Pendokumentasian Ajaran Adat Mapur

0
554
Peserta diskusi terpumpun di pondok warga di Aik Bulan

Orang Belanda menyebut orang-orang Mapur dengan sebutan orang Lom atau Suku Lom. Pada waktu itu penyebutan tersebut berangkat dari anggapan bahwa orang Mapur tidak beragama, terutama Islam, sebagaimana umumnya orang Melayu. Kepercayaan yang diyakini dan dijalankan oleh orang-orang Mapur dianggap bukan agama. Meskipun Belanda telah pergi, anggapan yang serupa tetap terpelihara hingga sekarang.

Orang Belanda menyebut orang-orang Mapur dengan sebutan orang Lom atau Suku Lom. Pada waktu itu penyebutan tersebut berangkat dari anggapan bahwa orang Mapur tidak beragama, terutama Islam, sebagaimana umumnya orang Melayu. Kepercayaan yang diyakini dan dijalankan oleh orang-orang Mapur dianggap bukan agama. Meskipun Belanda telah pergi, anggapan yang serupa tetap terpelihara hingga sekarang.

Mapur Dangkel adalah kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun pada orang Mapur. Mereka meyakini kepercayaannya tersebut sebagai agama lokalnya yang setara dengan agama-agama lainnya. Banyak di antara mereka yang tetap berpegang teguh pada keyakinan tersebut. Mereka tidak mau memilih agama-agama resmi tersebut.

Namun, karena kebutuhan administratif (diharuskan negara) orang Mapur memilih satu di antara agama-agama resmi tersebut untuk dicatat pada berkas negara: Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK). Pun saat anak-anak mereka mendaftar masuk sekolah: untuk dapat pelajaran agama. Terdapat keterpaksaan saat memilih dan menentukan untuk mengisi kolom agama. Beberapa orang memilih mengosongkannya.     

Istilah Lom berasal dari kata “belum”. Maknanya adalah orang-orang Mapur tersebut belum atau tidak masuk Islam. Karena mereka belum beragama Islam seolah dianggap sebagai anomali dari masyarakat Melayu.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 97/PUU-XIV/2016 tanggal 7 November 2017 terkait Administrasi Kependudukan (Undang-undang Administrasi Kependudukan). Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi angin segar bagi penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk orang Mapur, terkait dibolehkannya mencantumkan kepercayaan mereka di dalam dokumen Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

2021 Lembaga Adat Mapur telah mendapat Tanda Inventarisasi dengan nomor: 0220/F2/KB/2021 dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat. Pada tahun yang sama lembaga tersebut juga telah mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Pemuka Penghayat Kepercayaan nomor: 0680/F2/KB.02.03/2021 atas nama Gedoi. Gedoi merupakan ketua adat Mapur Dangkel, kepercayaan orang Mapur.

Pendokumentasian Ajaran Mapur Dangkel

Sebagai tindak lanjut dari telah mendapat Tanda Inventarisasi tersebut Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat ini berupaya melakukan inventarisasi ajaran adat Mapur Dangkel. Kegiatan tersebut melibatkan pamong budaya dari Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan pamong budaya dari BPNB Provinsi Kepulauan Riau.  Kegiatan tersebut terdiri dari diskusi terpumpun dan mengunjungi lokasi-lokasi yang berhubungan dengan kepercayaan Mapur Dangkel.

Diskusi terpumpun dilaksanakan pada Selasa (21/06) di salah satu pondok (rumah yang berada di kawasan ladang/kebun) warga di Aik Bulan. Pondok ini dipilih supaya diskusi terpumpun tersebut dapat berlangsung secara kondusif: jauh dari suara hilir mudik kendaraan. Untuk mencapai pondok tersebut harus melewati hamparan perkebunan sawit.

Diskusi terpumpun yang berlangsung dari pagi hingga sore hari tersebut dihadiri oleh ketua dan pengurus Lembaga Adat Mapur, ketua dan perangkat adat Mapur dusun Pejem, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka, Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Dato’ Drs. Akhmad Elvian (Sekretaris LAM Kepulauan Bangka Belitung/Sejarawan & Budayawan), Tengku Sayyid Deqy (penulis Korpus Mapur), Totok Haribowo (pendamping desa wisata), PT. Timah, Kurniati & Derry Nodyanto (penulis Mapur Mendulang Kisah Meraup Berkah Bersama PT Timah Tbk), dan Desa Gunung Muda.

