Meja Makan Dan Tampa Garam Sebagai Media Pendidikan Hidup Orang Basudara : Suatu Tinjaun Sosial Budaya

0
3494

Penulis : Stenli R. Loupatty, Pengelola Data Nilai Budaya

Konsep hidup orang basudara merupakan salah satu falsafah masyarakat Maluku yang sejak lama ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kehidupan masyarakat. Nilai ini terpelihara dalam berbagai praktek hidup mulai dari duduk bersama untuk membicarakan berbagai hal untuk kepentingan bersama hingga bentuk-bentuk kerja sama untuk kepentingan umum maupun perorangan (masohi). Nilai hidup orang basudara merupakan suatu kearifan lokal (local wisdom) yang kemudian menjadi identitas sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat Maluku.

Konsep hidup orang basudara dalam konteks budaya orang Maluku sesungguhnya tidak terikat semata pada hubungan-hubungan pertalian darah (genetika) melainkan hubungan sosial yang menembusi batas-batas ruang dan waktu, misalnya hidup bertetangga, bermasyarakat hingga hubungan-hubungan antar negeri dalam suatu ikatan persaudaran yang dikenal dengan istilah pela. Dalam hubungan ini, rasa saling menyayangi serta memiliki satu terhadap yang lain menjadi sesuatu yang sangat mendasar serta ketulusan. Praktek-praktek inilah yang kemudian mengikat masyarakat maupun indifidu untuk hidup berbagi dan solider terhadap yang lain.

Kesadaran sebagai mahkluk sosial sesunguhnya telah ditunjukan oleh leluhur dimasa lalu melalui warisan nilai-nilai budaya yang berakar dalam kehidupan orang Maluku. Hal ini menunjukan kepada kita bahwa sesungguhnya leluhur dimasa lalu, walaupun tidak menikmati suatu pendidikan fomal yang tinggi seperti yang saat ini kita nikmati bersama namun mampu membentuk suatu sistem tata nilai yang menunjukan peradaban yang begitu tinggi serta bermartabat sebagai makluk yang beradab. Dengan kata lain sistem tata nilai yang dikonstruksikan dalam budaya orang Maluku sesunguhnya menjadi aset bagi kita saat ini untuk membangun suatu pola hidup orang basudara yang mampu mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik dan bermartabat.

Dalam konteks hidup orang basudara yang dipahami sebagai nilai bersama sekaligus menjadi identitas sosial orang Maluku, kelurga memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting dalam mewariskan sistem tata nilai tersebut. Keluarga menjadi basis serta garde terdepan pembentukan nilai-nilai dsar hidup orang basudara. Dalam konten kelokalan masyarakat Maluku kita mengenal dan memami dua benda yang sangat sederhana (biasa-biasa saja) namun memiliki fungsi yang sangat penting yakni Meja Makan dan Tampa Garam. Dua benda tersebut sepintas bila dilihat tidak memmiliki makna, namun jika dipahami dalam prespektif budaya orang Maluku dua benda tersebut memiliki nilai-nilai lokal yang sangat penting dalam memahami dan mewariskan nilai hidup orang basudara.

  1. Meja Makan Sebagai Cahaya Penerang

Dalam budaya orang Maluku meja makan merupakan sutu tempat dimana terbentukya suatu kebersamaan dalam persekutuan keluraga, dalam konteks ini meja makan tidak dipahami sebatas tempat untuk menikmati makanan (makan bersama) lebih dari pada itu meja makan dipahami sebagai suatu tempat untuk membangun semangat kekeluargaan dan persaudaraan sejati dan wadah pembinaan mental spiritual keluarga. Simbol meja makan memberikan pemaknaan akan pentingnya kebersamaan dalam suatu keluraga dimana, setiap angota keluarga duduk dan makan bersama dalam suatu persekutuan. Tradisi makan bersama menjadi penanda sosial yang selama ini melembaga dalam tradisi oranng Maluku. Sejak dulu tradisi ini menjadi konsensus bersama dalam setiap keluarga dimana tidak mengenal tampat lain untuk menikmati makanan. Pemahaman yang menjadi akar pentingnya meja makan didasarkan pada suatu kesadaran untuk menghargai makanan sebagai anugerah atau berkat dari Tuhan. Dalam pandangan ini tersirat nilai teologis (agama), Moral dan etika.   

