Politik Pembangunan dan Pelestarian Benda Cagar Budaya: Situs dan BCB di Kota Bengkulu

0
606

oleh: M Ali Surakhman (Pemerhati Sejarah)

Artikel ini akan membahas tentang strategi pemanfaatn CB yang berbasis pelestarian berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat luas. Secara implemantasinya akan menekankan pada pentingya mempedulikan masyarakat lokal di sekitar situs untuk terlibat secara penuh dan positif dalam pengelolaan warisan budaya dengan cara memberdayakan kemampuan mereka. Masyarakat perlu diajak “menghidupkan” warisan budaya di sekitarnya agar warisan budaya tersebut dapat “menghidupi” mereka baik secara lahir maupun batin. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pelestarian dan pengembangan warisan budaya yang dimiliki, agar aset yang dimiliki tersebut memberikan kontribusi balik berupa material maupun non material yang berguna untuk kehidupannya.

Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa masyarakat merupakan sebuah elemen yang sangat penting dalam upaya pelestarian benda cagar budaya. Hal ini mengarahkan sebuah upaya pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian di mana dalam pemberdayaan mengadung prinsip prinsip perencanaan seperti pendekatan sistem untuk mengembangkan interaksi sinergis antar komponen, metodologi pengembangan masyarakat dari dalam (development from within) yang niscaya bersifat emansipatoris dan partisipatoris, serta prinsip-prinsip perencanaan secara komprehensif, holistik dan karena itu harus bersifat terbuka (sampai pada tingkat tertentu boleh menjadi rolling plan) dan kontingen konstekstual, perlu diterjemahkan dalam tolok ukur yang terstruktur (Balitbang Depdagri, 1998: 8).

Pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang sedang trend dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini menurut Chambers (1995), mencerminkan paradigma baru pembangunan, yaitu yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, dan sustainable” (Wibowo, dkk, 2003: 6). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini lebih banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari hal-hal yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality, and intergenerational equity” (Wibowo, dkk, 2003: 7).

Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang memiliki keanggotaan fisik yang kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun nilai fisk diatas ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan seperti kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebhinekaan (bagi Indonesia).

Memberdayakan masyarakat dalam upaya pelestarian benda cagar budaya adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang tinggal di daerah sekitar benda cagar budaya. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat melalui upaya-upaya pelestarian benda cagar budaya. Dalam rangka pemikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat haruslah pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya pada pengenalan bahwa setiap manusia, masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena kalau demikian mestinya sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya membangun daya itu dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya itu harus diikuti dengan memperkuat potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana.

Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunieties) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Pemberdayaan ini bukan hanya meliputi penguatan individu masyarakat, tetapi juga pranata-pranata. Menanamkan nilai-nilai budaya – seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban – adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasian ke dalam kegiatan pelestarian benda cagar budaya serta peranan masyarakat di dalamnya. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang penting dalam hal ini.

Dengan dasar pandang demikian, pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian benda cagar budaya sangat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1992) menyatakan bahwa, “The empowerment approach, which is fundamental to an alternative develompent, places the emphasis on autonomy in the decisionmarking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct (participatory), democracy, and experiental social learning” (Wibowo, dkk, 2003: 8). 62

Untuk mencapai tujuan ideal strategi pelestarian benda cagar budaya pada masyarakat ini, kita perlu juga menganalisis SWOT karena kita harus melihat secara cermat permasalahan dasar yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang bersangkutan. mereka sangat penting dilakukan guna menentukan langkah perencanaan dan penerapan pelaksanaan program pemberdayaan. Dengan demikian, apabila dilakukan pelestarian benda cagar budaya, masyarakat dilibatkan secara penuh. Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis (dalam konteks ini dimaksud dengan proyek adalah upaya pelestarian benda cagar budaya). Empat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Proses ini melibatkan penentuan yang spesifik dsri pelsku bisnis atau proyek dan mengidentifikasikan faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.

Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya.

Kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu  Kata strategi berasal dari bahasa Yunani “strategia”yang diartikan sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan.

Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau mecapai tujuan. Strategi pada dasarnya merupakan seni dan ilmu menggunakan dan mengembangkan kekuatan (ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru. Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaanperusahaan Fortune 500 (Rahman, 2014: 2).

