MALUKU PUSAT REMPAH-REMPAH DAN PENGARUHNYA DALAM ERA NIAGA SEBELUM ABAD KE-19

0
90894

Oleh: DR. Sem Touwe, M.Pd

Pengantar

250px-myristica_fragrans_-_kc3b6hlere28093s_medizinal-pflanzen-097

Sebelum kedatangan bangsa Barat, kegiatan perdagangan di wilayah kepulauan Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Jalur perniagaan melalui darat dimulai dari Cina (Tiongkok) melalui Asia Tengah, Turkestan sampai ke Laut Tengah. Jalur ini juga berhubungan dengan jalan-jalan kaflah dari India. Jalur ini terkenal dengan sebutan “Jalur Sutra” (silk road). Sejauh ini, jalur perdagangan lewat darat inilah yang merupakan jalur paling tua, yang menguntungkan Cina dengan Eropa.

Adapun jalan perniagaan melalui jalur laut juga dimulai dari Cina malalui laut Cina, Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk s, melalui Syam (Suriah) sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir, lalu menuju Laut Tengah (Van Leur 1967). Pada waktu itu komoditas ekspor dari wilayah Nusantara yang sampai di pasaran India dan Kekaisaran Romawi (Byzantium), antara lain; rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus, kemenyan, gaharu (lignum aloes), kayu manis hijau, cengkeh yang biasa disebut oleh orang Tiongkok “dupa kayu”.

Kelompok dagang Asia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu; kelompok finansir, yaitu orang-orang kaya, hartawan yang memasukkan uangnya ke dalam dunia perdagangan secara incidental. Kelompok berikutnya adalah para saudagar kelontong atau pedagang keliling. Mereka ini bisanya merupakan pemilik modal yang ikut langsung dalam dunia perdagangan dengan cara ikut berlayar berkeliling menjajakan barang-barang dagangannya. Oleh sebab itu bahasa puitis untuk jalur rempah-rempah ini dinamakan spice route. Perjalanan dari satu pelabuhan tempat pemberangkatan ke pelabuhan lain sebagai tujuan perdagangan itu umumnya memakan waktu yang relatif lama. Burger menggambarkan pelayaran dari Tonkin ke India memakan waktu sekitar 12 sampai 15 bulan. Dari Kanton ke Palembang ditempuh sekitar 20 hari sampai dengan satu bulan. Adapun dari Aceh ke Cina memakan waktu sekitar 20 sampai dengan 30 hari. Dengan sendirinya biaya angkut barang itu menjadi cukup tinggi, sehingga harga jual barang dagangan itupun menjadi tinggi pula alias mahal. Ternyata dari harga yang relative mahal itu, para pendagang memperoleh keuntungan yang cukup tinggi pula. Namun yang lebih utama lagi bahwa disepanjang jalur ini telah terjadi pertukaran berbagai produk budaya yang bersifat halus seperti wacana lisan, music, tari-tarian, berbagai jenis pertunjukkan dan adat kebiasaan maupun yang sama sekali tidak terlihat secara kasat mata seperti; berbagai macam gagasan, nilai, kaidah-kaidah mitos, legenda berbagai macam kandungan sastra. Oleh sebab itulah laut, selat, tanjung, padang pasir, steppa, merupakan jalur-jalur penghubung dan pertemuan serta dialog yang sangat mempengaruhi proses saling membuahi antara satu budaya dengan budaya lain sepanjang jalur tersebut, Tidak dapat disangkal lagi bahwa Maluku terutama Banda, Ternate, Tidore maupun Bacan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar bangsa. Lokasinya merupakan jalur yang menghubungkan antara Jawa dan Sulawesi dan telah tercipta suatu peninggalan-peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, kesenian yang merupakan bukti tentang masuknya aneka ragam kebudayaan dari berbagai penjuru dunia seperti Arab, Cina, India dan Eropa.

Menurut Van Leur (1967), pada masa kerajaan lama, baik pada masa kejayaan Hindu, Budha, maupun Islam, pengaruh raja ataupun sultan sebagai kepala negara dalam dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak hanya  keamanan atau penarik pajak, tetapi sering juga bertindak sebagai “pemegang saham”. Oleh karena itu, pada dasarnya dunia perdagangan di wilayah Nusantara pada waktu itu telah mempunyai sifat kapitalis, atau tepatnya sifat kapitalis politik.

Rempah-rempah hasil Maluku pula dan cengkeh merupakan petunjuk penting untuk mengetahui bilamana Maluku mengadakan hubungan dengan dunia luar. Sebab menurut para ahli tumbuh-tumbuhan, tanah asal rempah-rempah adalah Maluku terutama Maluku Tengah dengan palanya dan Maluku Utara dengan cengkehnya. Orang Tionghoa hanya mengetahui bahwa cengkeh dari Maluku saja dalam sejarah raja-raja Ming sekitar abad XVI sampai dengan 1644 tercatat bahwa Maluku satu-satunya Negara Timur yang memproduksi cengkeh. Hal ini didukung oleh berita Romawi tentang cengkeh yang disebut garyophyllon merupakan tumbuhan sakti, yang dikatakan berasal dari India. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Eropa telah mengenal cengkeh sejak abad kedua Masehi.

Dari berita-berita yang ada tersebut dapat diartikan bahwa pelayaran ke Maluku memang belum dilakukan secara langsung, tetapi Maluku telah dikenal oleh  para pedagang dari Arab, Eropa dan Timur Tengah terputama hasil alamnya. Hasil dari tanah kepulauan ini diambil dari pelabuhan-pelabuhan besar di sebelah barat. Hal ini dapat dibuktikan karena disebelah barat telah berkembang kerajaan maritime dengan pelabuhan besar yaitu Sriwijaya. Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim bin Wasif-sah bahwa Djaba menghasilkan cengkeh seperti juga dari daerah maharaja (Maharaja: Sriwijaya).

  1. Perdagangan Masa Sriwijaya dan Majapahit

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai yang kekuatan ekonominya bertumpu pada perdagangan internasional. Kerajaan itu berhubungan dengan jalan raya perdagangan internasional Cina ke Eropa melalui Selat Malaka. Secara lengkap, jalur perdagangan Asia melalui laut itu dimulai dari Cina melalui Cina Selatan, Selat Malaka, India sampai ke Teluk Persia. Kemudian dari Persia disambung melalui jalur darat menuju Syam (Suriah) yang diteruskan sampai dengan Laut Tengah. Dari Laut Tengah ini barang-barang komoditas ekspor Nusantara bersama-sama dengan barang-barang Asia lainnya disebarkan ke wilayah Eropa.

Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan di sekitar Selat Malaka. Pada tahun 767 misalnya Sriwijaya merampas Tonkin (Indocina, Hindia Belakang). Selain itu, Sriwijaya menguasai Semenanjung Malaka dan Genting Kra. Kontak melaui dunia perniagaan ini menyebabkan Nusantara bersentuhan dengan peradaban Hindu-Buddha (India).  Konfusianisme dan Taoisme (Cina), serta Islam (Timur Tengah), sehingga memperkaya budaya penduduknya. Nusantara, termasuk Sriwijaya, bahkan sampai dengan Tumasik. Akhirnya keberadaan Sriwijaya betul-betul hilang setelah Majapahit mengirimkan ekspedisi ke wilayah itu.

Dalam berita perjalanan, Marcopolo menyebut Tumasik dan Kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mengakui kekuasaan Majapahit. Pada waktu itu Pasai merupakan kerajaan Islam, sedangkan Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha. Sebagai pusat perdagangan, Samudra Pasai banyak menk (Pantura) Jawa. (Tome Pires dalam Suma Oriental II, hlm,239) memperkirakan Pasai mengekspor merica kira-kira 8000 sampai dengan 10.000 bahar setiap tahun, bahkan sampai dengan 15.000 bahar jika sedang musim panen yang melimpah. Selain mengekspor merica, Pasai juga mengekspor sutra, kapur barus, dan emas yang diperoleh dari daerah pedalaman. Kemampuan orang-orang Pasai dalam memproses sutra didapatkan dari orang-orang Cina (Tome Pires dalam Suma Oriental II, hlm,90). Salah satu sumber mengungkapkan bahwa sebelum dating bangsa Barat ke wilayah Nusantara, Sultan Pasai pernah berjanji akan menyerahkan produksi sutra Pasai kepada mereka untuk diekspor (Meilink Roelofsz 1962;350)

Menurut  Tome Pires (dalam Suma Oriental I, hlm,44), para pedagang Jawa mendapatkan hak istimewa dalam berdagang di Bandar samudera Pasai, yakni dalam bentuk pembebasan bea cukai impor maupun ekspor atas barang dagangan yang mereka bawa. Pada masa itu Kerajaan Majapahit telah menjadi sebuah kerajaan yang lengkap, baik dalam struktur pemerintahan maupun birokrasinya. Sejak tahun 1293 sampai sekitar tahun 1500, MAjapahit tampil sebagai pengganti Sriwijaya. Perniagaannya tidak terbatas pada perdagangan dan pelayaran pantai saja, tetapi juga perdagangan seberang laut melaui Malaka ke Samudera Hindia.

  1. Nusantara dalam Kurun Niaga

 

Secara konseptual, pengertian Samudera Hindia pada waktu itu lebih luas daripada yang tertera dalam peta sekarang. Dalam pengertian lama, selain Samudera Hindia yang sekarang, juga tercakup pula laut-laut di kepulauan Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah yang sesungguhnya merupakan kepanjangan dari Samudera Hindia.

Samudera Hindia dalam arti luas memiliki cirri-ciri geografis yang menjadikan suatu system pelayaran sendiri. Salah satu faktor geografis yang berpengaruh pada pola pelayaran disini adalah garis khatulistiwa. Karena adanya garis ini, arah angin musim Timur maupun Barat mengalami perubahan begitu sampai ke garis ini. Angin Barat beralih menjadi angin Timur jika melintasi khatulistiwa. Sebaliknya angin Timur berubah menjadi angin Barat jika melintasi garis tersebut. Kemudian arus-arus laut yang bersumber dari Samudera Pasifiik atau dari Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan juga mempengaruhi pelayaran niaga di Nusantara dan menambah kerumitan jalur pelayaran yang ada. Namun, keadaan tersebut tidak terlalu menyulitkan para pelaut Nusantara, bahkan cukup menguntungkan bagi para pelaut karena dapat menempuh dua arah, babik pada saat musim barat maupun musim timur. Di samping itu, di Nusantara banyak pulau-pulau yang sedikit banyak juga mempermudah navigasi di Nusantara sehingga dapat mengurangi sedikit unsur-unsur lain yang merumitkan itu.

Bagaimanapun, aspek geografis bukanlah satu-satunya penentu dalam dunia pelayaran niaga. Perubahan sosial yang dilakukan manusia atas tatanan-tatanan konstan tidak hanya dalam hal geografi ikut menentukan pula. Hingga abad ke-10 pelayaran niaga masih menempuh satu jalur yang tidak terputus-putus dari Timur ke Barat atau sebaliknya. Sampai dengan abad itu belum ada pelabuhan-pelabuhan yang memiliki cukup banyak fasilitas untuk dijadikan tempat singgahan dalam jalur niaga yang panjang.

Sejak abad ke-10 dan 11 muncul kota pelabuhan yang dinamakan “emporium”, yang mempunyai fasilitas relatif lengkap sehingga memudahkan para pelaut untuk memperbaiki kapal-kapalnya di samping memudahhkan para pedagang untuk menggelar barang dagangannya. Berbagai emporium bermunculan sejak abad itu, misalnya Aden dan Mocha di Laut Merah, Muskat, Bandar Abas dan Hormuz di Teluk Persia; Kambai dan Kalikut di Laut Arab; Satgaon di Teluk Benggala; dan Malaka di Selat Malaka, serta Zaiton dan Nanking di Laut Cina.

Dalam setiap emporium terdapat para pengusaha yang memiliki moal yang cukup besar. Selain menyediakan fasilitas kredit, mereka juga memiliki usaha dagang sendiri. KApal-kapal mereka dapat dibeli atau disewa untuk ekspedisi dagang ke berbagai emporium yang lain. Menurut beberapa sumber, pedagang Portugis juga banyak menggunakan fasilitas seperti ini sewaktu berniaga di kepulauan Nusantara.

Namun, seperti yang diungkapkan Meilink Roelofsz, perdagangan yang dilaksanakan para pemodal tersebut, khusunya di wilayah Nusantara, tergolong kelompok yang dinamakan perdagangan commenda, yakni pimpinan ekspedisi dipercayakan kepada nahkoda kapal yang juga dipercayakan untuk mengadakan perdagangan. Hasil perdagangan itu kemudian dibagi sesuai dengan peraturan yang telah disepakati. Dengan demikian, perdagangan di Samudera Hindia harus dibedakan antara pedagang yang menetap di emporium-emporium dan kaum peddler atau penjaja yang mengarungi lautan dengan barang-barang dagangan milik para pengusaha tersebut.