Tradisi makan dimeja makan memberikikan gambaran akan pentingnya kebersamaan, dimana semua anggota keluarga akan duduk secara bersama-sama. Dalam proses makan meja pada bagian kepala meja ditempati oleh ayah (suami/kepala keluarga) di ikuti oleh ibu (istri) dan anak-anak. Dalam proses ini terlihat pula kewibawaan dan tanggung jawab orang tua serta jiwa pelayananan yang ditunjukan oleh orang tua lewat pelayanan yang diberikan oleh ibu (istri) misalnya bale papeda, menimbah makanan bagi anak yang masih kecil atau menyuapi anak yang masih kecil.

Tradisi makan di meja makan biasanya diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh ayah (kepala keluarga) hal ini menjadi suatu pembelajaran yang sangat penting bagi setiap anak sebagai calon-calon pemimpin dalam keluarga dikemudian hari. Hal menarik yang dapat dilihat dari tradisi makan di meja makan ialah ketika memulai makan secara bersama maka untuk mengakhiri prosesi makan harus diakhiri secara bersama (badiri dari meja makan sama-sama). Kebersamaan tidak semerta-merta berakhir seiring selesainya proses makan dimeja makan, melinkan kebersamaan dilanjutkan oleh anak-anak perempuan membantu ibu (mama) untuk mebersikan meja dan merapikan tempat makan (piring sendok, garpu dan lain-lainya). Pada konteks ini rasa tanggung jawab juga dibentuk sebagai suatu tindakan berpola.

 Tradisi makan di meja makan memiliki nilai guna bagi pendidikan dalam keluarga, biasanya dalam memanfaatkan kesempatan ditengah kebersamaan keluarga, orang tua seringkali menjadikan meja makan sebagai tempat untuk menasehati dan mendidik anak-anak untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk, dan harus melakukan hal-hal yang baik, misalnya tidak boleh minum minuman keras, tidak boleh mengucapkan kata makiian, kata kotor dan lain-lain, harus rajin belajar, harus rajin pi skolah minggu, orang basudara laeng musti sayang laeng, adik musti dengr kaka dan lain sebagainya. Tak jarang dalam nasehat yang diberikan pada saat dimeja makan orang tua meminta maaf kepada anak jika dalam mendidik ada hal-hal yang bersifat kasar (keras). Selain itu meja makan juga dapat dijadikan sebagai tempat untuk anak (anggota keluarga) untuk berbagai susah, senang dan berbagai pengalaman yang dijumpai dalam aktifitas sehari diluar rumah.

Pada hakekatnya meja makan dapat dijadikan sebagai tempat untuk orang tua untuk meberikan pembelajaran dan pendidikan bagi setiap anggota keluarga untuk bertumbuh, serta mengenal nilai-nilai yang positif, serta dijadikan tempat untuk berbagi dalam kebersamaan antar anggota keluarga (bersendagurau). Melalui proses pendidikan di meja makan inilah anggota keluarga (anak-anak) mendapat pencerahan dan penerangan tentang suatu pola hidup yang benar, hal inilah yang mempertegas keberadaan meja makan sebagai cahaya penerangan.  Pada titik ini perlunya kesadaran bersama setiap kepala keluarga untuk mengembalikan tardisi makan dimeja makan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi makan di meja makan antara lain; nilai kebersamaan, tanggung jawab kepemimpinan, kerendahan hati, moral dan etika, teologis, nilai pendidikan dan lain sebaginya.

