Pantun Sebagai Identitas Diri Orang Melayu

0
46713

Oleh : Hendri Purnomo (BPNB Tanjungpinang)

Setiap bangsa pada umumnya memiliki bentuk pengucapan puitik yang disukai untuk menyampaikan alam pikiran, perasaan, dan tanggapan mereka terhadap kehidupan yang mereka hayati. Orang Jepang memiliki tanka dan haiku, dua ragam pengucapan puitik yang ringkas dengan aturan tertentu. Di Eropa soneta dan kuatrin merupakan bentuk puisi lama yang disukai orang Italia, Perancis, Inggeris, dan lain-lain. Orang Persia menyukai rubaiyat dan ghazal, dua bentuk puisi empat baris dengan aturan dan keperluan berbeda. Orang Melayu memilih pantun dan syair, sekalipun bentuk pengucapan lain seperti gurindam dan taromba (bahasa berirama) juga cukup disukai. Yang terakhir ini mirip dengan mantera.

Sebagai karangan terikat pada aturan persajakan tertentu, pantun memiliki kekhasan. Ia terdiri dari sampiran dan isi. Sampiran berperan sebagai pembayang bagi maksud yang ingin disampaikan, sedangkan isi berperan sebagai makna atau gagasan yang ingin dinyatakan. Walaupun pada umumnya pantun terdiri dari empat baris dengan pola sajak a b a b atau a a a a, tidak jarang terdiri dari enam atau delapan baris. Pantun delapan baris disebut talibun. Pada pantun empat baris, dua baris awal merupakan sampiran, sedang dua baris akhir merupakan isi. Dalam sampiran biasanya yang dinyatakan ialah gambaran alam atau lingkungan kehidupan masyarakat Melayu termasuk adat istiadat, sistem kepercayaan dan pandangan hidupnya.

Tidak banyak diketahui kapan pantun muncul dan dari akar apa ia dibentuk. Juga tidak banyak diketahui apa arti dari kata-kata pantun sebenarnya. Teks Melayu tertua yang dijumpai dan mulai menyebut pantun sebagai bentuk sajak yang popular dalam masyarakat Melayu ialah teks syair-syair tasawuf Abdul Jamal, penyair dan sufi Melayu yang hidup di Barus dan Aceh pada abad ke-17 M dan merupakan murid dari Syekh Syamsudin Pasai. Syair Abdul Jamal itu sebutan pantun dengan kata-kata seperti bandun, bantun, dan lantun. Secara tersirat dalam syair itu pantun disebut sebagai puisi yang biasa dilantunkan secara spontan untuk menyindir, berseloroh, dan menghibur diri. Berikut adalah satu contoh pantun Melayu yang sangat popular tentang percintaan:
Dari mana datangnya linta
Dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
Dari mata turun ke hati

Dalam perkembangannya dapat dilihat berbagai jenis-jenis pantun. Yakni, dari segi isi pantun dapat dibagi menjadi: (1) Pantun anak-anak; (2) Pantun cinta dan kasih sayang; (3) Pantun tentang adat istiadat dan cara hidup masyarakat Melayu; (4) Pantun teka teki; (5) Pantun pujian atau sambutan, misalnya dalam menyambut tamu di sebuah majelis; (6) Pantun nasehat, misalnya pentingnya budi pekerti; (7) Pantun agama dan adab; (8) Pantun cerita.
Kapan pantun muncul dalam sejarah kesusastraan Melayu? Tidak ada sarjana dapat memastikan. Namun ada sebuah bukti tertulis yang dapat ketahui, yaitu dalam risalah tasawuf Hamzah Fansuri Asrar al-Arifin (Rahasia Ahli Makrifat). Risalah itu ditulis oleh sang Sufi pada abad ke-16 M, namun naskah yang ada merupakan yang ditulis pada akhir abad ke-17 M. Ada dua rangkap puisi yang mirip pantun dijumpai dalam naskah tersebut.
Kunjung kunjung di bukit tinggi
Kolam sebuah di bawahnya
Wajib insan mengenai diri
Sifat Allah pada tubuhnya

Nurani hakikat khatam
Supaya terang taut maha dalam
Berhenti angin ombak pun padam
Menjadi sultan kedua alam

Pada pantun pertama, pembagian sampiran dan isi jalas. Sampiran berupa lukisan alam. Sedangkan isinya berupa gagasan. Begitu pula pola sajak akhirnya a b a b, seperti pantun pada umumnya. Namun pada pantun kedua perbedaan antara sampiran dan isi samar-samar, sedangkan pola sajak akhirnya a a a a. Yang menarik bahwa hubungan atau kesejajaran makna antara sampiran dan isi cukup jelas pada pantun pertama. Hubungan ini tersirat dalam citraan bukit yang tinggi dengan gagasan tentang diri yang hakiki. Apabila manusia mengenal dirinya yang hakiki atau hakikat dirinya ia akan memperoleh kemuliaan. Kolam merupakan citraan yang dapat dihubungkan dengan cermin, sedangkan tubuh manusia menurut pandangan sufi adalah tempat kita bercermin untuk mengenal sifat-sifat Tuhan.