Sistem emporium tidak saja menimbulkan kapitalisme Asia, tetapi juga memudahkan pelayaran niaga. Fasilitas-fasilitas yang lengkap di berbagai emporium telah menyebabkan para pelaut atau pedagang tidak harus menempuh seluruh jalur dari Timur ke Barat dan sekitarnya. Para pedagang Timur Tengah cukup sampai di Kambai atau Kalikut saja, kemudian para pedagang India akan mengangkut barang-barang dagangan itu terus ke Malaka. Sebaliknya, para pelaut dan pedagang Cina juga tidak perlu terus sampai India atau Timur Tengah, tetapi cukup hingga ke Malaka. Dengan kata lain, sistem emporium telah menyebabkan jalur perdagangan menjadi lebih pendek.

Di Nusantara sendiri, perkembangan kota-kota emporium di pantai utara Jawa menduduki tempat penting dalam hubungan dengan perkembangan perekonomian Nusantara. Kota-kota pelabuhan tersebut telah berperan sebagai pelabuhan perantara Internasional yang menghubungkan Jawa dan daerah produsen rempah-rempah di daerah kepulauan Maluku yang ada di ujung timur Nusantara dan daerah Nusantara yang ada di ujung barat. Perkembangan sistem emporium ini berkaitan erat dengan perluasan Islam dari Timur Tengah ke Asia. Oleh karena itu, dapatlah dipahami mengapa sejak abad ke-14 di Nusantara juga bermunculan kota-kota dagang dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam. Selain itu dapat pula dipahami mengapa corak Islam yang muncul sejak saat itu banyak diwarnai oleh budaya Hindu, karena berbagai emporium kecil di Nusantara mempunyai hubungan dagang dengan pusat perdagangan di India. Periode ini disebut Reid (1988) sebagai masa “kurun niaga” Asia Tenggara. Masuknya para pedagang Islam dari Timur Tengah ke wilayah Asia Tenggara ikut pula menaikkan permintaan atas barang-barang komoditas dari wilayah itu, terutama cengkeh dan pala. Antonio Pigafetta, yang pernah mengunjungi Tidore yang merupakan penghasil cengkeh tertua, mangatakan bahwa sampai kedatangan orang-orang Islam di Ternate dan Tidore, yang diperkirakan sekitar tahun 1470, orang-orang Maluku tidak peduli terhadap cengkeh.

Pada zaman perekonomian Asia yang telah maju, berkembang dengan baik dan berkuasa luas, perekonomian Eropa belum mencapai taraf yang demikian. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia pada abad ke-14 sampai dengan awal abad ke-15 adalah imperium Turki Usmani (Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh orang-orang Eropa, khususnya Romawi-Byzantium. Penguasaan wilayah-wilayah itu sekaligus meyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat. Akibatnya, barang-barang dagangan dari Timur menjadi langka dan mahal. Para pedagang Eropa akhirnya mencari jalan alternatif ke tempat penghasil rempah-rempah (merica) (Ricklefs 1986).

Meskipun demikian, tidak berarti minat terhadap komoditas itu menurun. Bahkan sebaliknya, permintaan terhadap rempah-rempah cenderung meningkat. Permintaan tersebut tidak saja dari Eropa, tetapi juga dari Cina (Reid 1999: 7). Oleh karena itu di wilayah Nusantara, khususnya kepulauan Maluku, terjadi perluasan tanaman produksi, terutama pala dan cengkeh. Selain perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di beberapa pulau, seperti di Sumatera dikembangkan pula komoditas lain yang juga sangat diminati orang-orang Eropa, yaitu merica. Walaupun harganya hanya separuh rempah-rempah, pada waktu itu merica sudah termasuk komoditas ekspor yang penting dari wilayah Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman ini pada mulanya merupakan barang dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India Barat daya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dan Eropa sebagai “negeri merica” (Reid 1999; 9). Sejak kapan merica dibumidayakan oleh penduduk Sumatera belum jelas. Laporan Marcopolo (1292) atau Ibn Battutah (1355) sewaktu mengunjungi Sriwijaya tidak menyebutkan adanya produk merica sebagai barang dagangan dari kerajaan tersebut. Sumber Cina menyebutkan bahwa “Ada orang yang mengatakan bahwa kebanyakan merica itu dagang dari Negara Malabar….dan bahwa produk yang dibeli oleh pedagang asing di Jawa berasal dari Malabar” (Reid 1999; 9). Ketiga sumber ini sama-sama menunjukkan bahwa Sriwijaya bukan produsen merica. Namun, tidak berarti bahwa pada masa itu Sumatera tidak menghasilkan merica. Seperti yang telah disinggung diatas, pada abad ke-13 Pasai dan Pidie telah berkembang menjadi kota perdagangan internasional, dengan salah satu komoditas utamanya adalah merica.

Pada abad ke-15 muncul Malaka yang menggeser kedudukan Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis, letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu Parameswara, menyadari pentingnya jaminan keamanan bagi negerinya yang kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu pada perdagangan daripada pertanian. Seperti halnya Sriwijaya, Malaka dapat dikatakan tidak memproduksi bahan-bahan hasil bumi sendiri atau hasil-hasil pertambangan. Untuk memenuhi kebutuhan beras bagi penduduknya, Malaka mendatangkannya dari Jawa dan Ayudhia, Siam. Oleh karena itu, Malaka berusaha memberantas bajak laut atau lanun di sekitar Selat Malaka. Di samping itu, Malaka berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Negara atau kerajaan tetangganya, terutama Majapahit (Jawa), Siam, dan Cina.

Sejak awal pendirian Malaka, Parameswara, pendiri Malaka, selalu mengirim upeti kepada raja Siam agar kerajaan itu tidak menyerang Malaka. Kemudian sejak awal abad ke-15, Malaka menjalin hubungan baik dengan kekaisaran Cina (Kakaisaran Yuang Lo, 1403-1423) dengan harapan Siam tidak akan berani menyerang Malaka. Keberhasilan Parameswara menjalin hubungan diplomatic seprti itu membuat Malaka berkembang menjadi sebuah emporium terbesar di Asia Tenggara. Apalagi setelah penguasa Malaka menjadi Islam pada tahun 1414, makin banyak pedagang Islam dari Arab dan India terdorong untuk melakukan kegiatan perdagangan di kota ini.