Diskusi terpumpun dilanjutkan Rabu (22/06) di Balai Adat Mapur di dusun Air Abik. Selain diskusi terpumpun pada hari yang sama dilanjutkan dengan melihat bentuk makam orang Mapur di dusun Air Abik, perkampungan lama di benak dusun Pejem dan makam tua orang Mapur yang berada di areal perkebunan sawit. Di benak dusun Pejem menjumpai nek Anya warga tertua orang Mapur. Usianya diperkirakan lebih kurang satu seperempat abad.

Peserta yang menyusuri bekas telapak kaki akik Anta beristirahat di pare akik

Pada hari Kamis (23/06) kegiatan mengunjungi lokasi-lokasi yang berhubungan dengan kepercayaan Mapur Dangkel di pantai Kopak. Untuk menuju pantai Kopak tersebut kami harus melintasi perkebunan sawit yang cukup luas. Karena kondisi habis hujan mobil hanya dapat mengantar di ujung kebun sawit. Perjalanan dilanjutkan dengan naik motor dan dilanjutkan dengan jalan kaki melalui hutan.

Sampai di pantai Kopak pemandangan hamparan batu-batu karang yang berserakan, besar dan kecil. Keberadaan batu karang ini melintang dari utara ke selatan kawasan tersebut. Warga setempat menyebut kawasan Karang Melintang. Kawasan tersebut mempunyai posisi yang penting bagi kepercayaan Mapur Dangkel.

Sampai di pantai Kopak tersebut hujan turun deras. Di tengah hujan deras dengan jalan kaki kami melakukan susur pantai. Yang pertama adalah ke arah kiri dari titik kami sampai di pantai. Hamparan batu karang mengharuskan kami berjalan secara lebih hati-hati dan waspada. Di sana terdapat batu karang yang licin. Banyak pula yang tajam. Kami menjumpai batu gendang yang berjumlah tiga buah batu yang terletak berdekatan.

Batu gendang ini batu karang yang bentuknya (dianggap) menyerupai gendang. Dalam tradisi lisan orang Mapur dulu akik Anta sering memukul-mukul batu gendang tersebut. Suaranya terdengar hingga jauh. Tidak jauh dari lokasi batu gendang kami menjumpai berupa batu yang panjang. Orang Mapur mengaitkan batu tersebut dengan legenda batu sabek (ular piton) dan sabeng (alur air laut).

Kami kembali ke arah kedatangan, di pantai tersebut. Perjalanan dilanjutkan ke arah kanan dari pantai kedatangan kami. Kali ini kami hendak mendatangi dan melihat bekas telapak kaki akik Anta di Tanjung pare akik.

Kondisi perjalanannya sama saja, hamparan batu karang yang besar dan kecil, licin dan tajam. Sama halnya dengan sebelumnya, perjalanan cukup menguras tenaga. Kami berhenti di pare akik. Pare akik ini menjadi penanda lokasi keberadaan bekas telapak kaki akik Anta berada. Bekas telapak kaki akik Anta tidak berada di pare akik tersebut, tapi tidak jauh dari sana. Setelah beberapa kali diamati hamparan batu karang tersebut, hari itu kami belum beruntung. Kami tidak belum dapat menjumpai bekas telapak kaki akik Anta tersebut. Ditengarai batu karang bekas telapak kaki akik Anta tertimbun pasir. Perjalanan pulang. Kembali kami harus menjajaki jalan setapak tanah yang licin dengan jalan kaki, menaiki motor hingga batas hutan, dan mobil untuk keluar dari area perkebunan sawit yang sepi. ***

(Jauhar Mubarok)

Sumber:
Ali Usman. Pemajuan Kebudayaan di Tanah Mapur
Reko Dwi Salfutra, dkk. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 bagi orang Lom di Kepulauan Bangka Belitung