Bangkitnya Dadung dari Mati Suri

0
418
Foto bersama maestro Dadung

Oleh: Nafri Dwi Boy (Komunitas Gemulun Jambi)

Bermula Dari Keinginan

Cerita diawali di masa teknologi belum berkembang dan terbatasnya sarana hiburan masyarakat. Lebih dari seratus tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 1870 Dadung mulai masuk ke desa Lubuk Ruso dan sekitarnya. Semua bermula saat seorang anak raja bernama Dadung akan melaksanakan pesta. Saat itu dia mulai memikirkan hiburan untuk acara tersebut, Dadung meminta hiburan berupa melantunkan syair-syair dengan suara yang merdu.

Oleh karena itu, diadakanlah acara hiburan Dadung. Tokoh “Dadung” sendiri mempunyai suara yang merdu. Banyak masyarakat yang terpana melihat kepiawaian Dadung dalam melantunkan syair. Tanpa disadari, masyarakat di sana mulai melantunkan syair-syair yang sering dinyanyikan oleh Dadung. Dari sanalah semua bermula, Dadung mulai mendapat tempat di hati masyarakat.

Pelantun Dadung biasanya mempunyai suara yang merdu, karena pada awalnya Dadung dilantunkan tanpa diiringi alat musik. Vokal menjadi senjata utama untuk melantunkannya, bahkan Pedadung melantunkan syair tanpa menggunakan pelantang. Banyak wanita yang terpikat dengan pria yang pandai melantunkan Dadung. Dari sanalah Dadung mulai memasuki puncak kejayaannya. Bermula dari keinginan seorang “Dadung” untuk menghadirkan sarana hiburan di pestanya.

Dadung dan Masa Kejayaan

Lama kelamaan tradisi ini sering disebut dengan Bedadung, karena spontanitas masyarakat yang menyebutnya begitu. Tidak hanya itu, syair-syair yang dilantunkan juga spontanitas tanpa direncanakan. Ketika masa kejayaannya, banyak masyarakat lihai Bedadung. Awalnya Dadung hanya diiringi dengan alat musik Rebano Siam, hampir setiap masyarakat Lubuk Ruso dan sekitarnya mempunyai alat musik ini. Perlahan alat musik yang mengiringinya mengalami perkembangan. Dadung juga diiringi dengan alat musik lain: gong, gambus, dan viul sampai saat ini.

Biasanya Dadung dimainkan di malam hari mulai pukul sepuluh malam hingga empat pagi menjelang Subuh. Bedadung dimainkan untuk menghibur masyarakat yang sedang memasak buat pesta esok harinya. Saat itu, masyarakat yang hendak melaksanakan pesta atau acara lainnya selalu memasak makanannya di malam hari. Maka, mereka memainkan Dadung sebagai hiburan sekaligus penyemangat.

Semua masyarakat berhak terlibat dalam memainkan Dadung. Karena tidak ada ketentuan khusus yang mengikat isi syairnya. Banyak syair-syair yang dilantunkan menceritakan tentang kehidupan sehari-hari. Biasanya isi syair itu memuat tentang percintaan, curahan hati, kegelisahan, keinginan, dan lainnya sesuai dengan suasana hati pedadung. Karena itu, selain sebagai sarana hiburan Dadung juga berfungsi sebagai sarana komunikasi karena terjadi saling balas syair. Saling balas syair inilah yang menyebabkan pembahasan dalam syairnya tidak pernah habis. Bisa disimpulkan pula bahwa pedadung sangat pandai merangkai syair secara spontanitas.

Meski begitu, irama dari lantunan syairnya punya ciri khas yang harus dipenuhi. Dalam penampilannya, syair Dadung terbagi menjadi enam bagian: Bedadung, Rante Peti, Ketimbang Banjar, Samawo, Mambang, dan Dundang Sayang. Setiap bagian punya irama tersendiri yang menjadi ciri khasnya.

Bagian Bedadung menceritakan tentang mulainya pendekatan, berikut contoh bagian Bedadung yang dilantunkan oleh Datuk Azis selaku salah satu maestro Dadung:

Ditana seberang nanam selasih

Mudik keseberang menanam padi

Suda banyak abang berkasih

Adik seorang belahan hati

Kemudian masuk pada bagian Rante Peti, menceritakan tentang telah hadirnya rasa kasih dan sayang dalam hati.

