KOPRA PULAU TUJUH DALAM CATATAN PERJALANAN

0
1927
Sisa Stok Kopra Anambas di Salah Satu milik Pengepul. foto: Anastasia Wiwik Swastiwi, 2017.

(Anastasia Wiwik Swastiwi, Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau)

Mengenal Pulau Tujuh

Pulau Tujuh adalah wilayah yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Tengah tanggal 18 Mei 195. Saat itu, wilayah ini menggabungkan diri ke dalam Wilayah Republik Indonesia dan Kepulauan Riau yang diberi status Daerah Otonomi Tingkat II dan dikepalai Bupati sebagai kepala daerah.  Berdasarkan Surat Keputusan itu, Pulau Tujuh adalah sebuah Kewedanan yang meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tembelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.

Dalam perkembangannya, Kewedanaan Pulau Tujuh yang membawahi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur beserta kewedanaan laiannya dihapus berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/247/5/1965. Berdasarkan ketetapan tersebut, terhitung 1 Januari 1966 semua daerah administratif kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau dihapus.

Wilayah Kewedanan Pulau Tujuh sebagian masuk dalam Kabupaten Natuna . Kabupaten Natuna terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 dari hasil pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau yang terdiri dari 6 Kecamatan yaitu Kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Barat, Jemaja, Siantan, Midai dan Serasan dan satu Kecamatan Pembantu Tebang Ladan. Seiring dengan kewenangan otonomi daerah, Kabupaten Natuna kemudian melakukan pemekaran daerah kecamatan yang hingga tahun 2004 menjadi 10 kecamatan dengan penambahan, Kecamatan Pal Matak, Subi, Bunguran Utara dan Pulau Laut dengan jumlah kelurahan/desa sebanyak 53. Hingga tahun 2007 ini Kabupaten Natuna telah memiliki 16 Kecamatan. 6 Kecamatan pemekaran baru itu diantaranya adalah Kecamatan Pulau Tiga, Bunguran Timur Laut, Bunguran Tengah, Siantan Selatan, Siantan Timur dan Jemaja Timur dengan total jumlah kelurahan/desa sebanyak 75. Hingga akhir tahun 2008 terjadi pemekaran menjadi 19 kecamatan dengan penambahan, Kecamatan Palmatak, Subi, Bunguran Utara, Pulau Laut, Pulau Tiga, Bunguran Timur Laut, Bunguran Tengah, Bunguran Selatan, Serasan Selatan, Siantan Timur, Siantan Selatan, dan Siantan Tengah. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2008 terbentuk Kabupaten Kepulauan Anambas. Secara administrasi pada tahun 2015, Kabupaten Kepulauan Anambas terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan dengan rincian 2 (dua) kelurahan dan 52 (lima puluh dua) desa. Kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas adalah Jemaja, Jemaja Timur, Siantan Timur, Siantan, Siantan Tengah, Siantan Selatan, dan Palmatak. Dengan demikian, Pulau Tujuh merujuk pada wilayah Natuna-Anambas (kini).

Natuna-Anambas pada masa Kerajaan Riau-Lingga tercatat dalam  Perjanjian antara Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan Residen Riau Nieuwenhuyzen tanggal 1 Desember  1857, disebutkan bahwa :

Yang menjadi daerah kekuasaan Sultan dalam daerah Kerajaan Melayu Riau Lingga termasuk dalam daerah takluknya yaitu :

  1. Pulau Lingga dan pulau-pulau sekitarnya, pulau-pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Temiang dan pulau sebelah barat Selat Sebuaya.
  2. Pantai pesisir Pulau Sumatera disebut pula; yaitu pulau-pulau yang terletak dan barat Selat Durai. Demikian pula pulau-pulau yang terletak di sebelah barat Selat Riau, sebelah selatan Singapura dan Pulau Bintan.
  3. Di daerah-daerah lainnya pulau-pulau Anambas yang diperintah Pangeran Siantan, Pulau Natuna Besar di bawah pemerintahan Orang Kaya Bunguran. Pulau Natuna sebelah utara diperintah Orang Kaya Pulau Laut, pulau-pulau Natuna selatan dibawah Orang Kaya Subi, Pulau Serasan dibawah Orang Kaya Serasan, Pulau Tambelan di bawah Petinggi Tambelan.
  4. Begitu juga daerah Inderagiri Hilir bagian hilir, Kuala Gaung, Kuala Sapat dan Retih, semuanya masuk kedalam Kerajaan Melayu Lingga Riau.