Untuk menjaga supremasinya di Selat Malaka, Sultan Malaka juga berusaha agar persediaan barang-barang dagangan atau kebutuhan hidup di Malaka tetao terjamin. Atas dasar pertimbangan itu, selain mengirimkan duta-dutanya guna menjalin persahabatan, Malaka juga mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri-negeri yang dianggapnya penting untuk dikuasai karena menghasilkan barang-barang yang sangat dibutuhkan Malaka. Sebagai contoh, Kampar di pantai timur Sumatera ditaklukannya, karena daerah ini merupakan penghasil merica dan merupakan pintu keluarnya emas dari daerah pedalaman Minangkabau. Kemudian, Siak juga ditaklukannya dan dikuasainya, karena menghasilkan emas (Meilink Roelofsz 1962 : 30).

Menurut Tome Pires, penulis Portugis, kebijakan yang ditempuh para raja Malaka adalah menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tigasnya dalam mengatur perekonomian Malaka. Salah satu jabatan yang erat kaitannya dengan perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar. Di Malaka waktu itu ada empat orang syahbandar yang dipilih sendiri oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan mereka. Pertama, syahbandar yang mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga, syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan Mangindanau); dan keempat  adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para pedagang Cina dan Kepulauan Liu-Kiu (Meilink Roelofsz 1962: 41).

Kedudukan Malaka seperti inilah yang mendorong Portugis berusaha menguasainya. Alfonso d’Albuquerque, panglima Portugis, merebut kota pelabuhan itu pada tahun 1511. Dengan merebut Malaka, Portugis yang telah menguasai Ormuz di Laut Merah dan Goa di India mengharapkan akan merampas seluruh perdagangan merica Asia. NAmun, rencana itu tidak semuannya berhasil. Seperti yang telah disinggung di atas, Malaka pada dasarnya tidak memproduksi apa-apa. Kebesarannya karena peranannya sebagai emporium, kota transit bagi para pedagang dari Asia. Malaka ibarat “ayam bertelur emas”, dongeng yang cukup terkenal di masyarakat melayu. Seekor ayam yang setiap hari bertelur satu butir telur emas, kemudian disembelih oleh pemiliknya, karena tidak sabar menunggu dan ingin segera mendapatkan telur-telur itu. Ternyata dalam tubuh ayam itu tidak ada telur emas. Portugis menemukan suatu kenyataan bahwa Malaka bukanlah produsen dari semua komoditas ekspor (khususnya merica) yang dicari-cari oleh para pedagang Barat. Politik monopolinya serta upaya kristenisasinya telah mengakibatkan para pedagang Asia, khususnya para pedagang Muslim, berusaha menghindari Bandar tersebut. Lambat laun kedudukan Malaka pun semakin merosot dan tidak pernah meraih kembali kebesarannya (Meilink Roelofsz 1962: 172).

Portugis menyadari bahwa pentingnya Malaka adalah perdagangan merica dan rempah-rempahnya. Oleh karena itu, guna mempertahankan perdagangan itu, kapal-kapal Portugis berlayar ke Maluku untuk mengambilnya. Pada waktu itu di Maluku ada dua kesultanan Islam yang besar dalam kondisi sedang menurun dalam kekuasaan politiknya dan bermusuhan satu sama lain, yaitu Ternate dan Tidore. Portugis mencoba menanamkan pengaruhnya melalui persekutuan dengan salah satu pihak yang bertikai. Demikian pula di Jawa, Portugis berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Pajajaran, satu kerajaan Hindu yang juga kedudukan politiiknya sedang menurun, yang kemudian tenggelam di tangan Islam.

Kondisi semacam inilah yang antara lain memaksa Portugis untuk meninggalkan politik anti Islamnya (Perang salib), sebab mereka harus menerima kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan disekitarnya adalah Islam, dan perdagangan Islam di Asia Tenggara sampai Timur Tengah penting sekali. Banyak yang menilai perdagangan Portugis bersifat semifeodal dan terlalu terikat oleh raja Portugis beserta politiknya. Perdagangan resmi Portugis dapat dianalogikan sebagai seorang raja Eropa yang berdagang. Karena itu, banyak yang menilai organisasi perdagangannya kurang efisien. Para pejabatnya di Asia bukanlah saudagar melainkan hidalgo’s yang lebih menyukai perampokan daripada perdagangan resmi mengingat pada waktu itu bagi seorang prajurit, perampokan merupakan hak penakluk dari pihak yang menang perang sehingga perampokan dianggap terhormat (Meilink Roelofsz 1962: 126-127).

Dibandingkan dengan Belanda dan Inggris yang baru dating ke wilayah ini menjelang akhir abad ke-16, organisasi perdagangan Portugis memang kelihatan kuno dan kurang efisien. Organisasi dagang yang dibentuk para pedagang dan penguasa Belanda, yaitu Vereenegde Oost Indische Compagnie (VOC), mempunyai tujuan utama yang jelas, yaitu berdagang, meskipun dalam statutanya, khususnya Artikel 35 disebutkan bahwa VOC dapat memproleh teritori di Timur , mengadakan perdamaian, perjanjian, menyatakan perang, serta berhakk memiliki kapal-kapal perang, memelihara tentara, dan memiliki benteng-benteng pertahanan. Namun VOC juga sangat mementingkan pemegang buku dan para saudagar. Jabatan “Eerste Koopman” dalam hierarki VOC merupakan jabatan yang sangat penting. Dari jabatan ini seseorang bisa menjadi gubernur jenderal, yang pada awal berdirinya memang tidak banyak mengurusi permasalahan politik ataupun administrasi.

Sebagai catatan, dalam menanamkan pengaruhnya di Nusantara, baik Portugis maupun Belanda banyak mempergunakan pola-pola konflik yang ada di Nusantara. Di samping itu, mereka juga membawa konflik-konflik mereka di Eropa ke wilayah ini, yang kemudian juga dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia. Sejak berdiri, VOC sudah mempersiapkan diri untuk peperangan di kepulauan Indonesia, terutama melawan musuh-musuhnya di Eropa. Pertama melawan Portugis dan Spanyol, kemudian EIC (Inggris). Permusushan antar-kekuatan Barat ini tidak saja karena pada dasarnya mereka telah bermusuhan di Eropa, melainkan juga karena persaingan dagang di kepulauan Indonesia dan semenanjung Melayu. Tiap-tiap pihak ingin memperoleh monopoli atas perdagangan tersebut. VOC akhirnya memenangi persaingan itu dan berhasil menanamkan pengaruhnya di kepulauan Indonesia.