Rantai peti rantai agung

Untuk perantai mulut meriam

Sampai hati adik bingung

Bingung dimabuk rindu dendam

Bila sebelumnya perasaan itu baru sampai di dalam hati, memasuki bagian Timang Banjar mulailah bercerita bahwa masing-masing pedadung sudah menyatakan perasaannya.

Buah cempedak diatas sento

Dusun pelayang sebelah kiri

Jika tidak abang bercinto

Tidak abang datang kemari

Setelah masing-masing pedadung menyatakan perasaannya, barulah sampai pada bagian Sawawo. Bagian ini menceritakan sepasang kekasih itu telah menyatakan kato seiyo untuk mengikat janji.

Rantau dukun diulu kampung

Pasang cemetik desa Sengeti

Abis rantau berganti kampung

Baru betemu yang mengikat hati

Ketika kato seiyo telah dinyatakan, sampailah pada bagian Mambang yang menceritakan tentang keyakinan akan cinta sehidup semati. Kedua pedadung saling meyakinkan bahwa mereka saling cinta.

Desa Sabak disebelah kiri

Dusun Bengkalis nama negeri

Abang tidak bimbang lagi

Ambil keris belahlah diri  

Dadung ditutup dengan bagian Dundang Sayang, bagian ini bisa juga disebut dengan acara bersuka ria.

Belibis burung belbis

Kasi makan didado dulang

Main kami sudah habis

Minta izin kami nak pulang

Itulah bagian-bagian ketika memainkan Dadung. Meski begitu, isi dari syairnya bisa disesuaikan dengan kreativitas dan isi hati pedadungnya. Tapi irama yang disenandungkan tidak bisa diubah, pedadung harus mempelajari irama itu karena telah menjadi ciri khasnya.

Bangkit Dari Mati Suri

Sekitar empat puluh tahun tradisi Dadung sempat mati suri. Selama itu, masyarakat tidak pernah lagi memainkan Dadung. Banyak hal yang menyebabkan mati surinya Dadung, ditambah lagi semakin banyaknya acara hiburan yang modern. Eksistensi Dadung perlahan mulai surut, hingga benar-benar hilang dari peredaran.

Empat puluh tahun sudah cukup bagi tradisi ini untuk beristirahat sejenak. Hingga saat ini beberapa maestro: Datuk Aziz, Husein, Wahab, dan lainnya berusaha menggairahkan masyarakat untuk kembali Bedadung. Tekad yang kuat dalam diri mereka muncul karena kecintaan terhadap tradisi itu.

Benar saja, usaha para maestro membuahkan hasil dengan ditetapkannya Dadung sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2020. Tapi perjalanan belum selesai, tantangan terbesar muncul setelahnya. Tanggung jawab moral lebih besar dalam menentukan langkah ke depannya demi perkembangan Dadung.

Tentu membangkitkan kembali tradisi ini dari mati surinya tidak hanya sebatas penetapan sebagai Warisan Budaya Takbenda saja. Bahkan para maestro juga mengatakan bahwa tidak terlintas di pikiran mereka Dadung akan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda. Artinya, menghidupkan kembali tradisi ini murni karena tekad untuk melestarikannya kembali.    

Semua itu tidaklah mudah, tantangan terbesar bagi mereka adalah zaman yang memang telah berubah. Dadung harus bisa mengikuti perkembangan zaman jika ingin memasuki hati generasi muda. Jika ingin membuat “candu” masyarakat seperti kecanduan mereka terhadap gawai.

Dadung tidak boleh menahan perubahan, tapi harus menjadi bagian dari perubahan itu. Memanfaatkan perkembangan teknologi menjadi salah satu cara untuk melekatkan Dadung di hati masyarakat. Tapi semua itu tidaklah mudah, butuh bertahun-tahun untuk mengembalikan Dadung ke puncak kejayaannya. Selama ada tekad dan keinginan untuk saling berkolaborasi, bisa saja suatu saat nanti Bedadung kembali mendapat tempat di hati masyarakat. **