Untuk membuktikan bahwa antara sampiran dan isi memiliki kaitan makna yang sifatnya tersembunyi, dapat dilihat contoh beberapa pantun berikut. Pantun yang mengandung nasehat ini terdapat dalam Hikayat Awang Sulung Merah Muda. Pantun ini lahir ketika dia bersemayam dengan istrinya Tuan Putri Dayang Seri Jawa di magun di atas sebuah peterana. Sang putri bertanya nama-nama pulau yang dilihatnya. Setalah menjelaskan pulau Tapai, pulau Keladi dan pulau Sembilan, ada sebuah pulau yang agak jauh yang ditanyakan namanya. Seperti sebelumnya dia menyebut nama pulau itu seraya berpantun seperti berikut:
Pulau Pandan jauh di tengah
Di balik pulau Angsa dua
Hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang jua

Dalam pantun ini jelaslah bahwa sampiran merupakan lukisan tentang alam. Fungsinya ialah sebagai citraan yang membangkitkan cita rasa akan keindahan lahir. Namun bagaimana pun juga citra pulau Pandan jauh di tengah memiliki kaitan arti dengan badan yang hancur dikandung tanah. Yaitu sesuatu yang tersembunyi dari penglihatan mata. Lebih jauh dinyatakan bahwa di depan pulau Pandan terdapat pula Angsa dua, yang disebabkan lebih dekat mudah dilihat. Begitu pula dengan budi baik, seseorang yang kita kenal, walaupun sudah tiada. Contoh lain ialah pantun berikut:
Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di dalam peti
Hutang emas dapat dibayar
Hutang budi dibawa mati

Kata-kata “Masak sebiji dalam peti” memberi gambaran sesuatu yang tersembunyi seperti budi. Sedangkan kata “Pisang emas dibawa berlayar” menunjukkan sesuatu yang kelihatan seperti halnya orang berhutang emas. Lihat pula pantun berikut ini:
Sudah puas kutanam ubi
Nanas juga dipandang orang
Sudah puas kutanam budi
Emas juga dipandang orang

Dalam pantun ini hendak disampaikan bahwa orang gemar melihat martabat seseorang berdasarkan penampakan lahir yang dimiliki. Tetapi lupa kepada sesuatu yang lebih penting yaitu budi, sebab tersembunyi, tersembunyi seperti halnya ubi yang tersembunyi dalam tanah. Jadi beda dengan nanas yang tampak di mata. Selain itu, pantun memiliki konteks sosial budaya. Ubi adalah tanaman domestik atau pribumi yang sudah dikenal lama oleh orang Melayu dan tidak sulit mendapatkannya. Tetapi nanas adalah tanaman yang didatangkan dari Amerika Latin pada zaman kolonial. Harga buah nanas jelas lebih mahal dari ubi. ltu sebabnya ia lebih dipandang dibanding ubi.
Kelap kelip kusangka api
Kalau api mana puntungnya
Hilang gaib kusangka mati
Kalau mati mana kuburnya

Kalimat kelap-kelip pada sampiran masih berkaitan dengan perkataan gaib. Teka-teki apakah orang hilang yang dibicarakan sudah mati atau belum dinyatakan melalui pertanyaan: “Kalau mati mana kuburnya?” Basis pada isi ini punya kaitan dengan basis kedua pada sampiran, “Kalau api mana puntungnya?” Api adalah tanda kehidupan dan puntung tanda kematian. Kubur begitu pula adalah tempat orang mati dikuburkan. Yang menarik ialah sampiran dan isi sama-sama indahnya kendati sederhana.
Contoh lain ialah pantun yang tergolong pantun nasehat atau pantun agama seperti berikut ini:
Kemumu dalam semak
Terbang melayang selaranya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya

Kemumu adalah burung yang tidak dapat terbang tinggi seperti burung yang lain pada umumnya. Ia dapat dijadikan perumpamaan bagi ilmu dunia, yang walaupun kelihatannya memiliki kekuatan tetapi tidak dapat mengangkat derajat manusia di sisi Tuhan. Di sini terdapat pandangan hidup orang Melayu yang jiwanya sudah diresapi ajaran Islam. Bagi sufi Melayu, shalat atau sembahyang dipandang sebagai mikrajnya orang Islam. Mikraj berarti pendakian atau penerbangan menuju hakikat tertinggi, yaitu Tuhan, yang tidak dicapai semata melalui ilmu pengetahuan rasional.

