Orang Tianghoa dan Kontrak Tambang Timah di Karimun (Catatan dalam Arsip Kolonial)

0
1024
Daerah timah di Kepri dan Babel

Orang Tianghoa memegang peranan penting dalam pertambangan timah masa lampau. Masyarakat Cina kelas bawah berperan penting dalam memproduksi timah yang dibutuhkan oleh pasar internasional, akan tetapi sejarah mereka dalam studi sejarah sosial-ekonomi Indonesia selama ini terabaikan. Walaupun demikian, nasib mereka menurut Wolf, tak ubahnya sebagai people without history. Implikasi lebih jauh dari keterabaian sejarah masyarakat Cina nampak dalam buku sejarah nasional Indonesia yang sangat kecil memberikan tempat kepada perjalanan sejarah etnik ini dalam porsi yang kecil. (Erman,2006).

Di Indonesia, kecuali daratan Sumatra, yakni di Bangkinang, Provinsi Riau, persebaran deposit timah dilihat dari segi urutan produksinya lebih banyak berada di wilayah kepulauan Bangka, Belitung, Singkep, Karimun, dan Kundur. Dari wilayah-wilayah ini, Bangka-Belitung adalah dua pulau yang telah lama menghasilkan timah dan terbanyak dilihat dari sudut produksi.

Wilayah penambangan timah yang sudah dimonopoli oleh VOC, dikelola oleh tauke-tauke Cina dengan mengadakan kontrak perjanjian dengan Sultan atau raja-raja setempat. Sampai tahun 1914, timah yang dieksploitasi dan ditambang oleh para penambang Cina nampaknya tak tersaingi oleh perusahaan besar Inggris. Perusahaan timah besar Inggris kalah bersaing dengan para tauke Cina dalam soal perekrutan tenaga kerja Cina dari negeri asalnya dan dalam soal produksi. Hal yang sama juga berlaku di Bangka, Karimun dan Kundur. Timah yang dimonopoli perdagangannya oleh VOC, ditambang sebagian besar dengan mendatangkan para penambang Cina. Pada mulanya dari Batavia dan Semenanjung Malaya dan Siam, kemudian langsung dari Cina ataupun lewat Singapura dan Penang. Singapura sebagai pusat tenaga kerja Cina.

Keberadaan orang Tianghoa dalam pertambangan timah di Karimun tercatat dalam arsip kolonial Belanda. Dalam arsip Riouw nomor 229/3, adanya permohonan membuka penambangan timah di Karimun. Surat tanggal 30 April 1901 berisi, Radja Mohammad Tahir (Raja Muhammad Tahir) Ibni Raja Haji Abdullah (Yang Dipertuan Muda Riau IX) yang mendapat kuasa dari kerajaan menerima permohonan (permintaan) tiga orang Tianghoa bernama Tjia Sien, Liong Tjipa dan Jong Soen untuk mencari tempat yang berisi galian timah di Poeloe Karimon (Karimun) dari Soengei Pangka hingga Soengoei Barau
dan di poeloe Koendoer (Kundur). Kedua belah pihak sepakat melakukan perjanjian atau kontrak kerjasama. Ada sembilan isi kontrak itu.

Isinya, antara lain, setiap hasil bijih timah yang didapat maka orang Tianghoa itu wajib membayar 15 persen kepada Raja Muhammad Tahir. Pembayaran dilakukan sebelum bijih timah dibawa dari lokasi penambangan untuk dieskpor ke Singapura. Orang Tianghoa itu juga wajib membayar seperempat dari hasil keuntungan tambang dan dibayar sekali setahun. Kerugian dalam penambangan tak dibebankan kepada kerajaan dan menjadi tanggungjawab penambang saja.

Dalam perjanjian poin ketiga juga dibunyikan, orang Tianghoa itu kalau melakukan penjualan timahnya, wajib memberitahukan kepada Raja Muhammad Tahir atau wakilnya. Bijih timah itu hanya boleh dijual kepada tempat Raja Muhammad Tahir biasa menjual timahnya. Karung atau jungkung timah wajib memakai cap Raja Muhammad Tahir.

