Banyak sekali julukan untuk Raja Ali Haji, pahlawan nasional dari Provinsi Kepulaua Riau. Ia adalah ulama, ahli sejarah, pujangga, penyair, dan Bapak Bahasa Indonesia yang mendapat gelar Pahlawan Nasional 10 November tahun 2004 lalu. Raja Ali Haji juga seorang guru. Dalam karya- karyanya memuat banyak hal, seoerti nilai keagamaan, pendidikan karakter, kesejarahan dan kehalusan budi pekerti.
Profil Singkat
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad lahir di Selangor, meskipun ada yang menyebut lahir di
Penyengat tahun 1803. Tahun kematiannya juga jadi perdebatan, meski sebagian besar meyakini meninggal 1873 di Penyengat, Kepri. Raja Ali Haji cucu dari pahlawan nasional Raja Haji Fisabilillah yang berdarah Bugis. Dari fakta ini, Raja Ali Haji adalah orang terpandang di istana karena kakeknya adalah Yang Dipertuan Muda (YDM) di Kesultanan Riau Lingga. Sebagai orang dalam istana, Raja Ali Haji mendapatkan pendidikan yang didapat anak-anak penghuni istana. Ulama-ulama yang datang ke Penyengat tidak saja menjadi sumber memahami agama Islam, tapi oleh Raja Ali Haji kesempatan itu digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasinya. Perjalanan ke Batavia dan Mekkah mendorong Ali Haji menuliskan pengalamannya di dua peristiwa itu dalam karyanya Tuhfat Al-Nafs.
Perannya dalam pemerintahan dan ulama bagi masyarakat di Pulau Penyegat juga diyakini memberikan sumbangsih pada produktivitas Raja Ali Haji. Gurindam Dua Belas, misalnya, menerangkan ajaran- ajaran moral yang berguna dalam hubungan sesama manusia atau antar manusia dengan Tuhannya. Sementara Thamra Tu Al-Muhammadiyafa menegaskan peran seorang raja yang jika tidak memerhatikan kebutuhan masyarakatnya tak dapat diterima sebagai penguasa lagi. Raja Ali Haji bersahabat baik dengan Hermann Von De Wall, sarjana kelahiran Jerman, pegawai pemerintahan Hindia-Belanda yag bertugas menyusun kamus Bahasa Melayu-Belanda. Imej dari ‘penulis Islam yang dengki dan membenci Belanda ‘ itu sama sekali tidak ada pada Raja Ali Haji. Citra yang muncul justru lebih jelas menampilkan Raja Ali Haji adalah sebagai guru alim yang memiliki tekad kuat untuk memajukan bahasa Melayu. Meskipun ia bekerja dan dibayar oleh Belanda.
Perspektif ini bisa dilihat saat ia menurunkan ‘ego’ keningratannya dan melihat manfaat bekerja sama dengan pegawai kolonial untuk tujuan pendidikan. Ia juga melihat manfaat dengan bersahabat baik dengan seorang Von De Wall dimana ia bisa berbagi minatnya terhadap Bahasa Melayu dan menyusun kamus ekabahasa Melayu.
Hubungan kerja Ali Haji dengan Von de Wall dimulai dengan memeriksa karya-karya sejarah dan mengumpulkan kata-kata untuk kamus. Ikatan kerja saat itu belum didasarkan pada landasan yang formal. Imbalan Raja Ali Haji masih berupa hadiah. Belum ada wujud uang tunai. Sebenarnya ada tunjangan yang merupakan bagi hasil timah di Pulau Karimun dan Kundur. Namun hasil tambang itu mengecewakan. Baru pada sekitar akhir 1867 Raja Ali Haji menerima tunjangan bulanan sebesar 30
rial atau dollar Meksiko untuk pekerjaannya mengumpulkan bahanbahan kamus Von de Wall. Biasanya uang tersebut cukup, namun pada perayaan-perayaan bulan Islam, seperti Ramadhan dan Zulhijjah, ia meminta upahnya dibayarkan lebih dulu dengan mengurangi jatah bulan berikutnya.
Raja Ali Haji tidak sendirian dalam mengumpulkan naskah-naskah melayu kuno, ia mempekerjakan beberapa orang juru tulis dan membayar mereka untuk menulis dan menyalin penjelasan kata-kata Perkenalan Raja Ali Haji dengan Von de Wall dan intelektual Belanda membuat pemikirannya makin maju. Ia menganggap penting adanya mesin cetak. Dengan itu, ia dapat menghemat dan menekan mahalnya biaya penyalinan karena harus membayar tenaga penulis. Proses penyalinan dengan tenaga manusia juga melelahkan dan membutuhkan waktu yang panjang.