Seperti telah disebutkan di atas, penguasaan kota Malaka oleh Portugis telah mengacaukan struktur perdagangan di Asia Tenggara, khususnya kepulauan Indonesia dan Semenanjung Melayu. Namun tidak berarti perdagangan di wilayah ini menjadi hancur sama sekali. Perdagangan masih tetap berkembang, namun banyak para pedagang Asia yang menghindari kota Malaka, terutama para pedagang Muslim, yang secara tidak langsung membuat peranan Malaka sebagai pelabuhan transit semakin merosot. Sebaliknya, di beberapa daerah, terutama di jalur perdagangan baru, tumbuh dan berkembang kota-kota dagang baru, yang beberapa diantaranya berkembang menjadi pusat kekuatan politik baru di wilayah ini. Aceh misalnya, pada tahun 1511 masih merupakan satu pelabuhan kecil yang berada di bawah kekuasaan Pidie.

Penghidupan utama penduduknya adalah menangkap ikan (sebagai nelayan), dengan pekerjaan sampingan merampok laut, termasuk merampok kapal-kapal Portugis. Dengan kekuatan sekitar 30 kapal (Iankhara), Aceh berhasil menyergap kapal-kapal Portugis dan memperoleh meriam-meriam dari hasil rampokan tersebut. Dalam tahun 1530 diberitakan bahwa jumlah meriam yang dimiliki Aceh lebih banyak daripada yang dimiliki Portugis di benteng Malaka (Kathirithamby Wells 1976: 65-84).

Dengan meningkatnya kekuatan dan persenjataan Aceh, Pidie, yang semula merupakan tuannya, berbalik ditaklukkan oleh Aceh. Setelah itu, Aceh memperluas hegemoninya ke selatan, ke Deli dan Sumatera Barat. Daerah-daerah yang ditaklukkannya itu merupakan daerah penghasil merica, emas, dan produksi lainnya. Untuk sementara ekspansi Aceh dapat ditahan  oleh Indrapura dan Johor.

Kesultanan Johor adalah pusat kekuatan politik baru dinasti Melayu setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kesultanan itu berhasil mempertahankan eksistensinya dan mampu mempertahankan perdagangan internasionalnya. Dalam pekembangannya kemudian, Johor bersekutu dengan VOC. Sampai pertengahan abad ke-17 perdagangan di Selat Malaka dimainkan oleh tiga kekuatan yaitu Portugis, Aceh, dan Johor. Namun Kota Johor berkali-kali diserang dan direbut oleh Aceh, sementara benteng VOC di kota tersebut dibakar.

Tekanan Aceh ini juga dilakukan berkali-kali terhadap Malaka-Portugis. Namun, baik Johor maupun Portugis tidak pernah menyerang balik ke Aceh. Tekanan militer Aceh baru terhenti setelah armada laut Aceh menderita kekalahan besar di muka pelabuhan Malaka.

Di Pulau Sumatera, Aceh terus-menerus menentang kekuasaan Portugis dan Belanda. Oleh karena itu, kesultanan itu dilihat oleh Portugis sebagai kekuatan Islam yang menentang kehadirannya. Satu fakta yang menunjang anggapan itu adalah Aceh memang sering mengibarkan bendera Islam dalam peperangannya melawan Portugis dan VOC. Meskipun demikian tidak selamanya Aceh bertentangan dengan Portugis. Kadang-kadang Aceh juga mengadakan persekutuan dengan Portugis dalam menghadapi kesultanan Johor atau persekutuan Johor-VOC. Pada dasarnya konflik ataupun persekutuan seperti di atas adalah soal yang lazim, karena kepentingan-kepentingan tertentu  tidak semata-mata karena alas an politis melainkan juga ekonomi.

Jika dikaji lebih mendalam, kebesaran kesultanan Aceh pada dasarnya karena kemampuannya untuk menjalin hubungan diplomatic dengan dunia Asia Barat, terutama Turki yang disebut oleh masyarakat Aceh sebagai Raja Rum (Reid 1969: 395-414). Dengan jatuhnya Aden ke tangan Turki Usmani di tahun 1538, kembali berkembanglah perdagangan merica ke Timur Tengah melalui Laut Merah yang sempat terhenti dengan munculnya kekuatan maritim Portugis di Lautan Hindia. Dari beberapa Negara Indonesia yang ada waktu itu, kemungkinan besar hanya Aceh yang mempunyai hubungan internasional. Duta-I seperti Ratu Elizabeth dari Inggris, bahkan juga Pangeran Maurice dari Belanda. Di Asia, duta Aceh antara lalin berkunjung ke Moghul, India. Dari misi-misi diplomatic itu, hubungan dengan Turki ytang paling membawa hasil yang tetap dan besar karena Turki di Eropa sedang berperang melawan Portugis dan Spanyol. Dengan sendirinya Turki melihat kehadiran Aceh sebagai suatu kesempatan untuk memerangi Potugis-Spanyol di wilayah Timur atau dari belakang. Sebagai bukti dari sejumlah perhatian itu, pada tahun 1567 Turki esamengirimkan 500 orang pelatih artileri (meriam) ke Aceh beserta sejumlah meriamnya, antara lain meriam yang diberi nama “Lada Sacupak” yang ukurannya sangat besar dan dianggap sebagai pusaka penting waktu itu (Reid 1969: 395). Disamping itu, Orang-orang Turki mengajarkan cara membuat meriam kepada orang-orang Aceh. Diduga bantuan-bantuan militer itu dibayar dengan hasil perdagangan merica yang merupakan hasil ekspor Aceh yang utama dan menguntungkan. Sebaliknya, Portugis melihat berkembangnya kembali perdagangan merica di laut Merah sebagai ancaman terbesar bagi monopoli dagangnya. Oleh karena itu, kapal-kapal perang Porutgis berkali-kali merampok atau menenggelamkan kapal-kapal dagang Aceh.