Perjanjian itu diperkuat lagi dengan sebuah perjanjian antara Sultan Abdurrahman Muazam Syahdengan Residen Riau Willem Albert De Kanter tanggal 18 Mei 1905. Isi perjanjian tersebut  antara lain menyebutkan :

Pasal 2 Ayat 1

Adapun di dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga dan daerah takluknya termasuk :

  1. Sekalian pulau-pulau yang termasuk dalam lingkungan Lingga Riau, Batam, Karimun dan pulau-pulauTujuh kecil.
  2. Sekalian pulau-pulau Anambas.
  3. Sekalian pulau-pulau Natuna.
  4. Sekalian pulau-pulau Tambelan.
  5. Sekalian pesisir pulau Perca (Sumatera) di sebelah utara Kuala-kuala Inderagiri yang bernama Danai, Kateman, Mandah, Igal, dan gaung di sebelah selatan Kuala Inderagiri yang bernama Retih.

Stbl. 1911 No 599, wilayah Pulau Tujuh (Natuna-Anambas) ditempati seorang “Amir” setara Camat (kini) oleh Sultan Riau-Lingga untuk mendampingi Datok-datok (Datok Kaya) selaku tokong Pulau (Penguasa Pulau) yang terdiri 7 (tujuh) orang Datok yaitu :

  1. Datok Kaya Jemaja
  2. Datok Kaya Siantan
  3. Datok Kaya Tambelan
  4. Datok Kaya Serasan
  5. Datok Kaya Pulau Subi
  6. Datok Kaya Pulau Laut
  7. Datuk Kaya Bunguran

Ketujuh Datok Kaya ini langsung sebagai pemegang adat dan kepada adat setempat yang mengatur system pemerintahan tradisional. Seorang Amir yang ditempati atau diangkat oleh Sultan atas persetujuan Residen Riau, adalah sebagai pejabat yang membantuKontelir dan segala laporan tentang keadaan wilayah kerjanya harus melapor ke Tarempa tempat kedudukan Kontelir Belanda (Wedana).

Tahun 1913, Kerajaan Riau-Lingga berakhir. Oleh karena itu, daerah kekuasaan KerajaanRiau-Lingga langsung diperintah oleh Belanda dibawah pimpinan seorang Resident. Pemerintahan di PulauTujuh (Natuna-Anambas) diatur dengan Stbl. 1913 No. 19 dan ditetapkan berlakunya kepala-kepala distrik sebagai berikut :

  1. Kepala Distrik Tarempa
  2. Kepala Distrik Sedanau
  3. Kepala Distrik Serasan

Jabatan Kepala Distrik tersebut adalah mantan-mantan Amir dan Datuk Kaya. Sedangkan dari sembilan daerah datuk kaya yang ditetapkan sultan sebelumnya masing-masing: Pulau Laut, Pulau Bunguran, Pulau Panjang, Pulau Subi, Pulau Serasan, Pulau Siantan, Letung, Ulu Maras, Kuala Maras, diciutkan hanya menjadi dua kawasan Datuk Kaya yaitu Orang Kaya Bunguran dan Orang Kaya Pulau Laut. Sedangkan Datuk Kaya lainnya diberhentikan karena korupsi. Di bawah distrik dan onderdistrik terdapat kepala-kepala kampung yang digaji.

Dalam konteks ekonomi maritim, pertahanan dan ketahanan wilayah, adalah sektor yang sangat strategis. Maka potensi kelautan itu memerlukan banteng pertahanan dan keamanan, dan itu adalah banteng masuk ke Indonesia karena Kepulauan Riau khususnya Pulau Tujuh (Natuna-Anambas) adalah kawasan perbatasan terdepan dengan luas perairan dan garis pantai yang luar biasa panjangnya.

