Merawat Adab dan Akal Budi (21 Tahun Daik Bunda Tanah Melayu)

0
738

Oleh: Muhammad Hasbi S.Sn ( Penggiat Budaya Kemdikbud )

Peristiwa 4-8 Juli 1999 silam menjadi titik tolak sejarah baru di Daik Lingga. Bekas Ibukota yang bertamadun seabad lebih sebagai pusat terakhir Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang itu lama telah lenyap ditelan rimba. Disingkirkan oleh politik.

Meski bahasa Melayu yang berkembang di Daik menjadi salah satu dasar bahasa Indonesia hari ini, ianya tak pernah dapat ditemukan dalam bacaan sejarah dibangku sekolah. Keberadaanyapun seolah tidak tercatat sebagai salah satu Kerajaan Islam di Nusantara.

Namun begitu, 21 tahun silam orang-orang melayu yang menolak amnesia sejarah berkumpul kembali. Mereka sepakat pulang kampung di lembah Gunung Daik sebelah selatan setelah lama terpisah akan batas negara.

Tepatnya pada 4-8 Juli 1999, ketika 127 orang lelaki dan wanita dari Malaysia, Brunei, Thailand, Singapura dan Indonesia berkumpul pada rangkaian wisata sejarah. Salah satu program Perkampungan Penulis Melayu Serumpun (PPMS), yang diberi tajuk Kembara Gapena ke Gunung Daik Bercabang Tiga.

Bukan sekedar wisata sejarah, peserta yang dengan latar belakangnya adalah penulis tersebut sepertinya sengaja digiring menuju perkampungan yang memiliki arti sesungguhnya sebagai sebuah kampung dalam devinisi Melayu.

“Kami ingin mengajak saudara-mara serumpun untuk mencicip dan mengecap bagaimana bahang, kahang, payau, manis, masin, kelat, dan pelaknya sebuah kampung sebenarnya. Daik memberi jawaban itu semua,” kata Yusmar Yusuf, Budayawan Melayu (Daik Boenda Tanah Melayu, 2000: 32)

Benar lah perkataan Yusmar Yusuf. Daik pada tahun 1999 itu memanglah sebuah kampung terpencil, bahkan sangat jelas tergambar dalam Antologi Kembara Budaya Gapena, “Daik Bonda Tanah Melayu”. Kumpulan karya tulisan oleh 47 orang penulis mulai dari karya esai, cerpen, sajak, pantun dan syair memberi gambaran betapa terpinggirnya saat itu.

Dari Tanjungpinang, persis seperti seperti bulan Juli, peserta diayunkan gelombang laut selatan namun masih bersahabat4. Melewati pulau-pulau kecil yang terhampar begitu saja. Para peserta dari semenanjung yang baru pertama kali ke Daik, tak sabar ingin membuktikan kebenaran pantun Melayu yang melegenda itu. Tak ada yang tau pasti siapa pengarang dan bagaimana bisa dengan zamannya, pantun tersebut menyebar ke seluruh daerah Melayu. Perjalanan wisata yang hari ini menjadi sejarah tersebut juga menjadi pembuktian tentang kebenaran Pulau Pandan dan Gunung yang bercabang tiga dan kelak mencari jawaban benarkah akal budi itu juga masih tersimpan dalam pribadi orang-orang Melayu di Daik.

Menuju Tanah Bunda

Saat itu, Ferry yang mengangkut peserta lawatan sejarah tidak langsung singgah di pelabuhan Tanjung Buton. Ferry hanya bisa bersandar di pelabuhan Pulau Mepar karena pelabuhan Tanjung Buton saat itu rusak parah. Dari sana, peserta diangkut menggunakan pompong dengan kapasitas lima sampai enam orang menuju pelabuhan Tanjung Buton yang memakan waktu lebih kurang 15 menit.

Mungkin menjadi pengalaman luar biasa yang harus dihadapi para penulis saat itu. Namun, melihat sambutan orang Daik, peserta ditaburi beras kunyit sebagai ungkapan selamat datang, baju kurung Teluk Belanga yang dipakai berwarna warni serta keindahan alam yang luar bisa membuat sejumlah rombongan meneteskan air mata haru.

…..”jiwa seakan diseret kembali ke dunia lama dua abad lalu di masa-masa kejayaan Kerajaan Lingga. Dihadapan mata seperti disajikan pertunjukan teater dan kita ikut bermain di dalamnya dengan setting baru yang lebih modern dan kolosal. Negeri dimana tapak sejarah tamadun Melayu pernah berjaya”…. (Daik Boenda Tanah Melayu, 2000: 36).

Dari Tanjung Buton, peserta harus menempuh lagi jarak lebih kurang 6 kilometer, menggunakan ojek. Saat itu mobil di Daik hanya ada dua unit, satu mobil dinas milik Camat yang saat itu adalah Drs Yahya Arif dan satu unit lagi milik pengusaha arang di Lingga. Mau tidak mau, seluruh peserta diangkut dengan ojek untuk sampai ke pusat pemerintahan.

