SEJARAH JAMBI 1855-1950

0
25782

Provinsi Jambi dibentuk tanggal 2 Juli 1958 bersamaan dengan pembentukan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Sebelumnya Jambi merupakan salah satu daerah keresidenan di wilayah Provinsi Sumatera Tengah. Sementara di awal kemerdekaan, hanya ada satu provinsi di Sumatera, yaitu, provinsi Sumatera dan Jambi adalah salah satu keresidenan di provinsi yang sangat luas itu.

Pada akhir abad ke 19 di wilayah Jambi terdapat kerajaan atau kesultanan Jambi. Tahun 1855, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Pada saat Belanda mulai menduduki Kesultanan Jambi, tepatnya tahun 1858, Sultan Thaha menyingkir dari keraton dan melakukan perang gerilya. Dia gugur dalam perang melawan penjajah tahun 1904.

Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pahlawan nasional asal Jambi. Dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi. Beliau adalah sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Ia merupakan putra dari Sultan M. Fachrudin dengan gelar sultan Kramat. Nama asli Sultan Thaha adalah Sultan Raden Toha Jayadiningrat. Ketika kecil ia biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.

Meskipun ia terlahir dari kalangan bangsawan, ia memiliki sikap yang rendah hati, senang bergaul dengan masyarakat dan sangat membenci Belanda. Aktivitas melawan Belanda makin gencar sejak ia naik tahta menjadi Raja Jambi pada tahun 1855. Usahanya melawan Belanda dilakukan dengan mengalang kekuatan masyarakat dan bekerjasama dengan raja Sisingamangaraja.Untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin, Belanda melakukan politik adu domba dengan mengangkat salah seorang putera sultan yang masih berusia tiga tahun menjadi Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota yang masih muda itu diangkat dua orang wali yang memihak kepada Belanda. Namun, usaha untuk mengadu domba itu tidak berhasil karena kerabat istana dan rakyat tetap bersikap melawan Belanda.

Hanya satu jalan bagi Belanda untuk menghadapi sultan yaitu dengan berperang secara ksatria. Untuk itu, Belanda mendatangkan pasukan dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Untuk menumpas perlawanan dari suatu daerah, Belanda selalu mendatangkan pasukan dari daerah lain mengingat serdadu yang berkebangsaan Belanda sangat sedikit. Cara itu terbukti efektif untuk menindas perlawanan rakyat di berbagai wilayah Indonesia.

Pada tanggal 31 luli 1901 pasukan Belanda yang datang mendapatkan perlawanan sengit di Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman. Mereka dapat menawan pasukan dan pengikut Sultan Thaha tetapi tidak berhasil menemukan pemimpinnya. Dengan berbagai tipu muslihat Belanda dapat menemukan tempat pertahanan para pejuang. Markas Sultan di Sungai Aro diserbu Belanda pada tahun 1904. Sultan lewat perjuangan sengit dapat meloloskan diri tetapi Jonang Buncit dan Berakim Panjang, dua orang panglimanya gugur. Belanda tidak mengendorkan tekanannya pada sultan dan pasukannya. Namun demikian, Sultan Thaha Syaifuddin tidak pernah tertangkap oleh pasukan musuh. Sebagian besar hidupnya adalah perjuangan melawan Belanda sampai ia tutup usia di Muara Tebo pada tanggal 26 April 1904 dalam usia 88 tahun.

Kesimpulan salah seorang ahli militer, mengatakan bahwa bila pasukan gerilya dapat bertahan lebih dari lima tahun berarti mereka didukung oleh rakyat. Sultan Thaha mampu bertahan hampir lima puluh tahun menghadapi Belanda, meskipun pada akhir hidupnya perlawanannya tidak efektif lagi. Hal itu terjadi karena dukungan seluruh rakyat dan kerabat kerajaan yang bersatu melawan penjajah. Namun, dukungan dan semangat persatuan saja belum cukup untuk menjaga kemerdekaannya itu tanpa peralatan tempur yang memadai. Peralatan tempur itu yang tidak dimiliki oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Ia dan pengikutnya telah bergerilya melawan penjajah dengan persenjataan yang minim dan sederhana. Namun, semangat kecintaan terhadap bangsa dan kebencian akan penjajahan membuat kekuatannya mampu bertahan selama hampir 50 tahun. Di tanah Jambi, Sultan Thaha tak pernah mati. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Jambi.

