Kota Budaya dan Berkiblat pada Kekayaan Sejarah dan Tradisi (Bagian 2)

0
135

Pembentukan Perda Cagar Budaya dan TACB

Ada hal mendesak yang dibutuhkan Tanjungpinang dalam bidang pelestarian cagar budaya. Hingga saat ini Tanjungpinang belum memiliki Perda Cagar Budaya. Perda ini menjadi modal dan dasar dalam perlindungan cagar budaya yang dimiliki Tanjungpinang. Penetapan kawasan cagar budaya, adanya kasus pengrusakan cagar budaya kondisi-kondisi ini diatur dalam pasal-pasal Perda Cagar Budaya. Manfaat utama dari Perda Cagar Budaya adalah untuk perlindungan, pelestarian dan pengelolaan asset cagar budaya di wilayah Kabupaten/Kota / Propinsi. Adanya legalisasi Perda Cagar Budaya untuk mengantisipasi cagar budaya mempunyai status kepemilikan yang tetap aman. Sejauh ini Provinsi Kepri, Kabupaten Lingga yang telah memiliki Perda Cagar Budaya dan TACB. Kabupaten Bintan juga telah memiliki TACB.

Pelestarian dalam konteks cagar budaya, dapat dimaknai sebagai upaya pengelolaan sumber daya budaya yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Dalam kata lain, hakekat dari pelestarian cagar budaya adalah suatu kegiatan berkesinambungan (sustainable activity) yang dilakukan secara terus menerus dengan perencanaan yang matang dan sistematis, sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang merupakan pemilik sah cagar budaya.

Paradigma pengelolaan cagar budaya dewasa ini, diarahkan pada pelibatan masyarakat secara aktif dalam setiap upaya pengelolaannya. Hal ini sejalan dengan tujuan pengelolaan cagar budaya yaitu kebermanfaatan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa setiap upaya pengelolaan cagar budaya harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang Cagar Budaya No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dengan tegas menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya harus lebih ditingkatkan. Paradigma pengelolaan Cagar Budaya tidak lagi hanya ditujukan untuk kepentingan akademik semata, tetapi harus meliputi kepentingan idiologik dan juga ekonomik. Oleh karena itu, untuk mencapai ketiga kepentingan tersebut, diperlukan sinergitas antara pemerintah, akademisi, masyarakat dan juga sektor swasta.

Dalam pelestarian cagar budaya, Pemko Tanjungpinang harus banyak berkoordinasi dan bersinergi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar yang wilayah kerjanya mencakup Sumbar, Riau dan Kepri. BPCB memiliki kewenangan dalam hal pelestarian cagar budaya ini. Kasus-kasus pelanggaran cagar budaya dapat diselesaikan dengan adanya koordinasi yang bagus antara kedua pihak. BPCB memiliki penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) cagar budaya. BPCB Sumbar dan Pemko Tanjungpinang dengan koordinasi yang baik dapat menjaga aset berupa situs sejarah yang menjadi khasanah berharga Kota Tanjungpinang. BPCB Sumbar yang merupakan UPT Kemdikbud di daerah juga memiliki kewenangan dalam merehab cagar budaya.

Dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM) bidang cagar budaya, Pemko Tanjungpinang juga dapat memanfaatkan BPCB Sumbar. Instansi itu memiliki SDM cagar budaya yang mumpuni. Pembentukan tim ahli cagar budaya (TACB) Tanjungpinang juga kebutuhan yang mendesak. Pemprov Kepri, Pemkab Lingga dan Pemkab Bintan sudah memiliki TACB ini. Dalam TACB ini tergabung para tenaga ahli dari berbagai bidang yang nantinya memiliki kewenangan dalam pelestarian cagar budaya. Penetapan benda atau kawasan cagar budaya harus didahului rekomendasi atau masukan TACB ini.

Selain pelestarian cagar budaya, pelestarian nilai budaya yang sifatnya non fisik juga harus jadi perhatian. Pelestarian khasanah budaya lokal Tanjungpinang, baik itu kesenian, upacara ritual, kuliner juga sangat penting. Situs situs sejarah kekurangan maknanya kalau di daerah itu tradisinya sudah hilang. Wisatawan datang tak hanya melihat peninggalan sejarah, tapi juga tertarik menikmati budaya lokal, seperti kesenian, permainan tradisional maupun kuliner. Alangkah lucu kalau Kota Tanjungpinang yang berslogan Kota Gurindam Negeri Pantun, namun masyarakatnya terasing dengan gurindam dan pantun. Alangkah naïf kalau kedua tradisi lisan itu menghilang dari Tanjungpinang.

