Oleh:
Dedi Arman
(ASB Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri)
Forum Diskusi Terpumpun yang digelar Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat tentang Kajian Perlindungan Cagar Budaya Situs Pulau Basing, Tanjungpinang, Senin (19/11) lalu di Hotel Melin, mengungkap sejumlah fakta menarik terkait pulau yang digadang-gadangkan bisa jadi ikon wisata baru Kota Tanjungpinang. Dua arkeolog senior, Teguh Hidayat (BPCB Sumbar) dan Lukas Partanda Koestoro (Mantan Kepala Balar Sumatra Bagian Utara) memaparkan kajiannya terkait Situs Pulau Basing. Berbagai masukan dari berbagai elemen yang hadir dalam acara ini menjadi titik poin dalam pengembangan Pulau Basing.
Kajian Pelindungan ini bertujuan untuk menentukan keluasan delineasi dan zonasi keruangan Pulau Basing yang sesuai dengan paradigma pelestarian Cagar Budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ada zona inti, penyangga, pengembangan dan atau penunjang yang diwujudkan dalam bentuk peta dan naskah kajian. Nantinya akan disusun rencana pelestarian dan batasan-batasan perlakuan pada masing-masing zona dalam bentuk pelindungan (pendaftaran, penetapan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran) yang berkelanjutan, disesuaikan dengan kaidah-kaidah pelestarian Cagar Budaya secara akademis. Nantinya dapat menjadikan acuan teknis bagi seluruh pemangku kepentingan di Situs Cagar Budaya tersebut dalam melakukan pelestarian.
Nilai Sejarah
Baik Teguh Hidayat maupun Lukas Partanda Koestoro berpendapat sama. Pulau Basing tak ada artinya dan tak ada nilai kalau tak ada nilai kesejarahan di sana. Nilai sejarahlah yang menjadi nilai Pulau Basing. Dari nilai sejarah nantinya berdampak pada nilai ekonomi, seperti kepariwisataan yang nantinya berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Menemukan data sejarah tentang Pulau Basing sangat sulit dan yang ditemukan minim sekali. Penulis pernah melacaknya di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Nama Pulau Basing ada ditemukan dalam Arsip Riouw 73/10. Nama Pulau Poeloe Basing ditulis Poeloe Bassing. Masuk dalam Afdeeling Bintan en Omliggende Eilanden (Bintan dan pulau-pulau sekitarnya.
Tak ada keterangan yang banyak terkait Pulau Basing dalam arsip ini. Pulau Basing disebutkan diantara pulau-pulau dan daerah lain yang berdekatan, yakni Poeloe Bintang, Poeloe Menilei, Pooloe Sori, Poeloe Sekatap, Sungai Dompa, Tandjong Moetjie, Tandjong Balo Lingie dan Tandjong Batoe Linging dan Poeloe Pengingat. Lukas Partanda Koestoro dalam acara diskusi juga mengeluhkan keterbatasan data sejarah tentang Pulau Basing. Ia berpendapat butuh kajian sejarah yang mendalam terkait Pulau Basing. Pihaknya dalam kajian Pulau Basing melakukan kajian berdasarkan keilmuan arkeologi.
Kedua arkeolog berpendapat sama. Situs Pulau Basing penting artinya karena tingginya nilai kesejarahan. Situs Pulau Basing dengan keberadaan tinggalan benteng yang ada di sana juga ditegaskan. Benteng-benteng itu bukan dimaknai benteng pertahanan yang umumnya dipahami secara umum. Di Pulau Basing tak ditemukan adanya meriam atau pun tinggalan lain yang menjadi argumen fungsi pertahanan ada di benteng Pulau Basing. Baik Lukas maupun Teguh sependapat dari tinggalan benteng dengan melihat struktur batu bata, diyakini keberadaan benteng ini ada pada abad 19. Benteng itu ada di zaman Belanda. Diperkirakan benteng itu digunakan sebagai lokasi tempat bersantai atau rekreasi pada keluarga kesultanan.Di sana ditemukan struktur benteng yang bertingkat-tingkat, ada sumur dan tembok penahan gelombang. Pada abad 19 di kawasan Bintan dan Batam sudah ada pembuatan batu bata. Pada sisi Timur Laut Pulau Basing ditemukan talud kuno, struktur penahan tanah, pondasi bangunan, sisa komponen pembentuk struktur bangunan, serta sisa artefaktual berupa pecahan keramik, gerabah serta serpihan-serpihan peninggalan artifisial lain.