Dengan analisis SWOT memungkinkan perusahaan, lembaga, organisasi untuk mengidentifikasikan berbagai faktor, baik positif maupun negatif dari dalam dan dari luar perusahaan atau organisasi. Selain bisa diterapkan dalam bisnis atau organisasi, analisis SWOT bisa juga mampu diterapkan di berbagai bidang seperti kesehatan masyarakat, pembangunan, dan pendidikan. Peran kunci dari SWOT adalah untuk membantu mengembangkan kesadaran penuh dari semua faktor yang dapat mempengaruhi perencanaan strategis dan pengambilan keputusan, tujuan yang dapat diterapkan pada hampir semua aspek industri.

Ketika menyusun analisis SWOT, biasanya membuat tabel yang dibagi menjadi empat kolom dan penempatan setiap elemen mempengaruhi sisi lain sebagai perbandingan. Kekuatan dan kelemahan biasanya tidak akan sesuai dengan peluang dan ancaman dalam tabel, meskipun beberapa korelasi harus ada karena mereka saling terikat bersama dalam beberapa cara dan tidak dapat dipisahkan (Rahman 2014: 3).

Faktor internal

Setiap perusahaan, organisasi dan individu dipengaruhi oleh kekuatan eksternal baik terhubung langsung atau tidak langsung untuk sebuah kesempatan dan ancaman, masing-masing faktor sangat penting. Faktor eksternal biasanya merupakan referensi anda atau perusahaan yang tidak bisa dikontrol seperti: tren pasar seperti adanya produk produk baru dan teknologi atau pergeseran kebutuhan khalayak; tren ekonomi seperti lokal, nasional dan tren finansial sakala international seperti target usia dari khalayak, ras, gender dan budaya. Kerangka analisis SWOT beserta contoh penempatannya yang ditampilkan di Tabel 1. Untuk dapat memperoleh data terkait dengan kajian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa pengamatan, FGD (focus group discusion), dan studi literatur. Pengamatan dilakukan terhadap lokasi-lokasi benda 6 cagar budaya di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu.  yakni Benteng Marlborough, peninggalan kolonial Inggris yang masih terawat baik, rumah pengasingan Bung Karno di Kelurahan Anggut yang juga masih dalam kondisi baik.

Selanjutnya Masjid Jamik yang merupakan hasil karya arsitektur Bung Karno. Masjid tersebut terdapat di jantung kota dengan arsitektur yang masih asli, pemakaman Sentot Alibasya, pemakaman warga Inggris di Kelurahan Jitra, Tugu Thomas Parr dan Tugu Hamilton yang dibangun untuk memperingati dua pejabat militer Inggris yang meninggal saat perang di Kota Bengkulu

Dari enam BCB tersebut dua di antaranya menjadi andalan objek wisata sejarah Bengkulu yakni Benteng Marlborough dan Rumah Bung Karno. “Saat hari libur, pengunjung benteng bisa mencapai 500 orang, tapi keberadaan objek wisata sejarah ini belum optimal meningkatkan ekonomi kreatif.

B. Pembahasan

Benteng Marlborough adalah sebuah bangunan benteng pertahanan yang terletak di pesisir pantai Tapak Paderi – Kota Bengkulu. Benteng Marlborough ini dibangun oleh kolonial Inggris pada tahun 1914 – 1719 dibawah pimpinan Gubernur Jendral Josef Colin semasa pendudukan mereka di Wilayah Bengkulu. Benteng Marlborough adalah benteng terbesar yang pernah dibangun oleh Bangsa Inggris semasa kolonialismenya di Asia Tenggara. Konstruksi bangunan benteng Benteng Marlborough ini memang sangat kental dengan corak arsitektur Inggris Abad ke-20 yang ‘megah’ dan ‘mapan’. Bentuk keseluruhan komplek bangunan benteng yang menyerupai penampang tubuh ‘kura-kura’ sangat mengesankan kekuatan dan kemegahan. Detail-detail bangunan yang European Taste menanamkan kesan keberadaan bangsa yang besar dan berjaya pada masa itu.

Rumah Pengasingan Bung Karno merupakan tempat Soekarno menjalani hukuman pengasingan sebagai tahanan politik Soekarno diasingkan ke EndeFlores pada 14 Januari 1934. Ia diasingkan di sana selama empat tahun (1934-1938).Setelah itu, ia diasingkan ke Bengkulu.