Persekutuan antara Aceh dan Turki merupakan persekutuan dua kekuatan Islam. Namun, dalam dunia politik ataupun perdagangan sehari-hari, hubungan diplomatic tidak selalu berdasarkan ideology yang sama seperti kepentingan Islam, tetapi lebih menonjol karena upaya perebutan hegemoni, seperti perebutan hegemoni di Selat Malaka. Aceh dan Johor tidak segan-segan meminta bantuan kekuatan non-Islam, yang dalam hal ini Belanda atau  Porttugis, untuk menyerang kerajaan Islam lainnya. Sebelum Johor bersekutu dengan VOC pada tahun 1600 Aceh pernah meminta ekspedisi Belanda pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman untu menyerang Johor atas namanya dengan imbalan merica. Juga Iskandar Muda pernah mwminta EIC untuk menyerang Pidie.

Kota-kota atau kerajaan-kerajaan di pesisir utara Jawa, seperti Jepara, Kudus, Pati, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Jaratan, menjadi ramai dikunjungi para pedagang mancanegara, khususnya setalah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Para penguasa di Jawa melihat Potugis sebagai saingan dan ganjalan dalam perdagangan mereka. Jepara misalnya, melihat Portugis sebagai saingan utama dalam perdagangan merica, yang keduanya mengambil barang dagangan itu dari Maluku. Kemudian Demak sebagai pengekspor beras ke Malaka menjadi rugi setelah kota tersebut jatuh ke tangan Portugis. Kegagalan-kegagalan kerajaan Islam di Nusantara untuk merebut Malaka pada dasarnya terjadi karena kekuatan Islam di kepulauan Nusantara tidak mau bersatu melawan Portgugis atau Belanda (VOC). Bahkan diantara mereka juga saling mencurigai. Malaka sendiri akhirnya jatuh oleh serangan gabungan antara  Johor dan VOC.

Eksistensi kerajaan-kerajaan maritime Jawa dengan kekecualian Banten tidak bertahan lama. Kebesaran mereka sebagai kekuatan maritime dan perdagangan terus merosot bukan dikalahkan oleh kekuatan Portugis atau VOC, melainkan oleh kekuatan baru yang muncul di pedalaman Jawa, yaitu Mataram. Kerajaan ini, yang berdiri sejak tahun 1575, terus-menerus melakukan tekanan terhadap kerajaan-kerajaan maritime, khususnya di pantai utara Jawa, bahkan sampai ke Batavia. Bayangan kejatuhan Majapahit yang menghantui para penguasa di Mataram membuat mereka berupaya mematikan sumber-sumber pendukung politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan tersebut, yang secara tidak langsung mematikan perdagangan laut mereka.

Kedatangan pendatang baru, termasuk VOC dan EIC (Inggris), sering mendatangkan harapan-harapan baru bagi raja-raja di Nusantara. Demikian pula sewaktu Belanda dan Inggris dating pada akhir abad ke-16, mereka disambut dengan baik. Banten misalnya, mengijinkan VOC dan EIC membuka kantor dagangnya di pelabuhannya. Demikian pula Pangeran Jayakarta mengundang masuk VOC untuk membuka kantor dagangnya di kotanya. Namun, politik monopoli yang dikembangkan VOC membuat penguasa Jayakarta merasa dirugikan. Lalu, Pangeran Jayakarta bersekutu dengan EIC yang juga merasa dirugikan oleh VOC untuk bersama-sama mengusir VOC. Di saat-saat kritis bagi kekuatan VOC di lpangeran Jayakarta yang dianggap akan membahayakan kedudukan Banten, lalu menangkap Pangeran Jayakarta. Banten kemudian mengusir EIC dari Jayakarta. Dalam saat kososng itu kekuatan utama VOC yang didatangkan dari Maluku dating menyerang Jayakarta. Kota itupun jatuh ke tangan VOC dan diubah namanya menjadi Batavia.

Setelah berhasil menguasai Batavia, J.P. Coen memindahkan kantor pusat dagang VOC dari Ambon ke Batavia. Namun, untuk mengusai seluruh perdagangan di Nusantara, VOC harus menunggu waktu yang relative lama. Di sebelah Barat, kekuatan maritime di Jawa tampil sebagai saingan berat yang terus-menerus menentang VOC seperti halnya Aceh terhadap Malaka-Portugis. Sementara itu, tanntangan dari kekuatan maritim di sebelah timur relatif tidak ada karena kerajaan-kerajaan tersebut sedang menghadapi kekuatan Mataram. Bahkan, untuk menjaga kepentingan dagangnya, VOC mengakui kekuatan Mataram di bawah Sultan Agung dan mengirimkan upeti ke kerajaan tersebut.

VOC baru dapat menguasai seluruh perdagangan dan politik di Jawa setelah kekuatan kedua kerajaan tersebut melemah, terutama karena intrik-intrik yang terjadi di dalam kedua kerajaan tersebut. VOC mengikat penguasa-penguasa baru dengan perjanjian-perjanjian yang sangat menguntungkan politik monopoli dagangnya. Hal yang sama juga dilakukan VOC dengan raja-raja lainnya diluar Jawa. Sampai dengan runtuhnya VOC di tahun 1799, kekuatan maritime di Nusantara yang relatif masih kuat bersaing melawan VOC hanyalah Aceh.

  1. Sumber Dana Dan Alat Pembayaran

Para penguasa Mataram telah mempelajari sebab-musabab keruntuhan Majapahit dalam awal abad ke-15, yaitu membiarkan Demak, salah satu daerah bawahannya, berkembang menjadi kota dagang yang ramai dan kuat, yang pada gilirannya berbalik menghancurkan pusat kekuasaan Majapahit yang berada di pedalaman Jawa. Peristiwa semacam itu tidak boleh terulang pada Mataram. Sindroma Mataram semacam inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendekatkan Mataram ke VOC. VOC, yang ingin memonopoli perdagangan di kepulauan Nusantara, melihat peluang untuk menyingkirkan salah satu saingannya, yaitu para pedagang Jawa. Karena itu, ketika perjanjian pertama antara Amangkurat I (Mataram) dan VOC diadakan, terdapat satu klausul yang berbunyi bahwa VOC akan menghalangi sebanyak mungkin perdagangan dari pesisir utara Jawa, khususnya dari Gresik (Giri) dan Surabaya (Sunan Ngampel) (De Graaf 1961: 76-77).

Dari sumber VOC disebutkan bahwa Amangkurat I menjelaskan, “[…] raja tidak menghendaki kawula-kawulanya pergi berlayar dan berdagang ke tempat-tempat lain, malahan menginginkan bahwa semua pedagang akan dating ke pelabuhannya dan mengunjungi negaranya”. Selain itu, disebutkan pula bahwa semua uang yang diperoleh di Jepara langsung dibawa ke Keraton Mataram. Di samping tiu, raja juga memerintahkan rakyat menenun tekstil. Rupanya perintah itu cukup efektif yang terbukti dengan menurunnya penjualan tekstil VOC ke Mataram.

