Balada Sutan Makmur

0
550

Sutan Makmur. Ini tak ada kaitannya dengan pahlawan nasional Sutan Syahrir atau sutan-sutan yang lainnya. Tak ada hubungannya juga dengan gelar sultan yang menjadi haknya kaum bangsawan. Ini gelar yang diberi kaum saya, suku Pibada, 7 November 2008 lalu, saat menikahi istri tercinta Meli Deswita.

Tak tahu juga kenapa dipilih gelar itu buat saya. Padahal masih banyak seabrek gelar yang lain. Moga-moga harapan mereka saya jadi makmur. Kalau saya senang saja menyandang gelar itu. Tak berat. Asalkan bukan gelar datuk yang konon sangat dihormati. Jadi datuk berarti jadi pemimpin kaum. Kalau Sutan Makmur, cukuplah pemimpin buat istri.

Bagi lelaki Minangkabau, gelar adat adalah sebuah kemestian. Pepatah adat mengatakan, ‘ketek banamo, gadang bagala’ (kecil punya nama, setelah dewasa diberi gelar). Setiap lelaki yang sudah menikah tentu diberi gelar adat, yang diumumkan dalam sebuah acara sederhana saat perhelatan kawin. Pemberian gelar itu merupakan pengakuan bahwa mereka kini telah menjadi lelaki dewasa, yang akan diikutsertakan dan diakui hak suaranya dalam musyawarah kaum. Gelar merupakan warisan, bukan hak milik individu.

Begitu seseorang meninggal dunia, maka gelar itu harus dikembalikan kepada kaum sebagai pemiliknya. Seseorang tidak berhak mewariskan gelar itu pada orang lain tanpa persetujuan kaum. Disebabkan setiap orang Minangkabau punya kaum, maka setiap lelaki dewasa akan selalu punya gelar. Jadi, gelar adat bukanlah sesuatu yang istimewa dalam masyarakat Minangkabau.

Masalahnya, saya hidup di rantau. Sejak 2004 lalu, saya sudah merantau ke Kepri. Tak berlaku gelar adat di sini. Tak ada kaum maupun kerabat istri yang menyapa gelar itu. Istri saya pun yang sejak pacaran memanggil ‘Uda’ sampai saat ini masih bertahan dengan sapaan itu. Kadang-kadang pernah juga dia memanggil saya Sutan Makmur. Itu pun kalau sedang bercanda

Tapi seperti kata orang tua-tua, gelar juga berarti amanah dan harapan. Dimana pun berada, baik di kampung atau di rantau, tak boleh lupa dengan gelar adat yang berlaku hanya sekali. Saya pun tak malu, bahkan bangga mencantumkan gelar saya. Jadinya sekarang nama lengkap saya Dedi Arman Sutan Makmur. Dibelakangnya ada SS. Sarjana Sastra. Ini buah perjuangan empat tahun.***