Sosialisasi UU Cagar Budaya, Diskusi Pelestarian Situs di Desa Watesari

0
811

Dewasa ini, masih terjadi fenomenal ekskavasi liar yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab tanpa melibatkan arkeolog maupun instansi berwenang. Meskipun ekskavasi tersebut bertujuan menyelamatkan objek, namun jika tidak dilakukan secara sistematis sesuai kaidah ekskavasi, maka dapat dikatakan hal tersebut sebagai bagian merusak objek Cagar Budaya (CB) maupun objek diduga cagar budaya (ODCB).

Hal ini menjadi fenomenal yang perlu ditindak secara serius oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Oleh sebab itu pada setiap kegiatan ekskavasi di Jawa Timur, Andi Muhammad Said, M.Hum selaku Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur mewajibkan adanya sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Kamis (25/7) lalu, BPCB Jawa Timur melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya di Desa Watesari, Kecamatan Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo. Sosialisasi ini dihadiri oleh Kepala BPCB Jawa Timur, Andi Muhammad Said, M.Hum, Kepala Desa Watesari, Sukisno, Camat Balongbenda, dan perangkat Desa Watesari, perwakilan dari Dinas Kabupaten Sidoarjo, komunitas penggiat budaya dan masyarakat sekitar.

Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang regulasi yang berlaku pada Situs Mbah Sukirman. Situs Mbah Sukirman adalah salah satu situs yang telah diekskavasi oleh Tim BPCB selama 4 hari (15-19 Juli 2019). Berdasarkan laporan dari masyarakat tentang adanya temuan sumur kuno di sekitar makam Mbah Sukirman. Hasil ekskavasi telah memperlihatkan adanya struktur berbahan bata berbentuk pondasi. Selain itu, tinggalan yang berada di situs ini berupa tembikar bertekstur halus (tingkat pembakaran tinggi), tembikar bertekstur kasar (tingkat pembakaran rendah), porselen, stoneware maupun terakota. Hal ini dianggap memiliki nilai penting sehingga perlu dilakukan sosialisasi.

Manfaat diadakannya sosialisasi yaitu agar masyarakat memahami tentang pengertian Cagar Budaya dan prosedur yang perlu dilakukan sehingga situs tersebut dapat dikatakan sebagai Cagar Budaya. Hal tersebut tertuang pada UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 1 yaitu : Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.

Setelah diberikan pemahaman tentang pengertian cagar budaya, lalu masyarakat diberi pemahaman prosedur yang dilakukan apabila menemukan benda yang diduga cagar budaya. Selain melapor ke pihak berwenang terdekat dalam hal ini perangkat desa, melaporkan ke instansi terkait yang berwenang dalam pelestarian cagar budaya untuk dilakukan peninjauan.

Setelah dilakukan peninjaun, maka selanjutnya dilakukan kajian oleh BPCB/Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Setelah hasil kajian yang dilakukan dianggap objek tersebut penting, maka dilakukan pendaftaran untuk proses penetapan. Adapun bagian yang berwenang dalam proses penetapan, telah tertuang pada UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 Pasal  33 ayat 1 yang berbunyi : Bupati/wali kota mengeluarkan penetapan status Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah rekomendasi diterima dari Tim Ahli Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya”. Setelah dilakukan proses penetapan, maka pemilik cagar budaya dalam hal ini orang yang menemukan/melaporkan memiliki 2 manfaat yaitu surat keterangan status Cagar Budaya dan  surat keterangan kepemilikan.

Setelah pemaparan UU Cagar Budaya disampaikan, selanjutnya peserta diberi kesempatan mengajukan 5 pertanyaan kepada setiap narasumber. Semoga dengan adanya kegiatan sosialisasi ini, masyarakat menyadari dan menindaklanjuti adanya penggalian liar yang dilakukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, yang dapat merusak konteks objek serta menghilangkan data aslinya. Manfaat sosialisasi ini juga menjadi wadah pemersatu antar stakeholder guna melestarikan benda cagar budaya demi keberlangsungan jati diri bangsa. (Oshin)

Usai kegiatan (Foto: Oshin)