Setelah gugurnya Sultan Thaha, Belanda menguasai wilayah Jambi sepenuhnya. Tahun 1906, Belanda mulai membentuk administrasi pemerintahan di Jambi. Hal ini berarti bahwa Jambi yang sebelumnya ditangani oleh Keresidenan Palembang, menjadi keresidenan sendiri. Sebagai residen Jambi yang pertama adalah O.L. Helfrich, sebelumnya dia menjabat sebagai Asisten Residen Palembang.

Susunan pemerintahan Jambi pada zaman Belanda masih memperhatikan susunan adat seperti di zaman kesultanan, namun disertai dengan beberapa penyesuaian, disesuaikan dengan politik jajahannya. Singkatnya, pemerintahan Jambi di era penjajahan Belanda berturut-turut dari level teratas sampai terbawah adalah Residen-Kontrolir-Demang-Asisten Demang-Kepala Adat/Pasirah-Penghulu/kepala dusun-Rakyat.

Rakyat Jambi tidak sepenuhnya mengakui pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terbukti dengan adanya perlawanan, yaitu, perang Sarikat Abang yang terjadi pada tahun 1916. Perlawanan ini dapat dihentikan Belanda dan tokoh-tokoh perlawanannya disidangkan dalam suatu pengadilan yang dinamakan Pengadilan Rapat Besar Istimewa. Tokoh-tokoh perlawanan tersebut kemudian dibuang ke Digul, Ternate, dan Nusa Kambangan.

Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, Belanda semakin memperketat ruang gerak rakyat dengan mengadakan pembatasan-pembatasan berbagai kegiatan perkumpulan dan organisasi politik. Akibatnya, semua perkumpulan dan organisasi politik vakum dan akhirnya mati. Jambi, akhirnya menjadi daerah yang kosong dari organisasi politik.

Larangan Belanda tersebut ternyata tidak hanya pada organisasi politik, melainkan melebar pada dunia pendidikan. Belanda melarang rakyat Jambi untuk bersekolah atau mendirikan sekolah. Setelah beberapa tokoh memperjuangkan pendirian sekolah, seperti yang dilakukan oleh H. Nawawi, H.M. Chatib A.T. Hanafiah, akhirnya ada juga beberapa sekolah yang berdiri, namun dengan pengawasan yang sangat ketat.

Karena ada pengaruh dari Jawa, tahun 1939 lahir beberapa partai politik di Jambi. Adanya partai politik ini membuka mata masyarakat Jambi bahwa mereka harus berjuang mencapai kemerdekaan. Kesadaran ini juga muncul karena, melalui partai-partai ini, mereka mengetahui bahwa di Eropa sedang terjadi peperangan sehingga terdapat ruang bagi rakyat di negeri jajahan untuk bangkit.

Harapan untuk merdeka dan hidup sejahtera semakin besar ketika Jepang mendarat di Jambi. Rakyat tertipu dengan propaganda “Sang Saudara Tua” yang mengatakan bahwa mereka akan memberi kemakmuran. Namun janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan. Alih-alih mensejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam. Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas, dan sebagian rakyat dijadikan romusha. Kegiatan politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu dimata-matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945.

Di awal kemerdekaan, Jambi yang waktu itu berbentuk keresidenan, tidak pernah tenang. Kondisi ini disebabkan oleh adanya berbagai rongrongan keamanan, yaitu, dari Belanda yang berkeinginan menjajah kembali. Tanggal 28 Desember 1948, Belanda membombardir Jambi. Residen dan staf pemerintahan menyingkir ke dusun Rantaumajo.

Sementara itu para pejuang melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda. Dalam peperangan itu, banyak pejuang Jambi yang gugur dan ditawan. Peperangan itu berakhir dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Belanda kemudian membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berisikan banyak negara bagian. Namun bentuk negara serikat ini tidak lama karena rakyat Indonesia tidak setuju dengan bentuk negara serikat dan berkeinginan untuk kembali kebentuk kesatuan. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia kembali berdiri.

Setelah Jambi menjadi provinsi, terpisah dari provinsi lama, yaitu, provinsi Sumatera Tengah, rakyat dan pemerintah Jambi mulai menata administrasi pemerintahannya. Namun Jambi tidak bias langsung melakukan pembangunan karena adanya beberapa pemberontakan, yaitu, PRRI dan PKI. Baru setelah G30S/PKI dapat ditumpas, Jambi mulai dapat melakukan pembangunan. Kemajuan pembangunan Jambi mulai terlihat pada tahun 1968-1974. Selanjutnya Jambi terus melakukan pembangunan seiring dengan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat. Lancarnya pembangunan ini terkait erat dengan terjaminnya keamanan sehingga membuat iklim dunia usaha semakin kondusif.