Sampai dirumah Camat Lingga tamu dipersilahkan untuk mengisi perut terlebih dahulu kemudian menuju acara di Lapangan Hang Tuah Daik, alun-alun yang dibangun masa Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud III). Di gerbang masuk peserta disambut silat dengan dua buah alat musik gendang panjang, gong dan serunai. Pembukaan acarapun dimulai. Tetamu mengambil tempat masing-masing yang kemudian di nyanyikanlah untuk pertama kalinya lagu Pulau Lingga karya Alm M Imran Nuh atau Ayah Im oleh ibu-ibu yang satu dianataranya biduan Lingga, Sarifah Faridah.

Tak habis disana, 65 orang penari puteri Daik mempersembahkan ragam tari dengan alunan musik pengiring sebanyak enam tarian: Tari Makan Sirih, Tari Inang, Zapin, Tari Joget, dan Silat karya Ayah Im kemudian ditutup dengan Hadrah. Baru kemudian peserta diarahkan menginap di rumah-rumah masyarakat yang sudah disediakan.

Meski ditengah keterbatasan saat itu, cita rasa perkampungan yang memang dicari oleh peserta benar-benar dapat dirasakan. Lewat menginap dirumah masyarakat orang-orang Melayu yang memang suka bebual susur galur, dan persamaan bahasa yang sangat kuat memberi para penulis pengalaman ditambah lagi masakan khas langsung dari dapur-dapur Melayu yang kelak menjadi ibu angkat para peserta.

Beragam kegiatan lain sesuai rencana berjalan. Diskusi budaya berlangsung di Balai Serba Guna yang kini sudah dirobohkan dan dibangun kantor. Lokasinya tepat di depan SMPN 1 Lingga. Disana, diskusi dan penggalian umber-sumber sejarah dilakukan. Terutama soal Bahasa Melayu yang kemudian menjadi dasar utama menjadikan Daik sebagai Bunda Tanah Melayu.

Sejumlah peserta lain melakukan perjalanan napak tilas objek sejarah, bekas istana, melihat koleksi yang diselamatkan oleh masyarakat seperti di rumah Alm Said Hamid. Belum ada Museum saat itu.

Pada malam hari pertunjukan seni dan permainan rakyat tampil. Seni lokal. Seni orang Daik yang tidak akan ditemukan ditempat lain. Seni yang berkembang disekitar Istana. Seni-seni yang mungkin tak pernah lagi ditemukan lagi di Bunda Tanah Melayu hari ini. Seni orang Daik yang semakin tidak diberi ruang untuk ditampilkan.

Adab dan Akal Budi

Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabanh tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik dikenang juga

Setiap manusia pasti mati. Tapi tidak dengan amal dan perbuatan baik yang terus menerus akan hidup dan diajarkan turun-temurun sebagai bagian dari akal budi manusia. Mungkin begitu makna dari pantun Melayu yang melegenda di atas. Sampiran yang semula dianggap hanya mitos namun nyata kebenarannya. Beruntunglah hari ini, perkembangan teknologi yang juga membawa orang-orang Melayu dapat melihat Gunung Daik yang memang jauh terpencil di semenajung Melaka.

Lantas, mengapa pantun ini mengambil tema akal budi? Apa maksud yang sebenarnya dari pantun tersebut? Lalu bagaimana dengan hari ini, Daik Bunda Tanah Melayu yang seiring waktu berubah pula menjadi Lingga Bunda Tanah Melayu dan kemudian hari muncul pula Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu. Terlepas dari hal tersebut, perlu digaris bawahi politik dan kepentingan lain atas nama Melayu terus terjadi untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu. Tentu hal ini jauh sekali dari harapan Deklarasi Daik Bunda Tanah Melayu 20 tahun silam.

Dr Yusmar Yusuf M. Psi, dalam kegiatan PPMS 1999 mengatakan, Daik tentu saja boleh menjadi “Perkampungan Penulis”. Tapi seperti yang disebut dalam pantun;

Gunung Daik bercabang tiga
Patah satu tinggallah dua
Maksud baik tiada tercela
Tapi jangan sampai menunggu masa

Nyatanya, sampai saat ini 20 tahun berjalan, Kabupaten Kepulauan Riau yang telahpun menjadi Provinsi sendiri dan Lingga menjadi Kabupaten, arah dan kebijakan juga belum jelas dalam hal pembangunan dibidang kebudayaan. Kalaupun ada yang nampak hanya “latah budaya”. Budaya menjadi alat politik identitas, untuk kekuasaan dan sifat buruk yang tentu ditolak oleh semua orang Melayu. Boleh dikatan, bukan lagi menjadi bagian dari Melayu.

Di Malaysia, orang-orang yang berjasa dalam penulisan antologi Daik Bunda Tanah Melayu memberi ruang untuk kreatifitas penulisan seperti lomba mengarang, penerbitan, kursus/bengkel penulisan, diskusi karya, penataran bakat kreatif dan seminar sebagai bagian dan upaya mengangkat harkat dan martabat Melayu itu sendiri. Hal ini juga yang dimaksudkan dalam kegiatan Perkampungan Penulis dan isi Deklarai Bunda Tanah Melayu 4-8 Juli 1999 tersebut.