Rumah ini terletak di tengah Kota Bengkulu, tepatnya di jalan Sukarno Hatta Kelurahan Anggut Atas kecamatan Gading Cempaka. Awalnya, rumah tersebut adalah milik seorang pedagang Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng yang disewa oleh orang Belanda untuk menempatkan Soekarno selama diasingkan di Bengkulu.[2] Soekarno menempati rumah itu pada 1938-1942.  Di rumah ini terdapat barang-barang peninggalan Soekarno.[4] Ada ranjang besi yang pernah dipakai Soekarno dan keluarganya, koleksi buku yang mayoritas berbahasa Belanda serta seragam grup tonil Monte Carlo asuhan Soekarno semasa di Bengkulu. Ada juga foto-foto Soekarno dan keluarganya yang menghiasi hampir seluruh ruangan dan yang tidak kalah menarik adalah sepeda tua yang dipakai Soekarno selama di Bengkulu

Potensi non arkeologi yang ada di wilayah BCB Kota Bengkulu dan sekitarnya adalah potensi penunjang yang sangat penting terkait dengan wisatawan, sehingga potensi penunjang ini dapat dipandang sebagai potensi yang dapat memperkuat usaha untuk membangun suatu tempat atau kawasan pariwisata. Tradisi tradisi juga sangat terkenal ke mancanegara yang sangat menarik minat para wisatawan, misalnya Ritual Tabot, di pantai Panjang, Kota Bengkulu,

b. Kelemahan Kawasan BCB Kota Bengkulu

Pelestarian benda cagar budaya tidak luput dari halangan yang mengancam situs ini berupa kelemahannya sendiri dan kelemahan yang berasal dari masyarakat. Berdasarkan hasil FGD, diperoleh data bahwa kondisi sosial ekonomi dapat menjadi faktor kelemahan dalam rangka kegiatan pelestarian benda cagar budaya. Hal ini ditunjukkan ketika benda benda cagar di jadikan objek wisata yang tidak terkelola dengan baik, maka banyak terjadi pengurasakan, oleh masyarakat, baik sengaja maupun tidak.

Peluang Kawasan BCB Kota Bengkulu

Benda cagar budaya yang lestari, secara ideal akan memberi peluang pemanfaatan peninggalan arkeologi, memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitarnya tanpa menimbulkan dampak negatif. Dalam hal ini, kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan lahir batin serta terpeliharanya nilai-nilai luhur budaya, demikian juga lingkungan hidup masyarakat setempat. Hal ini dapat diperoleh dari pemasukan pariwisata yang nantinya dapat dipakai dalam upaya pelestarian benda/situs cagar budaya. Pemanfaatan juga akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Peluang untuk mendapatkan penghasilan cukup besar dari pariwisata misalnya membuka peluang jasa seperti pemandu wisata, toko souvenir, membuat barang souvenir, dan sebagainya.

d. Ancaman Kawasan BCB Kota Bengkulu

Setiap objek cagar budaya yang dikembangkan menjadi daya tarik wisata, memiliki ancaman yang sulit untuk dihindari. Hal ini tergantung dari aturan-aturan yang diterapkan masyarakat. Semakin ketatnya aturan-aturan yang ada, maka semakin kecil pula ancaman yang akan diperoleh.

Ancaman lainnya merambat terhadap kerusakan situs. misalnya ada oknum yang tidak bertanggung jawab masuk ke areal situs dan melakukan vandalisme. Walaupun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang benda cagar budaya, ancaman tersebut harus dipertimbangkan juga.

dan masyarakatnya agar lebih berdaya, tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk melestarikan benda cagar budaya, tetapi sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi dan sosial aparatur pemerintahan beserta masyarakatnya dimana benda warisan budaya tersebut berada.

Pendekatan yang berorientasi pada masyarakat (community-oriented) menurut Prasodjo (2004), dalam implementasinya diwujudkan melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar situs. Pendekatan ini menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pihak pengelola warisan budaya dan pihak masyarakat di sekitar situs. Pihak pengelola, yakni pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (otonom) dalam upaya pelestarian akan memperoleh dukungan dari masyarakat setempat karena mereka membutuhkan peran dari warisan tersebut.

Sebaliknya, masyarakat juga akan memperoleh keuntungan baik moral maupun material karena warisan budaya dapat memberikan kontribusi konkret yang dapat meningkatkan taraf perekonomian dalam kehidupannya (Sulistyanto, 2014: 2).