Perekonomian Pulau Tujuh

Berdasarkan naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan  ditulis oleh Raja Ali Kelana pada 1313 Hijrah bertepatan tahun 1896 M di Kepulauan Riau, mayoritas penduduk Pulau Tujuh adalah Melayu, namun terdapat juga penduduk Cina. Mereka berprofesi sebagai pedagang dengan cara membuka kedai. Peranan mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga mengumpulkan hasil kebun mereka berupa kelapa. Orang Cina bersedia menampung kelapa tersebut. Meskipun hubungan orang Melayu dan orang Cina saling membutuhkan tetapi hubungan mereka seringkali renggang.   Pada umumnya, mata pencaharian  masyarakat Pulau Tujuh selain sebagai nelayan adalah berkebun kelapa dan rumbia. Dari hasil berkebun tersebut, setiap tahunnya menghasilkan 1500 – 2500 buah per kampung. Dalam satu kampung rata-rata terdiri atas 350 kepala  keluarga, dengan total jumlah penduduk per kampung mencapai 1750 jiwa.

Pernyataan itu diperkuat catatan Antoine Cabaton (2015)  bahwa di Kepulauan Natuna-Anambas  terutama Bunguran pada abad itu, dihuni oleh 1.000 jiwa manusia, orang Laut, Melayu, dan Cina, yang hidup sebagai nelayan dan dari kelapa. Pulau-pulau lainnya hanya berpenghunikan total 1.400 jiwa seluruhnya yang tergolong lebih sulit kehidupan ekonominya  dibanding orang-orang di Bunguran. Sedangkan sembilan puluh enam pulau kecil dengan hutan dan pegunungan yang membentuk kelompok Anambas dihuni sekitar 4.000 penduduk. Mereka mengolah sagu-sawit dan kelapa yang diolah menjadi kopra. Mereka memancing, membangun perahu, dan mengekspor sedikit kayu bangunan ke Singapura. Perdagangan utama pulau ini adalah dari satu sisi ke sisi lainnya, dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya. Karena perdagangan pulau ini terutama berada di tangan orang Cina, maka keuntungan yang diperoleh penduduk pribumi nyaris kecil.

Kopra, Koperasi dan Kebijakan Penguasa

Kopra adalah daging buah kelapa yang dikeringkan. Kopra merupakan salah satu produk turunan kelapa yang sangat penting, karena merupakan bahan baku pembuatan minyak kelapa dan turunannya. Untuk membuat kopra yang baik diperlukan kelapa yang telah berumur sekitar 300 hari dan memiliki berat sekitar 3-4 kg. Proses kopra bisa dilakukan dengan cara 4 (empat) macam yaitu dengan pengeringan di bawah sinar matahari (sun drying), pengeringan dengan pengasapan di atas api (smoke curing or drying), pengeringan dengan pemanasan tidak langsung (indirect drying) dan pengeringan menggunakan solar system (tenaga panas matahari). Pemilik kelapa biasanya segera menjual kopra kepada para pengepul dengan harapan segera mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Adalah Pulau Midai salah satu bagian Pulau Tujuh, yang berdasarkan inisiatip Kerajaan Riau-Lingga dibuka lahan untuk ditanami pohon kelapa pada tahun 1895. Lahan itu dibuka untuk meningkatkan kesejahteraan Kerajaan. Hasil pohon kelapa ini semakin menggeliat dengan didirikannya sebuah Syerkah atau sejenis koperasi yang diberi nama “Ahmadi”. Koperasi ini bahkan oleh Bung Hattta dinyatakan sebagai koperasi tertua di Indonesia.

Setiap tahun oleh kerajaan memungut dan mengambil hasil kelapa yang telah diolah menjadi kopra untuk dijual ke Singapura. Saat itu, wilayah Pulau Tujuh (Natuna-Anambas) merupakan penghasil kopra terbesar di Riau-Lingga. Sehingga bermuncullah syerkah-syerkah (koperasi) di wilayah Pulau Tujuh. Wan Taruhsin (2002) menyebut koperasi itu antara lain