Pada poin kelima, apabila Raja Muhammad Tahir menyerahkan hak menggali bijih timah kepada orang lain, perusahaan orang putih (maatschappij Orang Poetih), itu bisa dilakukan. Pekerjaan penggalian timah tak boleh merugikan kerajaan dan kekurangan keuntungan bagi Raja Muhammad Tahir. Lama perjanjian atau kontrak delapan tahun, mulai 30 April 1901 hingga 30 April 1909. Surat perjanjian diberikan kepada Tjia Sien dan satu lagi tinggal di Raja Muhammad Tahir.
Surat kontrak kerjasama itu dibacakan didepan ketiga orang Tianghoa, baru ditandatangani. Perjanjian juga ditandatangi kedua belah pihak dan disetujui Controleur Karimon, LM.F.Plate dan Secretaris V.d.Velde. Sosok Raja Muhammad Tahir yang membuat kontrak kerjasama dengan orang Tianghoa itu adalah anak Raja Haji Abdullah (YDM Riau IX). Ia dikenal sebagai hakim dalam kerajaan dan juga dikenali sebagai tokoh Thariqat Naqsyabandiyah.

Dalam arsip Riouw No 225/8 juga ada informasi terkait penggalian timah di Karimun. Ada kabar Nies, petugas dari Karimon mengabarkan telah memulai pemggalian timah di Karimun. Controlur Karimun diminta mencegah dan menahan aktivititas penggalian timah sebelum ada kontrak atau perjanjian dengan kerajaan. YDM Raja Muhammad Yusuf diminta memberi juga kepada Controleur Karimun untuk tidak menerima hasil tambang Nies itu. Surat itu tahun 1890 di Penyengat, 24 hari bulan syawal hari chamis sanah 1307.

Keberadaan orang Tianghoa dalam penambangan timah di Karimun juga tercatat dalam arsip lain. Dalam buku Pulau-Pulau Terdepan Wilayah Indonesia (Kontrak Perjanjian Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Jilid IV), terbitan Arsip Nasional, 2009 ditulis ada kasus perompakan tongkang orang Cina di Perairan Tembelas, Karimun tahun 1901. Ada laporan dari controleur Karimon ke Residen Belanda di Tanjungpinang bernama VL de Lannoij telah terjadi perompakan tongkang bernama Kim Swee Bee tanggal 23 Mei 1901 di Perairan Temblas (Karimon). Berikut laporannya:

“Sa-boeah tongkang bernama Kim Swee Bee taikongnya bernama Oh Sing telah berlajar dari Singapore pada 22 hari bulan Mei ini, maka pada 23 Mei tongkang itoe dirampas oleh ampat Orang Malajoe, ia itoe di dekat Poeole Temblas (Karimon)”.
Aksi perompakan berlangsung cukup tragis. Anak buah kapal (ABK) kapal tongkang bernama Tan Lan terjun ke laut dan berenang ke Pulau Karimun. Tekong atau nahkoda tongkang, cincu dan lima ABK terjun ke laut. Kondisi tekong, cincu dan seorang ABK luka-luka. Hanya Tan Lan yang selamat sampai di Karimun dan melapor ke Controleur Karimon adanya kasus perompakan.

Dalam surat ke resident ini, ada permintaan untuk menyelidiki kasus ini dan menangkap pelakunya. Surat ke Resident Belanda di Tanjungpinang tertanggal 28 Mei 1901. Setelah beberapa bulan, Resident Belanda VL de Lannoij mengiimkan surat balasan terkait penyelidikan perompakan ini.Hasil penyelidikan, orang yang diduga kuat melakukan perompakan adalah Radja Said Besar yang tinggal di Kuala Lapian, dekat Kwala Sabak (Muara Sabak), Jambi. Dalam merompak, Radja Saiod Besar dibantu dua Orang Laut bernama Mahidin dan Cidiq. Mereka tinggal di Soengai Terap, Retih yang kini jadi wilayah Indragiri Hilir.** (Dedi Arman, terbit di Harian Tanjungpinangpos)