  • Tampa Garam Sebagai Semen Peradaban

 Memmbangun sebuah persaudaran dan kebersamaan tidak perlu dengan melihat atau melakukan hal-hal yang besar, melainkan dimualai dari hal yang kecil dan bersifat sederhana, namun memiliki kekuatan untuk mengikat dan mempersatukan semua orang dalam ikatan saling menyayangi satu terhadap yang lainnya. Tradisi tampa garam dimeja makan merupakan suatu konstruksi budaya dimasa lalu yang kental dengan nilai hidup orang basudara. Konsep tampa garam sebagai ide pemersatu sesungguhnya menembusi sekat-sekat pemisah diantara hidup orang basudara.

Tempat garam memberikan simbol peneriamaan satu terhadap yang lain dalam kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang ditandai dengan cara mencelupkan jari ke dalam tampa garam untuk menambah cita rasa untuk menikmati makan. Garam sebagai pemberi rasa asin menjadi media pengikat setiap individu yang terlibat dalam makan bersama. Makna sosial garam dalam relasi sosial diantara angota keluarga sesungguhnya memberikan gambaran mengenai rasa harmonis/keakraban yang sangat kuat, sedangkan untuk suatu hubungan yang tidak harmonis senantiasa digambarkan dalam suasana hati yang tawar. Disinilah nilai tampa garam memberi rasa yang positif dalam mengharmnisasi hubungan-hubungan yang renggang dalam ikatan keluarga.

Tampa garam memiliki nilai kekhususan dalam kehidupan orang Maluku, karena dipahami sebagai pengikat tali persaudaran diantara sesama anggota keluarga maupun setiap orang yang terlibat dalam makan bersama. Dalam tradisi makan bersam di meja makan yang didalamnya terdapat tampa garam orang tua sering menasehati anak-anak (anggota keluarga) untuk saling menyayangi ataupun melakukan sesuatu yang bersifat baik. Kekuatan nasehat tersebut diperkuat dengan pernyataan yang sangat sederhana namun memiliki kekutan untuk mengikat semua orang yankni “diatas meja makan dengan tampa garam kasiang ni beta sujanji” ungkapan ini mengandung larangan atau perintah yang begitu kuat sehingga selalu dikenang dan di inggat. Dalam konteks ini nasehat dan didikan orang tua menjadi sesuatu yang sangat penting bagi setiap anak (anggota keluarga).

Nilai sosial yang terkandung dalam filosofis tampa garam mampu membentuk suatu pandangan hidup dimasa yang akan datang bagi setiap anggota keluarga yang ada didalmnya, serta menjadi tindakan berpola yang ankan terus di ingat dan dipedomani sebagai suatu yang bersifat penting dan bersifat final. Dengan sendirinya meja makan dan tampa garam dapat dijadikan sebagai media untuk mendokrin anak (anggota keluarga) pada hal-hal yang bersifat positif. Pada titik ini tampa garam mampu menjadi semen peradaban untuk merekatkan ikatan-ikatan persaudaran dalam keluaraga.

Selain itu media ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangkitkan memori kolektif dimasa lalu ketika dijumpai perselisihan diantara sesama orang basudara, (dolo papa deng mama piara katong deng kasiang dong janji katong diatas meja makan dengan tampa garam kasiang, “hidop orang basudara tu musti laeng sanyang laeng, potong dikuku rasa didaging, sagu salempeng patah bage dua, ale rasa beta rasa”). Ungkapan dan nasehat ini, sesungguhnya menjadi warisan keabadian orang tua bagi anak-anak dikemudian hari ketika orang tua sudah tidak lagi bersama anak-anak cucu (meninggal).  

  • Perubahan dan Pergeseran Suatu  Fakta

 Setiap kebudayaan dan adat istiadat pasti mengalami pergeseran dan perubahan atau dengan kata lain pergeseran dan perubahan merupakan karakteristik semua kebudayaan yang mempengaruhi proses perubahan adat istiadatsuatu masyarakat. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini turut memberikan dampak bagi pengembangan nilai-nilai budaya lokal yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Maluku. Masuknya nilai-nilai baru akibat berbagai persentuhan dengan budaya luar menjadi suatu fakta sosial dalam konteks kekinian. Mengacu pada realitas ini muncul suatu pertanyaan kritis bagaimana keberadaan meja makan dan tampa garam sebagai media pembentukan hidup orang basudara?  Sama halnya dengan kebudayaan lainya yang terus dinamis seiring berjalannya dinamika masyarakat, keberadaan meja makan dan tampa garam secara perlahan mengalami perubahan dan pergeseran ditengah pusaran zaman.