Adapun strategi kedua adalah memperkuat struktur lembaga dalam rangka pelestarian benda/situs cagar budaya. Terbitnya Undang- Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya, diharapkan keberadaan lembaga ini berperan dan di dalam aktivitas masyarakat sehari hari. Yang dibutuhkan dalam strategi ini adalah lebih banyak kebebasan untuk bergerak dan iklim yang memungkinkan lembaga berkreativitas.

Pemerintah hanya memfasilitasi lembaga masyarakat dalam pembangunan, khususnya keterlibatan pemerintah dalam upaya-upaya pelestarian benda cagar budaya/situs. Kedua strategi tersebut jelas tidak terlepas satu dengan lainnya. Keduanya saling berhubungan. Pola hubungan tersebut perlu ditata agar menghasilkan suatu struktur kelembagaan di dalam masyarakat Kota Bengkuludan masyarakat yang bersinergi menuju ke arah pelestarian benda cagar budaya/situs dalam konteks pembangunan yang berkesinambungan, merata, dan tumbuh di atas landasan yang kokoh.

2. Konsep Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya di Kota Bengkulu

Sejarah dan proses menunjukkan bahwa pembangunan bersifat multi dimensi dan  tujuan pembangunan sangat bervariasi. Upaya untuk mencapai suatu tujuan harus terkait dengan yang lainnya. Saat ini para ahli dan praktisi pembangunan memahami bahwa pertumbuhan saja tidak cukup tanpa upaya pemerataan. Sebaliknya, pertumbuhan tetap diperlukan karena tanpa pertumbuhan akan terjadi kemandekan atau kemunduran. Upaya mencari cara pembangunan yang lebih baik dapat makin memenuhi berbagai tujuan dan sasarannya memang masih terus berlangsung, baik di bidang ekonomi maupun administrasi (Kartasasmita, 1996: 157).

 Dalam upaya itu strategi pembangunan harus ditujukan ke dua arah yaitu menyadari ada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial, yang memisahkan lapisan masyarakat yang maju dan berada di sektor modern, serta yang tertinggal dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan untuk kedua sektor itu tidak dapat disamakan begitu saja. Strategi seperti yang dipaparkan di atas tidak hanya menyangkut pembangunan ekonomi, tetapi juga terkait dengan pembangunan kebudayaan dalam konteks pelestarian benda/situs cagar budaya. Oleh karena itu, strategi pelestarian benda/ situs cagar budaya di dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat dilakukan melalui pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) aparatur pemerintahan Kota Bengkuludan masyarakat. Secara konkret, pemikiran tersebut didasarkan pada alasan bahwa masyarakat lokal tidak dapat diabaikan dalam segala kegiatan yang menyangkut keberadaan dan keberlangsungan warisan budaya di sekitarnya. Masyarakat lokal yang bertempat tinggal di sekitar situs pada hakekatnya merupakan pemilik sah dari warisan budaya (Groube, 1985: 58, Schaafsma, 1989: 38, Layton, 1989:1 dalam Tanudirjo, 1993/1994: 11-12; Sulistyanto, 2014: 3). Untuk itu, strategi yang pertama adalah memberdayakan aparatur pemerintahan daerah dan masyarakatnya. pemberdayaan aparatur pemerintahan daerah, masyarakat dan lembaga bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena pada dasarnya setiap hal yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Berdasarkan strategi, arah/jalur ada beberapa program yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kota KotaBengkulu/pemerintah Provinsi Bengkulu, lembaga pemerintah yang bergerak dalam bidang pembangunan kebudayaan, lembaga swadaya masyarakat dalam strategi pelestarian benda/situs cagar budaya di Koya Bengkulu melalui pemberdayaan aparatur pemerintahan, masyarakat, dan lembaga masyarakat yaitu:

1. Program Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)

Banyak teori-teori pembangunan mengatakan bahwa sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan berhasil atau tidaknya sebuah pembangunan. Sumber pertumbuhan, dalam teori endogen, antara lain yang dikembangkan oleh Romer (1990) yaitu meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian akan mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Teori pertumbuhan endogen ini didasarkan pada berbagai premis pokok antara lain pengenalan bahwa pasar tidak sempurna dan adanya eksternalitas dalam perekomomian. Teknologi atau penemuan-penemuan baru itu memberi eksternalitas bagi perekomian (Wibowo dkk, 2003: 54).

