Balitbang Kemendikbud Teliti Komunitas Adat Suku Laut Lingga

0
272

LINGGA- Aktivis Buta Aksara Jembatan Ilmu Desa Pena’ah, Lingga, Densy Diaz sambut baik wacana dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan pengkajian mendalam terkait pelayanan pendidikan bagi komunitas adat terpencil di kabupaten Lingga, yakni kelompok suku asli, orang Suku Laut.

Bunda panggilan akrab Diaz oleh warga suku laut di Pena’ah yang sejak beberapa tahun terakhir menjalankan aktivitasnya berbagi ilmu mengajari baca tulis warga asli tersebut mengatakan, dalam pertemuan awal yang berlangsung dikantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (disdikpora) pada Rabu (15/6) kemarin secara resmi ia diundang sebagai salah satu narasumber dari warga lokal.

“Allhamdulillah saya sangat senang. Akhirnya, ada jalannya bagi orang asli kita dan kini telah mendapat perhatian serius dari pemerintah soal pendidikannya. Selama ini, karena tidak ada pendidikan, warga suku laut selalu dipandang sebelah mata,” tutur Diaz, Kamis (16/6).

Ia berharap, adanya penelitian langsung dari Balitbang ini, pemerintah dapat menyiapkan apa yang sesuai dan memang menjadi kebutuhan masyarakat suku laut kepulauan Lingga untuk mendapatkan hak yang setara. Terutama soal pendidikan dan kesehatan. Meski hak-hak terebut, bagi kelompok adat juga tercatat secara jelas dalam aturan undang-undang tentang pelayanan pendidikan bagi komunitas adat, boleh dikatakan sejak 12 tahun terbentuk kabupaten Lingga maupun Provinsi Kepulauan Riau sama sekali hal tersebut tidak berjalan.

Akibatnya, hingga kini penduduk asli kepulauan Riau tersebut semakin terpinggirkan. Lebih parah lagi, jumlah keseluruhan warga asli suku laut tidak pernah terdata secara real di Kepri. Apalagi dalam praktik pelayanan pendidikan yang jauh dari memadai seperti pelayanan pendidikan terhadap keyakinan yang tidak optimal. Meski kini sudah banyak yang beragama islam maupun nasrani, namun tidak pernah dikirimkan para guru dan enaga pendidik untuk warga suku laut.

“Banyak sekali persoalan mendasar bagi orang Suku Laut kita. Mulai dari indentitas, hak akta kelahiran yang sampai saat ini masih banyak yang belum memiliki. Bebrapa diantara mereka sekolah dan cukup berprestasi. Tapi untuk menyambung ke sekolah yang lebih tinggi, tidak ada akte kelahiran menjadi kendala,” jelasnya.

Soal pelayanan pendidikan kata Bunda Diaz, bersama teman aktivis ia ingin sekali membangun sekolah non-formal. Yakni sekolah alam. Berisi edukasi, pengenalan lingkungan dan menunjang kearifan lokal suku laut untuk lebih dikembangkan termasuk khazanan pengobatan dan obat tradisioanl yang alami. Hal ini, dikatakan Diaz ternyata juga sejalan dengan konsep yang sedang digarap Balitbang Kemendekbud untuk mencari metode praktik pendidikan informal dan non-formal yang dibutuhkan komunitas adat suku laut.

“Intinya kita sangat mendukung. Mudah-mudahan penelitian dan pelayanan pendidikan suku laut di Lingga segera berjalan,” tambahnya.

Sementara itu, ditempat lain Zulkifli Harto, staf Balai Pelestarian Nilai dan Budaya Tanjungpinang yang juga ikut mendampingi Balitbang Kemendekbud yang datang ke Daik Lingga mengatakan, kegiatan tersebut dalam rangka pelayanan pendidikan bagi komunitas adat.

“Kita mencari solusi tepat terhadap pelayanan pendidikan bagi suku laut. Hasil dari penelitian Balitbang ini nanti akan menjadi kebijakan. Di Indonesia, hanya 2 komunitas adat yang menjadi contoh dan diteliti yakni suku Badui di Bandung dan Suku Laut di Lingga, Kepri,” tutupnya. (Batampos, 17 Juni 2016).