Dalam pelestarian nilai budaya, Pemko Tanjungpinang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mesti banyak berkoordinasi dan bersinergi dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri selaku perpanjangan tangan Kemdikbud di daerah dalam pelestarian nilai budaya.

Berbagai kekayaan nilai budaya Tanjungpinang harus diinvetarisir untuk dicatat dan diajukan sebagai WBTB Indonesia. Sejauh ini baru sedikit karya budaya dari Tanjungpinang yang ditetapkan jadi WBTB Indonesia kalah jauh dari Kabupaten Lingga.

Pengembangan kota budaya melalui pelestarian budaya, Pemko Tanjungpinang harus meninggalkan kebiasaan lama. Aktivitas budaya terfokus pada event-event atau kegiatan dan melupakan pelestarian budaya. Event-event kebudayaan kecendrungannya menghabiskan anggaran yang besar, disisi lain tidak berdampak besar pada pelestarian budaya. Alangkah hebat kalau Pemko Tanjungpinang fokus dalam pelestarian cagar budaya dan nilai budaya. Mendata cagar-cagar budaya yang ada dan mempercantik kerjasama dengan BPCB Sumbar. Begitu juga aktif dalam pelestarian nilai budaya, seperti tari-tarian, tradisi lisan maupun kuliner. Maestro budaya harus didata dan diperhatikan. Mereka yang menjadi penyelamat joget dangkong, pantun, gurindam atau tradisi lain. Database budayawan, seniman atau penggiat seni itu tak boleh dianggap sepele.

Pelestarian cagar dan nilai budaya tak ada artinya jika tak menyasar pada generasi muda selaku generasi penerus. Disinilah pentingnya muatan local (Mulok) budaya Melayu. Adanya mata pelajaran muatan lokal budaya Melayu jangan sebatas wacana dan jangan sebatas mengajarkan Arab Melayu. Anak-anak sekolah di Tanjungpinang mesti diajarkan tradisi lokal, seperti gurindam, gasing, pantun, makyong, joget dangkong.

Mempertegas Branding Kota Budaya

Pemko Tanjungpinang sejak lama telah berupaya membuat identitas kota (city branding) dengan survei ke sejumlah kota-kota di tanah air dan luar negeri, seperti Solo, Yogya, Amsterdam dan Athena Yunani. Tujuannya agar mudah mempromosikan Tanjungpinang dan bersaing-saing dengan kota-kota lainnya. Dari empat kota itu, bisa diambil contoh bagaimana kota itu maju dengan potensi kesejarahan dan kebudayaan yang ada di wilayahnya, seperti halnya juga kota Tanjungpinang. (Safira,2017).

Pada tahun 2010 juga pernah dilakukan penelitian mengenai city branding ini dengan ditangani oleh Bappeda Bagian Perencanaan Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat. Dari penelitian ini pemerintah ingin terus menggalakkan city branding Kota Tanjungpinang dengan menggunakan slogan Kota Gurindam negeri Pantun. Selain itu, tetap program utama dalam membranding kota ini adalah peningkatan infrastruktur pariwisata. Tahun 2015 Pemerintah Kota Tanjungpinang kembali membuat Tim city branding. Berbeda dengan sebelumnya dari penelitian ini tim mendapat slogan baru untuk membranding Kota Tanjungpiang yaitu “Inspiring City”. Namun, slogan ini tidak disetujui oleh berbagai SKPD. Mereka menganggap slogan yang lama yakni Kota Gurindam Negeri Pantun lebih cocok sebagai slogan Kota Tanjungpinang.

Slogan Kota Gurindam Negeri Pantun sudah bagus, tapi yang terpenting menjadikan itu tak sekedar slogan tapi juga ada tingkah laku dan keseharian masyarakat Tanjungpinang. Menjadikan gurindam dan pantun hidup subur dan tumbuh ditengah masyarakat. Hal yang paling penting adalah mempertegas branding Tanjungpinang sebagai kota budaya. Nantinya disosialisasikan secara masif ke masyarakat sehingga menyadari bahwa kota yang dicintainya ini adalah kota budaya. **