……”Dalam konteks ini, orang Melayu harus mengakui dan melakukan legitimasi bahwa yang Daik itu identik dengan sebuah gerakan politis. Daik itu identik dengan sebuah gerakan kondisi geografis. Daik itu sebagai sebuah simbolisasi bahasa Melayu serumpun. Daik itu juga adalah sebuab penyesalan dan kesalahan setting sejarah politik masa lalu”….. (Sejarah Daik dan Politik Bahasa Melayu, Daik Boenda Tanah Melayu, 2000: 65)

Salah satu yang perlu kemudian muncul sebagai bentuk kesadaran adalah terbitnya Kamus Melayu Serumpun. Dan itu telah mulai di Daik dan perlu terua digesa dengan melibatkan lebih banyak lagi penulis-penulis Melayu yang kuat. Agar kesalah sejarah masa lalu tidak lagi terulang.

Daik memiliki pijakan yang kuat dimana Percetakan Rumah Cap Kerajaan pernah ada, mungkin menjadi yang pertama di Nusantara. Seni dan Budayanya begitu kental dan upaya meregenerasi saat ini oleh orang-orang Melayu di daerahnya sendiri sebagai pemegang kebijakan masih jauh dari kesadaran tersebut. Sebut saja Gamelan Melayu, merekontruksi hubungan budaya antara Daik-Jawa-Pahang, Nobat yang monumental, Zapin Daik yang menjadi salah satu cara pengembangan Islam dan masih banyak lagi. Seharusnya, 70 persen konten atau isi kegiatan di daerah wajib memberi ruang kepada seni dan budaya tradisi sebagai bagian Bunda Tanah Melayu.

Dari segi bahasa, Daik menurut Yusmar Yusuf adalah “Benteng Lidah Orang Melayu”. Belakangan, bahasa serapan mulai populer dan berkembang, Nasi Kuning jadi Tumpeng. Ada juga Unduh Mantu padahal bahasa Melayu Daik juga ada yang bisa mengartikan peristiwa tersebut.

Kemudian dengan tapak sejarah Kerajaan Lingga yang ada dan masih utuh yakni Masjid Jami’ dan Sekolah tidakkan memberi satu kesimpulan bahwa Sultan Lingga menaruh perhatian penting terhadap Agama dan Pendidikan? Bagaimana pula dengan empat buah Makam Sultan, Makam Merah YDM, bekas istana dan benteng-benteng pertahanan serta sistem irigasi kuno lubuk bendung?

Kitab-kitab, aturan Hukum Mahkamah, sistem Pertanahan/agraria yang menurut sejumlah sumber kemudian menjadi rujukan Hukum Pertanahan di Negara Indonesia hari ini belum cukup membuktikan bahwa Taji Melayu berada dk Daik?

Disisi pertahanan pangan, perkebunan sagu masih kokoh dan masih menjadi penopang ekonomi. Teknologi tradisional yang diterapkan menjadi sebab alam dan ekosistem terjaga dengan baik.

Keanekaragaman hewan dan tumbuhan di Gunung Daik dengan puluhan tanaman langkanya, tanaman herbal yang masih terjaga belum juga membuat pemegang kebijakan memberi perhatian lebih untuk pemanfaatan yang lebih manusiawi guna ilmu dan pengetahuan? Lalu bagaimana bisa kegiatan-kegiatan di daerah tidak menjadikan semua hal ini sebagai rujukan untuk menjadikan Daik semakin mantap sebagai Bunda Tanah Melayu. Pemerintah malah memasukkan event berburu babi dalam agenda menjual pariwisata Festival Gunung Daik tahun 2017 lalu yang “mencoreng” muka orang Melayu Daik dengan segala hal yang telah dibangun pada masa Kesultanan Lingga hingga upaya perkampungan penulis mengangkat kembali Daik untuk muncul kd permukan.

Lemahnya kesadaran dan latah budaya yang terjadi belakangan seharusnya tidak lagi perlu terjadi. Orang Melayu Daik tidak membangun peradaban fisik (kota dan gedung), mereka membangun kesadaran mental, akal dan budi. Tonggak yang ditancapkan oleh Perkampungan Penulis Melayu Serumpun menjadi acuan langkah kemana Daik Bunda Tanah Melayu apa dan harus menjadi apa.

…..”Di Bunda Tanah Melayu ini pula pernah terkenal sebagai imperium kebudayaan yang lebih mengutamakan keperkasaan otak ketimbang kilauan kapak seperti yang berhadap-hadapan dengan keseharian kita beberapa periode belakangan ini. Dengan bingkai akal budi seharusnya peradaban sekarang ini dibangun. Karena dengan akal fikiran, Yusmar berfalsafah: Kita tidak akan pernah kalah oleh kebodohan”……(Daik Boenda Tanah Melayu, 2000: 32)