Panca Lintang Dyah Paramitha
Di Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, pada tanggal 16 November 2023 kemarin tunai melaksanakan festival puncak dari program konservasi warisan budaya Masjid Adat Tertua Wapauwe Kaitetu; yang sehari sebelumnya sudah dilakukan inaugurasi dalam seminar internasional “Masjid Adat, Masa Lalu dan Masa Depan” di Aula Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Maluku. Program konservasi berkelanjutan dalam pelestarian kawasan budaya ini diinisiasi oleh EFEO (École Française D’extrême-Orient), didukung oleh The ALIPH Foundation (International Alliance for the Preservation of Heritage in Conflict Areas), dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek serta Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) XX Maluku. Sesuai dengan tujuan program konservasi warisan budaya yang sustainable , maka program ini turut melibatkan masyarakat lokal Kaitetu secara aktif, mulai dari perencanaan konservasi Masjid Wapauwe hingga teraktualisasi menjadi lanskap budaya yang berlanjut, sebagaimana tingkat keberlanjutan masyarakat dilihat dari tiga pilar ecovillage menurut GEN, yaitu aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritual budaya[1]. Program ini bekerja sama dengan para ahli internasional dari kalangan akademisi, komunitas akar rumput, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi pemerintah yang bertujuan untuk promosi perdamaian di Maluku sebagai kawasan pasca-konflik, dan untuk konservasi budaya yang berkelanjutan.
Masjid Tua Wapauwe di Kaitetu ini merupakan Cagar Budaya arsitektur islami vernakular—yang saat ini berstatus cagar budaya tingkat provinsi—yang begitu dilestarikan oleh masyarakat lokalnya sehingga memori kolektif dari masa pra-kolonial sebagai bukti kedatangan islam di Maluku masih dapat ditelusuri sampai saat ini. Masjid Wapauwe Kaitetu ini dibangun pada tahun 1414 oleh seorang penyebar agama Islam, yakni Perdana Jamilu[2]. Masjid ini dapat dianggap sebagai representasi arsitektur masjid kuno yang muncul pada abad ke-16 atau 17 berdasarkan atap masjidnya yang berbentuk atap tumpang. Masjid Wapauwe menunjukkan identitasnya yang kuno melalui desainnya yang mengadopsi pola tradisional, dengan menambahkan model piramida terpancung pada atap yang terbuat dari daun rumbia dan menggunakan gaba-gaba (pelepah sagu) sebagai bahan dinding. Struktur konstruksi bangunan ini dirancang tanpa menggunakan paku pada setiap sambungan ruas, di mana fungsi paku digantikan oleh ikatan tali atau gamuttu—istilah lokal. Pada keempat sudut tritisan masjid, terdapat kayu yang diukir dengan motif kaligrafi. Kaligrafi ini memuat tulisan Muhammad pada sudut utara-selatan dan Allah Muhammad pada sudut timur-barat. Dalam melestarikan Masjid Wapauwe dari generasi ke generasi, masyarakat Kaitetu memiliki sistem pelestarian yang dilakukan oleh generasi yang berketurunan penjaga Masjid yang bermarga Hatuwe.
Kendala memang pasti ada pada berbagai upaya pelestarian warisan budaya yang secara inisiasi mandiri dilakukan oleh masyarakat; semakin lama memori tentang pengetahuan tradisional yang diwariskan kepada generasi Tukang Kayu Adat semakin memudar. Apabila pengetahuan tradisional tersebut tidak lagi didisemiinasikan secara kontinyu kepada generasi muda di Kaitetu, maka identitas dan tradisi yang lama dipelihara akan hilang seiring dominasi budaya global. Oleh karena itu, upaya konservasi warisan budaya pada program ini ditempuh dengan berbagai pendekatan kekinian yang dekat dengan kehidupan generasi muda saat ini, seperti pembangunan galeri Kaitetu yang berisikan pameran pengetahuan tradisional dalam pertukangan kayu adat, mengadakan pameran berkala mengenai masjid Wapauwe, mempublikasikan kegiatan adat istiadat selama renovasi Masjid Wapauwe pada berbagai media digital; semua yang diusahakan ahli konservasi dengan keterlibatan aktif masyarakat lokal, terutama generasi muda Kaitetu akan merawat memori kolektif dalam kearifan lokal takteraga maupun teraga di kawasan Masjid Wapauwe Kaitetu.