Kekayaan kerajaan (raja), terutama harta bendanya, menjadi faktor yang sangat penting dan diperhitungkan waktu itu. Kekayaan itu antara lain menjadi penjamin langsung mata uang yang diterbitkan oleh kerajaan yang bersangkutan. Misalnya pada masa Iskandar Muda, mata uang mas Aceh yang diterbitkan masa itu menjadi terkenal dan diterima oleh para pedagang secara penuh di banyak tempat perdagangan Asia sebagai alat pembayaran. Sewaktu kejayaan perdagangan Aceh mengalami kemunduran, nilai mata uang itu pun semakin merosot, dan ruang lingkup penerimanya pun semakin terbatas.

Dengan adanya politik kerajaan seperti di atas, keuntungan dari hasil komoditas ekspor yang utama, umumnya dimonopoli oleh pihak raja. Sementara itu, keuntungan-keuntungan yang berhasil dihimpun oleh para pedagang atau pengusaha swasta juga sangat sulit untuk ditanam dalam sector lain, seperti sector pertanian, industri, dan perbankan. Hal itu karena dana tersebut sewaktu-waktu dapat diambil oleh raja atau penguasa. Oleh karena itu, umumnya modal yang dihimpun para pedagang atau pengusaha itu hanya berputar di kalangan keluarga saja (sistem Commenda). Dalam sistem Commenda, dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan tugas antara pemilik modal, pekerja, dan perdagangan itu sendiri. Di samping itu, modal baru adakalanya diperoleh dengan cara berutang atau menggadaikan harta milik. Surat jaminan berutang itu ternyata juga dapat diperjualbelikan atau dijadikan jaminan, jika sewaktu-waktu memerlukan dana.

Dalam sistem Commenda tidak ada pembedaan yang tegas antara pemegang saham, pekerja, dan pedagang. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan organisasi perdagangan Portugis atau Belanda (VOC). Dalam VOC ada pembedaan yang tegas antara pelaut, pegawai, dan pemilik saham atau pemilik modal yang terikat dengan perseroan besar atau bank-bank pemberi atau pemberi pinjaman bagi usaha dagang mereka. Hak individual sudah kelihatan dalam pembagian keuntungan. Selain itu, perlindungan dari raja juga jelas tampak. Sebagai contoh, hampir semua ekspedisi perdagangan pertama dari para pedagang Barat dating ke Timur atas nama rajanya (restu raja) masing-masing. VOC sendiri jelas mendapat hak oktroi dari rajanya. Dengan demikian, selain harta kekayaannya relative lebih terjamin daripada pedagang Indonesia, VOC juga mempunyai kesempatan lebih luas dalam menginvestasikan keuntungan yang diperoleh, baik dalam bidang yang sama maupun dalam bidang lain, termasuk perbankan. Kondisi semacam ini pula yang menjadi salah satu faktor dapat berkembangnya dunia perbankan di Eropa.

Satu hal yang cukup menarik dari dunia perdagangan waktu itu adalah tidak adanya sistem pembayaran yang baku, yang dijadikan standar. Selain itu, tidak ada pula lembaga yang menjamin mata uang tersebut. Jaminan atas mata uang tersebut dating dari bahan baku uang itu sendiri. Disamping itu, jaminan dating dari kebesaran kerajaan yang menerbitkan mata uang tersebut, contonhya dari mata uang masa Iskandar Muda dari kesultanan Aceh. Kadangkala mata uang itu juga dijadikan komoditas perdagangan, baik karena nilai logamnya maupun karena bentuk atau seninya. Tidak sedikit mata uang yang dijadikan perhiasan nilainya lebih tinggi daripada nilai nominal mata uang tersebut. Misalnya, mata uang kepeng Cina yang beredar di Nusantara sejak masa Majapahit masih terus dicari oleh berbagai keolmpok dan pedagang di Nusantara, terutama karena mata uang tersebut juga dijadikan salah satu pelengkap dalam upacara adat atau keagamaan. Di Bali sampai sekarang masih banyak yang menggunakan mata uang kepeng Cina dalam upacara keagamaannya. Mungkin karena itu, penguasa Majapahit kemudian menerbitkan mata uang kepeng Cina sendiri.

Di kota-kota di sekitar Selat Malaka dan sepanjang pantai utara (pantura), Jawa, selain mata uang Cina dan local (dalam arti kerajaan-kerajaan Nusantara), berbagai jenis mata uang asing juga banyak diperhgunakan dalam transaksi perdagangan. Meskipun demikian, belum terungkap secara pasti sejak kapan masyarakat di kepulauan Nusantara mulai mempergunakaan mata uang sebagai alat pembayaran. Dari beberapa temuan arkeologis di pulau Jawa, ditemukan sejumlah mata uang perak yang berangka tahun 674 M. Selain mata uang, juga ditemukan benda-benda tertentu yang diduga dipergunakan sebagai alat tukar atau pembayaran, misalnya; manik-manik dan gelang.

Jika dilihat dari jenis dan bentuknya, alat pembayaran itu ada yang sederhana, seperti manic-manik (dari Bengkulu dan Pekalongan), gelang (dari Majalengka dan Sulawesi Selatan), belincung (dari Bekasi), moko (dari NTT), dan kerang (dari Irian Jaya). Kemudian yang sudah lebih maju digunakan bentuk mata uang logam, misalnya Kerajaan Kediri (dari emas), Kerajaan Aceh (dari emas), Bangka (dari Timah), Sulawesi (dari emas), dan Maluku (dari tembaga). Adapun mata uang asing yang juga banyak beredar ialah mata uang Cina, Jepang, India, dan Persia.

Tome Pires, dalam bukunya Suma Oriental, melaporkan bahwa di Pasai terdapat mata uang yang terbuat dari timah dan dengan nama raja tertera. Selanjutnya, ia menyebutkan pula bahwa di negeri it terdapat mata uang emas yang berukuran kecil yang dinamakan dramas (di Pasai dan Aceh disebut dirham atau mas). Sembilan dramas sama dengan satu cruzado, dan satu cruzado sama dengan 500 cash. Disebutkan pula bahwa negeri ini mempunyai debu emas (gold dust) dan perak (Cortesau ed.1944:144). Sebagai catatan cruzado adalah mata uang emas yang dikeluarkan oleh Portugis di Goa.