Pengembangan teori pertumbuhan endogen ini meningkatkan perhatian yang lebih besar terhadap pembangunan manusia. Apabila pengetahuan baru dan keterampilan dalam sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi tergantung pada peningkatan teknologi, pengetahuan, dan cara-cara baru dalam proses produksi, maka keberhasilan pembangunan akan ditentukan oleh proses akumulasi dari kualitas sumber daya manusia (Becker dan Tamura, 1990; Wibowo dkk, 2003: 56) ). Atas dasar itu, berkembanglah konsep mengenai modal manusia (human capital). Investasi dalam modal manusia yaitu memberdayakan aparatur pemerintahan, masyarakat, dan lembaga masyarakatdalam upaya pelestarian benda/situs cagar budaya harus dilakukan melalui tiga arah/jalur. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi aparatur pemerintahan dan masyarakatnya agar dapat berkembang (enabling) dalam rangka pelestarian benda/situs cagar budaya di wilayahnya. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap aparatur pemerintahan daerah dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan daerah (empowering) dan masyarakat. Dalam kerangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam upaya-upaya pelestarian benda/situs cagar budaya di wilayahnya.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah, termasuk dalam upaya-upaya pelestarian benda/situs cagar budaya yang berkesinambungan.

b. Mengadakan Penyuluhan-Penyuluhan

Di samping melaksanakan penataran-penataran secara bertahap seperti dikemukakan di atas, untuk memacu pemberdayaan stakeholder dan masyarakat dalam pelestarian benda cagar budaya juga harus dilaksanakan berbagai penyuluhan, baik oleh tim yang berasal dari pemerintah kota Bengkulu, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata maupun yang berasal UPT Kebudayaan, seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi

2. Program Pengembangan Kelembagaan

Untuk mendukung program pengembangan sumber daya manusia aparatur pemerintah daerahdalam upaya pelestarian benda/situs cagar budaya, program pembangunan kelembagaan masyarakatmenjadi teramat penting pula. Lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan perlu diperkuat agar pembangunan dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien.

C. PENUTUP

Benda/situs cagar budaya merupakan salah satu tinggalan yang dimiliki oleh sebuah komunitas masyarakat. Cagar budaya tidak hanya menceritakan peradaban suatu masyarakat dalam suatu wilayah, tetapi juga perwujudan peradaban umat manusia. Kota Bengkulu memiliki banyak tinggalan benda/situs cagar budaya, namun tidak semua tinggalan tersebut dalam kondisi baik walaupun pembangunan dalam upaya pelestarian benda/situs cagar budaya telah dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, perlu pelibatan masyarakat melalui upaya pemberdayaan. Tujuan pemberdayaan padah akekatnya memampukan masyarakat agar dapat mengaktualisasi diri dalam pengelolaan lingkungan budaya yang terdapat di sekitarnya dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa ketergantungan dengan pihak-pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA

Atmodjo, J. Satrio. 2009. Pelestarian Kawasan Purbakala Antara Konsep dan Realita. Buletin Penataan Ruang. Edisi November – Desember 2009. http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=214

Balitbang Depdagri. 1998. “Pemerintahan Desa”, Laporan Penelitian; tidak dipublikasikan, Jakarta: Balitbang Depdagri. 71

Susanto, Djulianto. Gampong . Apresiasi Masyarakat terhadap Benda Bersejarah Masih Rendah. http://djulianto-kompas.blogspot. com/2009/02/cagar-budaya-terancam.html.

Wibowo, Budi, dkk. 2003. Pemberdayaan Lembaga Mukim dalam Pembangunan Daerah Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Badan Perencanaan

Sulistyanto, Bambang. 2014. Pemberdayaan Masyarakat sebagai Pertanggung-jawaban

Sosial Arkeolog. http://www.hura-hura. wordpress.com/category/bambangsulistyanto/.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, Hal 58-71__

Benny Poerbantanoe, “Partisipasi Masyarakat Di Dalam Pelestarian dan Pendokumentasian Warisan (Arsitektur) Kota Surabaya Tahun 1706 – 1940,” Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 29, No. 1 (2001, Juli) 43 – 51.

Soejono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta: Rajawali (1983).

Slamet, Pembangunan Masyarakat Berwawasan Peran Serta, Surakarta: Sebelas Maret University Press (1994).