Kendala Pengembangan
Pengembangan Pulau Basing untuk pelestarian cagar budaya dengan pengembangan pariwisata di sana memiliki berbagai kendala. Pulau ini status kepmilikannya ternyata dimiliki pribadi atas nama Ogi. Namun, menariknya pemilik pulau yang dihadirkan dalam acara diskusi sangat mendukung rencana pengembangan Pulau Basing. Ia siap bekerjasama dengan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Basing agar bisa membawa dampak positif bagi masyarakat Tanjungpinang, khususnya masyarakat sekitar. Status kepemilikan pulau juga yang sedikit was-was membuat pemerintah daerah terkait rencana pembangunan fasilitas di sana. Hal yang jadi pertimbangan adalah soal kepemilikan aset yang dibangun dan legalitas membangun di lahan yang status milik pribadi.
Keraguan ini dipahami Arkeolog, Teguh Hidayat yang sangat berpengalaman dalam pengembangan cagar budaya di Kepri. Menurutnya, tak ada aturan yang dilanggar kalau Pemprov Kepri atau Pemko Tanjungpinang ataupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membangun fasilitas di Pulau Basing. Asetnya milik yang membangun atau bisa dihibahkan ke Pemko Tanjungpinang. Ia berpendapat kalau berdebat soal legalitas pembangunan fasilitas, Pulau Basing sulit dikembangkan. Apalagi pemilik pulau sudah memberikan lampu hijau siap bekerjasama dengan pemda atau investor dalam pengembangan Pulau Basing.
Sejauh ini Pulau Basing sudah dilirik wisatawan lokal. Namun, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dompak dan pihak Kelurahan Dompak memiliki kendala dalam penyiapan sarana transportasi dari Dompak menuju Pulau Basing. Belum ada kapal (boat) yang bisa dipakai dan selama ini Pokdarwis Dompak terpaksa menyewa. Wisatawan juga terpaksa harus basah-basahan naik ke boat (pompong) menuju ke Pulau Basing karena belum ada dermaga. Di Pulau Basing juga belum ada sarana prasarana seperti tempat mandi cuci kakus (MCK) yang memadai layaknya tempat wisata. Plang papan informasi menuju ke Pulau Basing juga belum ada di Pulau Dompak sebagai panduan menuju ke lokasi.
Dalam diskusi, ada hal menarik dipaparkan perwakilan Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan Tata Ruang (TR) Kota Tanjungpinang yang hadir. Pulau Basing sudah masuk dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Tanjungpinang sebagai daerah wisata. Sebelumnya, Pulau Basing dalam RDTR-nya sama dengan Pulau Dompak sebagai pusat pemerintahan. Sementara, pihak Dinas PU PR Provinsi Kepri yang hadir dalam diskusi mengaku belum tahu status Pulau Basing apakah sebagai daerah wisata atau pusat peemrintahan dalam tata ruang Provinsi Kepri.
Wako Baru, Harapan Baru
Arkeolog Teguh Hidayat dan Kepala BPCB Sumbar, Nurmatias Zakaria berharap Walikota Tanjungpinang, Syahrul lebih perhatian dalam pembangunan kebudayaan di Tanjungpinang. Ada hal yang mendesak, yakni pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Tanjungpinang yang sejauh ini belum terbentuk. Dizaman Walikota Tanjungpinang lama, Lis Darmansyah, kondisi ini terabaikan. Tanjungpinang tak memiliki TACB sehingga tak bisa menetapkan keberadaan cagar budaya di Tanjungpinang. Walikota Tanjungpinang menetapkan SK cagar budaya berdasarkan masukan dari TACB. Di Kepri, baru Lingga dan Bintan yang sudah memiliki TACB, selain TACB Provinsi Kepri yang juga sudah terbentuk.
Keberadaan Situs Pulau Basing perlu ditetapkan sebagai cagar budaya. Setelah penetapan, pengembangan kawasan ini mengacu pada aturan dalam UU Cagar Budaya. Penetapan cagar budaya penting untuk jaminan hukum. Adanya oknum-oknum yang tak bertanggungjawab, seperti melakukan pengrusakan di Situs Pulau Basing bisa ditindak. Jangan menunggu situs benteng yang ada di sana rusak, baru ribut mencari siapa pelaku dan melakukan penindakan. Perangkat dasar seperti pembentukan TACB harus digesa secepatnya. Setelah ini pengembangan Pulau Basing butuh sinergi dan koordinasi antar berbagai elemen. Harapannya Pulau Basing bisa menjadi ikon baru wisata Tanjungpinang dan memberi dampak peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. Potensi cagar budaya dimanfaatkan pada peningkatan ekonomi masyarakat. ** (Terbit di Harian Tanjungpinangpos, 25 November 2018).