasa dari pengurus perusahaan percetakkan didaerah asalnya dan memperkokoh tali persaudaraan yang pernah ada, Al Ahmadiah Press mencetak beberapa kitab keagamaan yang kemudian dibagikan kepada masyarakat Riau. Di Singapura, Al Ahmadiah Press juga mendapat halangan dari Pemerintah Singapura. Untuk mempersempit ruang gerak percetakan ini, pemerintah Singapura menaikkan pajak yang tinggi bagi produk hasil Al Ahmadiah Press yang dipesan oleh pihak luar atau yang akan dikirimkan ke luar Singapura.
Semenjak Singapura berubah dengan wajah yang baru, sehingga iklim melayu perlahan menghilang. Maka para penulis Riau tidak tertarik lagi untuk membuat kerjasama dalam bidang agama Islam dan kebudayaan Melayu. Bagi suku Melayu di Riau dan penduduk Melayu di Singapura tidak dapat lagi membayangkan wajah Tumasik pada 7 abad silam ketika pulau tersebut dikuasai oleh orang Melayu hingga diperjuangkan oleh Inggris. Pada masa kekuasaan Inggris, kebudayaan melayu di Singapura masih bertahan dan dilindungi. Bagi orang Melayu Riau, Singapura dipandang sebagai negeri yang kehilangan tuannya dan identitasnya (budaya Mmelayu dan Islam).
Dalam posisi seperti ini untuk mengandalkan Al Ahmadiah Press bagi pembinaan dan pengembangan budaya Melayu dan agama Islam di Riau hampir dapat dikatakan sudah tidak mungkin lagi. Sementara itu penulis-penulis, sastrawan dan budayawan Riau telah memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti. Satu generasi lanjutan dari cendikiawan Riau sebagaimana tampak pada Rusydiah Klab sekarang ini boleh dikatakan telah muncul dan memberi harapan yang cukup cerah bagi perkembangan kebudayaan Melayu dan agama Islam. Hal ini membuat kedudukan Riau semakin penting dalam arus kebudayaan Melayu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di Riau pernah ada pelopor Kutub Khanah Marhum Ahmadi, ada percetakan dan penerbit pelopor Mathba’at al Riauwiyah dan Mathba’at al Ahmadiah serta Rusydiah Klab. Jelas hal ini memperlihatkan rangkaian daya yang menunjang kreatifitas dan kebudayaan itu sendiri. Hanya dengan hubungan timbal balik yang serasi makna besar penciptaan dicatat oleh sejarah.