Pires mengatakan bahwa harga cengkeh di Malaka sangat bervariasi. Jika sedang musim panen dimana persediaan cengkeh cukup melimpah, harganya antara Sembilan sampai sepuluh cruzados per bahar, sedangkan kalau bukan musim panen dengan cengkeh yang sedang langka di pasaran, harganya naik mencapai 12 cruzados per bahar (Cortesau ed. 1944: 214). Satu bahar beratnya sama dengan empat kuintal. Di Pasai, satu bahar cengkeh harganya 90 dirham.

John Davis, seorang pelau Inggris yang bekerja pada kapal Belanda, dalam bulan Juni 1599 melaporkan bahwa di Aceh terdapat berbagai macam alat pembayaran, seperti casehes (bahasa Aceh keueh : bahasa Portugis caxa ), mas, cowpan (kupang), perdaw, dan tayel (tahil). Ia membuat semacam daftar kurs mata uang di Aceh waktu itu sebagai berikut.

1600 cashes               = 1 mas

400 cashes                             = 1 kupang

4 kupang                              = 1 mas

5 mas                                   = 4 shilling sterling

4 mas                                   = 1 perdaw (di Aceh disebut pardu)

4 perdaw                               = 1 tahil

(Markham 1880: 152; Kreemer 1923: 52)

Dari sumber lain disebutkan pula bahwa satu tail (tahil) sama dengan 16 mas (dirham). Satu ringgit Spanyol (yang lebih terkenal dengan nama Reyal Spanyol) sama dengan 16 mas (dirham). Sementara itu, Van Langen seorang pejabat tinggi Belanda pada tahun 1888 menyebutkan bahwa nilai dirham Sri Sultanah Ta jai-Alam Safiat ad-Din Syah (1641-1675) di Kesultanan Aceh adalah £ 0.625 (enam puluh dua setengah sen Hindia Belanda) (Van Langen 1888: 429).

  1. Penutup

Seperti disinggung di atas, sistem emporium telah menumbuhkan kapitalisme Asia yang peranannya tidak kalah penting dibandingkan dengan kapitalisme Eropa yang memasuki wilayah Asia sejak Abad ke-17. Namun, dalam perkembangannya, kapitalisme Asia kurang mendapat dukungan dari sistem politik di Asia. Sistem politik di Asia ketika itu memeberi jaminan bagi keselamatan dan hak milik pribadi. Penguasa atau raja memiliki kekuasaan yang tak terbatas, karena seluruh wilayah beserta kekayaan yang ada di atasnya, termasuk penduduknya, adalah milik raja. Mereka berhak menuntut penyerahan harta dan tenaga dari rakyatnya, termasuk dari para pedagang.

Telah diuraikan dalam paparan di atas bahwa raja atau keluarganya banyak pula yang terlibat sebagai pedagang. Di beberapa pelabuhan, tidak sedikit yang duduk sebagai syahbandar. Namun, kekuasaan yang demikian besar sering menghambat pekembangan ekonomi pada umumnya, khususnya dunia perdagangan. Sering pihak kerajaan memandang para pedagang, khsusnya pedagang swasta (dalam arti tidak mempunyai kaitan dengan keluarga istana), hanya sebagai sapi perahan, bukan sebagai mitra.

Faktor lain yang tidak kalah merugikan pada dunia perdagangan swasta ini adalah tidak adanya hak individual yang jelas serta perlindungan hokum dari pihak kerajaan (raja). Pihak kerajaan akan membiarkan mereka berkembang selama mereka dapat member sumbangan kepada kerajaan dan tidak mengganggu atau mengancam karisma dan wibawa raja serta kerajaannya. Jika menganggap para pedagang itu sudah membahayakan, tak segan-segan pihak raja Sriwijaya, mempunyai kapal-kapal sendiri untuk perniagaannya. Pelayarannya meliputi Asia Tenggara sampai ke India, bahkan sampai ke Madagaskar. Disamping itu, Sriwijaya mewajibkan setiap kapal dagang yang lewat Selat Malaka untuk mampir ke pelabuhan Sriwijaya. Oleh Meilink Roelofs (1962) digambarkan bahwa barang-barang yang diperdagangkan ialah tekstil, kapur barus, mutiara, kayu berharga, rempah-rempah, gading, kain katun dan sengkeiat, perak, emas, sutra, pecah belah, gula, dan lain-lain. Sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya sering dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, dan Cina yang memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri-negeri yang dilaluinya.

Disamping Sriwijaya, muncul beberapa kerajaan di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian menjadi saingan Sriwijaya. Berbeda dengan Sriwijaya yang terletak di dekat pantai, umumnya pusat kerajaan di Jawa terletak di daerah pedalaman. Kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu kepada pertanian. Meskipun demikian, perdagangan lautnya juga kuat. Seperti halnya di Sriwijaya, kelompok bangsawan mempunyai kekuasaan dan pengaruh sendiri pada dunia perniagaan. Sebagai perbedaannya, di Sumatera kekayaan para bangsawan diperoleh dari perdagangan, sedangkan di Jawa diperolehnya dari pertanian dan perniagaan. Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Malaka sering dianggap sebagai model kerajaan maritime di Indonesia, sedangkan Majapahit dan Mataram sering dinilai sebagai model kerajaan agraris.

Mundurnya dominasi perdagangan Sriwijaya mulai tampak setelah kerajaan ini mendapat serengan dari kerajaan Cola, India, pada abad ke-11. Kemudian pada abad ke-13 kedudukan Sriwijaya terdesak oleh kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Pemerintahan Kartanegara dari kerajaan Singosari melalui ekspedisi Pemalayu, berhasil menegakkan supremasinya di wilayah menghalangi perdagangannya atau bahkan menumpasnya. Sebagai contoh, sebelum abad ke-16 atau tepatnya sebelum Malaka jatuh ke tangan Portugis, di emporium-emporium di Asia Barat dan Asia Timur banyak ditemukan pedagang-pedagang Jawa dengan perdagangannya. Namun, perdagangan mereka terus mundur sesudah pusat kekuatan politik Jawa pindah ke Pajang yang berada di pedalaman Jawa Tengah. Operasi mereka rupanya hanya disekitar kepulauan Nusantara. Eksistensi mereka dalam dunia perdagangan semakin berkurang setelah muncul kerajaan Mataram yang hamper bersamaan dengan hadirnya kekuatan dagang baru di Asia Tenggara, yaitu VOC