Sebelum dijelaskan betapa pantun merupakan identitas diri kehidupan masyarakat Melayu termasuk alam pikiran dan perasaaan, pandangan hidup dan kepercayaan serta adat istiadatnya, perlu kita lihat ciri-ciri estetik pantun. Melalui hasil penelitian sarjana seperti Winstedt, Wilkinson, van Ophuysen, Hooykaas, Harun Mat Piah dan dan Noria Mohamed, dan lain-lain, kita dapat menjelaskan seperti berikut: Pertama, pantun pada umumnya terdiri dari empat baris dengan pola bunyi akhir a b a b atau a a a a. Kendati demikian terdapat pantun yang terdiri dari dua, enam, dan delapan baris. Yang terakhir ini disebut talibun. Kedua, setiap baris merupakan kesatuan yang terpisah, walau tidak jarang berkesinambungan dengan baris berikutnya. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, yang membayangi isi yang akan dihadirkan. Baris ketiga dan keempat disebut isi, berupa gagasan dan tanggapan yang hendak dinyatakan. Ketiga, baris sampiran dan isi kerap memiliki kaitan arti di samping kesejajaran bunyi. Keempat, tiap baris pada umumnya mengandungi empat kata dasar dengan jumlah suku kata antara delapan sampai sepuluh. Kelima, sering terdapat klimaks berupa perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan pada bait isi. Keenam, sampiran pada umumnya berisi lukisan alam yang terdapat di lingkungan sekitar. Ia sering hadir sebagai pencitraan simbolik yang dapat menjelaskan pandangan estetik orang Melayu, kedekatan dengan alam dan budaya masyarakatnya.

Adapun ciri batinnya dapat dirasakan melalui makna simbolik dari citraan dan gagasan yang hendak dihadirkan yang merujuk pada pandangan hidup, alam perasaan, gagasan, kepercayaan dan sistem nilai yang dihayati masyarakat Melayu setelah mereka menganut agama Islam. Ciri batin inilah yang secara keseluruhan mencerminkan kehidupan masyarakat Melayu, khususnya berkenaan dengan estetika, metafisika dan sistem sosial serta kekerabatan bangsa Melayu. Bagi orang Melayu semua itu saling terkait dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Ini tercermin dalam pantun ringkas seperti berikut:
Yang kurik kundi, yang merah saga
Yang baik budi, yang indah bahasa

Tidak mengherankan jika Daillie (1988: 6) mengatakan bahwa pantun memberikan gambaran ringkas kehidupan dan alam orang Melayu dalam sebutir pasir. Di dalamnya tergambar semua unsur kehidupan manusia Melayu meliputi tanah, rumah, kebun, ladang, sawah, sungai, laut, gunung, hutan, pepohonan, buah-buahan, binatang, burung, ikan dan lain sebagainya; hal-hal bersahaja dalam kehidupan keseharian. Pantun juga mengekspresikan adat istiadat dan kebiasaan, kearifan, kepercayaan dan perasaan orang Melayu tentang segala hal, termasuk cinta mereka kepada sesama manusia, cinta kasih lelaki dan wanita, serta cinta kepada Tuhan dan Nabi.
Perhatikan pula pantun yang mengandung kritik seperti berikut ini:
Apa guna asam paya
Kalau tidak menggulai ikan
Apa guna lagak dan gaya
Kalau bahasa tidak dibicarakan

Bagi orang Melayu budi bahasa lebih penting dibanding lagak dan gaya. Ini selaras dengan adab Islam. Dalam Adab Islam orang menjadi terhormat bukan disebabkan kekayaan dan lagak lagunya. Tetapi karena memiliki pengetahuan, mengenal kearifan dan dapat menuturkan pikirannya melalui bahasa yang bagus. Kecuali itu, dalam mengemukakan pendapat selalu didasarkan pengetahuan yang benar dan pertimbangan pikiran yang matang. Pantun yang baru saja dikutip menunjukkan pula betapa pentingnya bahasa sebagai sarana untuk meningkatkan kecerdasan. Sayangnya, pengajaran bahasa Indonesia sekarang ini diabaikan dan banyak orang lupa bahwa asal-usul bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu.
Pantun berikut ini mengandung ulangan kata-kata lengkap. Isinya adalah pandangan orang Melayu bahwa tidak patut seseorang itu menyalahkan kelahiran. Penyebab burukya nasib seseorang bukan disebabkan takdir, melainkan karena seseorang terlalu jauh berangan-angan dan menurutkan hawa nafsu:
Tidak salah bunga lembayung
Salahnya pandan bila menderita
Tidak salah bunda mengandung
Salahnya badan salah meminta

Pandan menderita karena durinya. Badan menderita karena duri angan-angan dan hawa nafsu. Bunga lembayung dan bunda mengandung sangat sarasi. Bunga lembayung sangat indah. Seorang anak lahir dari kandungan ibu berkat cinta dan kasih sayang. Dalam pandangan ahli tasawuf, cinta terkait dengan keindahan. Sesuatu dicintai karena memancarkan keindahan. Kata-kata al-rahman dan al-rahim yang kita baca setiap harinya dalam kalimat Basmalah mengandung arti cinta. Yang pertama, al-rahman atau Maha Pengasih adalah cinta Tuhan yang asasi (dzatiyah), yang diberikan kepada semua makhluk-Nya. Sedangkan al-rahim atau Maha Penyavang adalah cintanya yang wajib (wujub), artinya wajib diberikan kepada orang yang benar-benar beriman, bertaqwa, dan beramal saleh di jalan Allah. Kata-kata al-rahim diserap ke dalam bahasa Melayu dan diberi arti rahim ibu. Cinta seorang ibu kepada anaknya memang wajib diberikan.

Demikian pembahasan sekelumit tentang pantun sebagai identitas diri orang Melayu, semoga bermanfaat.