Seperti yang dipaparkan oleh salah satu narasumber saat Seminar berlangsung tanggal 15 November 2023, mengenai penguatan komunitas dalam manajemen sumber daya budaya, bahwa untuk mencapai pemberdayaan lokal, narasumber mengusulkan penerapan pendekatan lanskap budaya (cultural landscape) yang memungkinkan masyarakat lokal untuk mengambil alih warisan budaya (benda/takbenda) dan alam. Fokus utama ditempatkan pada sistem manajemen tradisional melalui adat istiadat, bersama dengan keinginan yang jelas dari masyarakat lokal untuk memperoleh lebih banyak kekuasaan politik dan kontrol atas warisan budaya mereka. Lanskap budaya adalah hasil dari konstruksi budaya yang terbentuk seiring berjalannya waktu, melibatkan tidak hanya aspek fisik yang dapat diamati yang digunakan masyarakat untuk terus membentuk lingkungan mereka, tetapi juga nilai-nilai, keyakinan, dan ideologi yang mendasari lanskap tersebut. Oleh karena itu, lanskap budaya melekat pada masa lalu dan masa kini, dan hanya dapat dijaga melalui praktik berkelanjutan yang memiliki kapasitas (dan otoritas) untuk beradaptasi dengan situasi baru.
Strategi konservasi berkelanjutan yang dilakukan oleh para tim ahli konservasi yang diprakarsai oleh sejarawan EFEO, Dr. Hélène Njoto, secara langsung melibatkan peran aktif masyarakat lokal Kaitetu dalam mengupayakan saujana di Masjid Wapauwe Kaitetu. Keterlibatan itu terutama pada generasi muda Kaitetu yang merancang tata ruang pembentukan galeri pameran di kawasan saujana Masjid Wapauwe. Galeri arsitektural ini memamerkan ilmu pertukangan kayu adat yang digunakan selama ini untuk merenovasi Masjid Wapauwe dengan tanpa mengubah bentuk dan bahan asli (vernakular). Selain itu juga dikelola tata pencahayaan Masjid Wapauwe untuk mendukung pelestarian Masjid Wapauwe. Untuk mendiseminasikan kepada khalayak, program ini melibatkan publikasi aktif melalui media sosial instagram dengan nama pengguna @galeri_kaitetu dan @pesona_kaitetu yang secara langsung dikelola pemuda Kaitetu. Pada acara puncak festival Kaitetu pun memiliki serangkaian acara yang begitu melibatkan andil masyarakat lokal seperti membuka sesi dapur terbuka dengan hidangan lokal yang dibuat oleh perempuan ibu Kaitetu, kemudian adanya workshop praktik ilmu pertukangan kayu adat yang menjadi wahana diseminasi, adanya pertunjukan ‘Senandung Mama Mencuci Beras di Sungai’, serta ada dongeng sero tancap. Pertunjukan terbuka yang melibatkan pengetahuan lokal takteraga tersebut kemudian mengintegrasikan pemahaman, wawasan dan pengetahuan akan nilai kepemilikan lanskap budaya dan pengetahuan lokal pada masyarakat Kaitetu.
Sebagai wilayah pasca-konflik, kegiatan konservasi warisan budaya dapat memperkuat kembali identitas, tradisi, dan perdamaian pada masyarakat Maluku. Wacana mengenai kebudayaan di wilayah Maluku mesti dikontekstualisasi dengan keadaan aktual agar wacana diskursif akan kebudayaan tetap menjadi hal yang senang digandrungi oleh generasi muda. Dengan demikian, identitas, pengetahuan tradisional, dan memori kolektif yang sudah lama terbentuk pada masyarakat Maluku akan semakin kuat sebagai tonggak pemajuan kehidupan masyarakat Maluku di segala lini.
[1] Wuisang, E., V., C., dkk. (2016). Pelestarian Lansekap Budaya Indonesia : Mendokumentasikan Lansekap Vernakular Etnis Minahasa Di Wilayah Perdesaan Pesisir Pantai Kecamatan Kema, Sulawesi Utara. Media Matrasain, 13(3): 26-41.
[2] https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpkw20/masjid-wapauwe-bukti-kekayaan-sejarah-religi-jazirah-leihitu/