Tradisi makan bersama di meja makan dan tampa garam secara perlahan mulai terkikis dengan berbagai dinamika masyarakat saat ini, mungkin bagi masyarakat di negeri-negeri adat (kampung) tradisi ini masih kental namun dalam kehidupan masyarakat perkotaan (Ambon) tradisi ini mungkin masih dipertahankan oleh sebagian keluarga. Pada konteks ini nilai dan makna meja makan dan tampa garam mulai tidak dirasakan manfaatnya. Kesadaran serta pengetahuan akan pentingnya meja makan dan tampa garam seakan memudar dalam kehidupan setiap keluarga. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran nilai budaya meja makan dan tampa garam antara lain:

  1. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya meja makan dan tampa garam
  2. Sistem pendidikan formal masyarakat yang semakin maju
  3. Kontak masyarakat Maluku dengan kebudayan luar
  4. Rutinitas pekerjaan diluar rumah

Penutup

Realitas masyarakat Maluku hari ini menunjukan betapa bahwa kebudayaan orang Maluku telah ada dalam suatu kondisi yang sangat memprihatinkan. Sistem tata nilai yang selama ini menjadi filter mulai terkikis ditengah pusaran zaman. Keluarga sebagai basis sekaligus ujung tombak untuk membentuk nilai hidup orang basudara seakan kehilangan arah dan tidak berfungsi. Meja makan dan tampa garam yang pada mulanya menjadi media untuk membentuk hidup orang basudara seakan tidak memiliki arti yang penting. Untuk itu diperlukan suatu pencerahan sebagai suatu upaya dalam menata dan mengembalikan kembali nilai-nilai hidup orang basudara. Membangun nilai hidup orang basudara yang berbasis pada pendidikakan keluarga merupakan suatu kebutuhan.

Tradisi makan di meja makan merupakan suatu pola pendidikan keluarga yang mesti ditumbuh kembangkan dalam kehidupan keluarga, sehingga lewat semunya itu terbentuk kembali pola dan sistem tata nilai yang memberikan gambaran identitas kemalukuan yang selama ini hidup dan berkembang dalam budaya masyrakat Maluku. Pada titik ini meja makan dan tampa garam yang selama ini dijadikan sebagai media pendidikan dan pembentukan hidup orang basudara dalam keluarga mesti dikembalikan sebagai identitas sosial yang senantiasa melekat dalam diri orang Maluku.   

DAFTAR RUJUKAN

Abidin Wakano: Ale Rasa Beta Rasa Dalam Konsep Orang Basudara di Maluku, Makalah yang disampaikan dalam Saresehan Budaya Daerah Maluku yang laksanakan oleh BPNB Maluku pada tanggal 24-26 Februari 2016

Aholiap Watloly : Maluku Baru (Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri) Kanisinus Yogyakarta 2005

Elifas T Maispatella : Eksistensi Negeri Adat dan Pembangunan Kebudayaan di Maluku Makalah yang disampaikan dalam Saresehan Budaya Daerah Maluku yang laksanakan oleh BPNB Maluku pada tanggal 24-26 Februari 2016

Koentijaraningrat: Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1996

Marthen Pattipeilohy : Tantangan Budaya Maluku Dalam Masyarakat Multi Etnik, BPNB Ambon 2013

S.Tiwery : Perubahan dan Pergeseran Nilai Dalam Upacara Perkawinan Adat di Pulau Masela,  Jurnal Penelitian BPNB Ambon 2010

Soerjono Soekanto : Sosiologi Suatu Pengatar Cet I Gramedia Persada Jakarta, 1982

Ziwar Efendi : Hukum Adat Ambon Lease,  Persada Pradaya Pramita Jakarta, 1987