Karya
Raja Ali Haji paling masyhur di antara kaum intelektual Kerajaan Riau-Lingga akhir Abad 19. Beliau telah menulis dua buah buku dalam bidang bahasa Melayu yang juga bercampur dengan bidang pendidikan iaitu Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Buah karya beliau yang lain dalam bidang hukum dan pemerintahan iaitu Muqaddima Fi Intizam (1887) dan Tsamarat Al- Muhimmah (1888). Karya beliau dalam bidang sejarah iaitu Tuhfat Al-Nafis (1865), Silsilah Melayu dan Bugis (1866), Tawarikh al-Sughra, Tawarikh al-Wusta, Tawarikh al-Kubra, dan diperkirakan beliau juga menulis naskah Peringatan Sejarah Negeri Johor dan Sejarah Riau-Lingga dan Daerah Takluknya. Beliau pun menulis dalam bidang falsafah Melayu yang bersumber daripada agama Islam
yang digubah dalam bentuk puisi yakni karya yang sangat termsyhur Gurindam Dua Belas (1847). Tulisan beliau dalam bidang sastera (puisi), yang ada juga berbaur dengan bidang agama yaitu Syair Abdul Muluk (1846), Syair Suluh Pegawai (1866), dan Syair Siti Shianah (1866), Syair Awai, Syair Sinar Gemala Mestika Alam (1895), Syair Taman Permata, dan Syair Warnasarie. Jenis puisi yang khas iaini campuran daripada pantun dan syair ada juga ditulis beliau iaitu Ikat-Ikatan Dua Belas Puji (1858).
Dari ketujuh karya besar Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas bisa dikatakan sebagai karyanya yang paling cemerlang. Karya itu sebagai masterpiece. Sejarawan Aswansi Syahri mencatat, karya ini merupakan produk langka dalam kesusasteraan Riau-Lingga pada masanya. Gurindam Dua Belas, tampaknya adalah satu-satunya genre sastra dalam bentuk gurindam cara Melayu, yang pernah dihasilkan sepanjang perjalanan sejarah tradisi tulis dan sastra klasik Melayu Riau-Lingga sejak awal abad ke-19 hingga tiga dekade pertama kurun abad ke-20.
Menulis dan Mengajar
Siapa yang tak kenal dengan sosok Raja Ali Haji (RAH) dengan karya-karyanya yang monumental. Pahlawan nasional dari Pulau Penyengat itu. Tapi tak banyak yang tahu, RAH banyak menuliskan karya-karyanya itu bukan hanya di Penyengat, tapi juga di Pulau Pengujan, Bintan. Setiap akhir pekan, RAH menyepi ke Pengujan. Dalam buku Berkekalan Persahabatan: Surat-Surat Raja Ali Haji ke Von De Wall) yang ditulis Jan van der Putten dan Al Azhar hal.25, ditulis Raja Ali Haji banyak menghabiskan waktunya di Pulau Pengujan tiap akhirpekan. Pada tahun 1860-an, terkesan perhatian Raja Ali Haji lebih banyak tercurah pada hal yang berkaitan dengan agama, pengajaran, dan menulis
buku, dibanding jabatan resminya di istana. Dalam tahun-tahun terakhir surat menyuratnya dengan Von de Wall, ia semakin sering menyendiri ke Pulau Pengujan.
Jumlah murid RAH di Pulau Pengujan sebanyak 60-an orang. Murid-muridnya orang Melayu. Ia membangun sembilan pondok untuk tempat anak-anak belajar agama. Pondok itu dibangun sendiri, dindingnya kajang. Von der Wall juga sering diajaknya ke sana. Selain mengajar mengaji, ia juga menyiapkan menulis bahan untuk kamus Von de Wall di Pengujan. Anak-anak yang belajar mengaji juga tinggal di pondok-pondok itu. Anak-anak yang belajar agama berasal dari pulau-pulau sekitarnya, seperti Tembeling, Busung, Penaga hingga Penyengat.
Dalam membiayai operasional pendidikan anak-anak di Pengujan, RAH kesulitan masalah keuangan. Sebagai penasehat Yang Dipertuan Muda (YDM) bidang keagamaan dan yurisprodensi keislaman, penghasilan RAH tak memadai untuk membiayai keluarga dan murid-muridnya. Sebagai solusi untuk mencari penghasilan tambahan, RAH bercocok tanam, memelihara ternak di Pengujan. Ia juga ikut berdagang. Von de Wall juga sangat membantunya dalam masalah keuangan. RAH mendapatkan uang dan barang dari Von de Wall karena dibantu dalam hal Bahasa Melayu. Bantuan Von de Wall meringankan beban ekonomi RAH.
Di Pengujan selain mengajar dan menulis, RAH juga kadang bermain musik mengisi waktu. Ia pandai bermain gambang dan alat itu mudah dibawanya dari Penyengat ke Pengujan saat akhir pekan. RAH pernah meminta dicarikan sebuah gambang besi, atau tembaga, atau sejenis kromong dari logam di Betawi kepada von de Wall. Ia tertarik pula memiliki alat musik itu setelah mendengar von Wall baru membelinya di Betawi. Perhatian dan minat Raja Ali Haji akan musik tak terlepas dari pengalamannya selama mengikuti rombongan kunjungan kehormatan ayahandanya, Raja Ahmad Engku Haji
Tua, sebagai wakil Kerajaan Riau-Linga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bandar Betawi Darul-Masyhur pada tahun 1822.
Sumber:
Abdul Malik (2015), Kehalusan Budi Dalam Karya Raja Ali Haji. Tesis Doktoral di
Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, 2015.
Jurnal Renjis, BPNB Kepri, Edisi II Tahun 2017
Majalah Batampos Edisi 41 Tahun 2013