  1. Di Pulau Midai didirikan Syerkah Ahmadi pada tahun 1906. Syerkah Ahmadi ini diberi nama oleh Raja Ali (T. Selat), selaku penasehat Kerajaan Riau-Lingga, mengingat jasa-jasa Yang Dipertuan Muda Riau ke-10 yaitu Raja Mpehammad Yoesoef Al Ahmadi.
  2. Perusahaan Ahmadi Pulau Tujuh membuka cabangnya di Singapura yang bernama “Syerkah Ahmadi & Co. Midai” di Jalan Sultan No. 101 Singapura, pada tanggal 14 Juni 1915.
  3. Syerkah Natoena Co di Sedanau yang disponsori oleh Raja Haji Idris di saat beliau masih menjabat sebagai Amir (wakil Sultan) di Sedanau.
  4. Syerkah Pulau Siantan yang dipusatkan di Tarempa yang kantornya di ujung Pelantar berdekatan dengan Kuala Sungai Beremban (kokop), dan didirikan pada tahun 1913 oleh Haji Moehammad bin Haji Moehammad Noer, dan sebagai penasehat H. Moehd. Yoesoef Penghulu Siantan.

Pada masa Kerajaan Riau-Lingga, kolonial Belanda juga memiliki wewenang untuk menarik pajak perdagangan, pajak hasil bumi dan pajak perorangan. Hal itu diatur dalam perjanjian antara kolonial Belanda dengan Kerajaan Riau-Lingga yang dikenal dengan Contract met Lingga, Riouw en Onderh, 18 Mei 1905. Terkait dengan pajak terhadap kopra adalah sebagai berikut.

  1. Tjukai 5 % dari harga jang terpakai di Pulau Tudjuh pada waqtu dikeluarkan dari kelapa kering (kopra) dan minjaq kelapa jang dikeluarkan dari Pulau Tudjuh itu.
  2. Tjukai $ 1.50 pada tiap 1000 kelapa bulat jang dikeluarkan dari Pulau Tudjuh.

Setelah penguasa Belanda menghapuskan Kerajaan Riau Lingga berdasarkan Stbld. 1913 No. 51, maka diterbitkan pula surat keputusan baru berdasarkan “Javache Ceoranrt dan Cewestelijkkeur 11.c”  yang menetapkan bahwa pungutan cukai oleh Datuk Kaya diteruskan dengan catatan orang luar dikenai cukai, sedangkan bagi masyarakat tempatan bebas cukai.

Untuk menguatkan kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda di wilayah Pulau Tujuh, maka diterbitkan sebuah keputusan Stbld. 1913 No. 19 agar dibentuk “Onderdistrictcht dengan menempatkan seorang Amir dimana adanya seorang Datuk sangat jelas begitu jelas. Dengan dibubarkannya Kerajaan Riau Lingga, maka makin leluasalah Kolonial Belanda menjalankan roda pemerintahan, dan terakhir dengan Stbld 1917 No. 55 menetapkan belasting (cukai) hasil kopra di wilayah Pulau Tujuh (Natuna-Anambas), dan kekuasaan Datok Kaya semakin lemah karena tindakan sepihak oleh penguasa Belanda.

Kopra Kini

Keberhasilan pembangunan, salah satunya harus dilihat sejauh mana kegiatan perekonomian rakyat mampu dikembangkan menjadi perekonomian nasional. Kelapa merupakan salah satu komoditas perkebunan srategis untuk pengembangan perekonomian rakyat. Kini, salah satu wilayah di Pulau Tujuh sebagai penghasil kelapa adalah Pulau Mangkai. Secara administrasi, pulau ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Jemaja Kabupaten Anambas. Hampir sebagian daratan di pulau ini ditumbuhi oleh pohon kelapa dan tidak berpenduduk. Namun potensi kelapa bahkan yang telah diolah menjadi kopra masih belum mampu menjadi penopang strategis perekonomian rakyat Pulau Tujuh (Natuna-Anambas).  Di samping, menurunnya produk kelapa pada wilayah ini, menurut Pranadji (1989), bahwa beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah 1.) Pasar kelapa yang cenderung monopsonis, sehingga menempatkan petani menjadi penerima  harga yang tidak menguntungkan. 2.)Lemahnya informasi dan infrastruktur pemasaran, kurang menciptakan kegairahan petani kelapa untuk melakukan perbaikan teknik budidaya/produksi dan kegiatan pasca panennya. 3.) Sistem industri pengolahan kelapa belum berkembang sehat, terutama berkaitan dengan dukungan kegiatan produksi dan pasca panen petani kelapa.4.) Kebijakan pemerintah yang bias ekspor membawa akibat kurang menguntungkan bagi pemasaran kelapa rakyat. (Terbit di Harian Tanjungpinangpos, 19 Agustus 2017)